[13] Hadiah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Aneh."

Tangan Rinjani yang sedang fokus mengaduk kuah sayur, berhenti bergerak. Ucapan Bi Nur membuat kepalanya bergerak cepat ke kanan, menatap Bi Nur yang berdiri setengah meter darinya, dan kini kembali sibuk memotong-motong cabai merah dan tomat di telenan.

"A-aneh apanya, Bi?" tanya Rinjani terbata. Selagi menunggu jawaban Bi Nur, diam-diam Rinjani menyentuh kemeja kotak-kotak berwarna abu yang digenakannya hari ini. Rapi memang, karena Rinjani sudah menyetrikanya tadi pagi dengan meminjam setrika tetangga dan memberi bayaran sepuluh ribu rupiah untuk setengah jam—harga yang dipatok oleh sang tetangga. Rinjani belum bisa membeli setrika baru, setelah setrikanya rusak minggu lalu.

Tapi, bagaimana jika barusan Bi Nur mengomentari warna baju Rinjani yang sejujurnya terlihat lusuh?

Sambil berjanji dalam hati agar bulan depan ia harus menyisihkan uang untuk membeli setrika baru, Rinjani menoleh pada Bi Nur yang berkata lagi.

"Maksud Bibi, teh, Non Rinjani sama sekali enggak mirip dengan cewek-cewek yang pernah Bibi lihat di sekitar Den Arkan." Penuturan Bi Nur serta-merta membuat Rinjani tertegun.

Ternyata bukan hanya sekedar pakaian, tapi Bi Nur membandingkan keseluruhan penampilannya dengan perempuan yang pernah dekat dengan Arkan?

Mendengus geli secara samar, Rinjani kembali mengaduk sayur bening dalam panci di hadapannya. Setelah satu jam menemani ibu Arkan menanam bunga di taman belakang kediaman Prasadja yang sangat luas, Rinjani beralih membantu Bi Nur di dapur untuk menyiapkan makan siang. Sementara Adinda sendiri, meminta izin untuk menjawab telepon dari saudaranya di luar negeri.

Tentu saja. Rinjani tahu perbedaan yang Bi Nur maksudkan tadi dengan jelas, sebelum siapa pun mengatakannya, Sebagai pemilik salah satu dari lima agensi hiburan terkenal di Indonesia, Arkan pernah dekat dengan beberapa perempuan yang penampilannya cantik, tinggi, tidak harus berkulit putih, namun setidaknya rapi dan bersih. Semua mata akan otomatis memandang ketika mereka lewat.

Rinjani tahu, ia tidak boleh memandang segala sesuatu dari fisik, apalagi membanding-bandingkan. Tapi, selain kesempurnaan fisik yang pengaruhnya tak bisa dipungkiri, kecerdasan para perempuan itu sudah pasti di atas Rinjani. Bisa akting, bernyanyi, sampai meraih penghargaan berkali-kali. Ada juga para pengusaha atau cendekiawan berbakat yang bila disetarakan dengan Arkantara, mereka akan berada di golongan yang sama.

Lalu, darimana Rinjani tahu semua daftar perempuan itu? Tentu saja dari Sarah—si Biang Gosip Cowok Tampan Monolithe.

Rinjani bergeleng, mencoba mematikan isi pikirannya yang mendadak gemar membanding-bandingkan. Kalau pun semua itu berhak dibandingkan, apa urusan dengan dirinya? Ia dan Arkan tidak punya hubungan apa-apa, selain atasan dan bawahan.

Arkan tidak menyukainya, Rinjani pun merasakan hal yang sama. Rasa asing yang selama ini melanda Rinjani pasti hanya bentuk kekaguman semata. Seperti Rinjani mengagumi aktor korea favoritnya.

"Tapi, bagus, sih." Suara Bi Nur terdengar lagi. "Bibi senang, karena perempuan pertama yang Den Arkan bawa ke rumah ini selain Non Safira, itu Non Jani. Sederhana, enggak banyak maunya kayak kebanyakan artis yang sok-sok dekat sama Den Arkan. Tiap ada pesta perusahaan, nih, ya, banyak banget yang sengaja ngaku-ngaku temen spesialnya Den Arkan. Boro-boro kelihatan baik seperti Neng Safira, yang ada rempong dan sering minta ini-itu di pesta."

Rinjani meringis. Dia menyesal sudah berpikir negatif pada Bi Nur. Penjelasan wanita berdaster—yang kini sedang memindahkan cacahan bawang, cabai dan tomat ke dalam mangkuk kecil—itu justru mencerminkan tanggapannya yang positif terhadap Rinjani.

"Semuanya gitu, Bi?" Rinjani bertanya karena penasaran.

Bi Nur mengeluarkan tiga butir telur dari dalam lemari es tiga pintu dan mencampurkan isinya dengan bumbu dapur tadi. "Enggak semua, sih. Cuma rata-rata." jawab Bi Nur tanpa menoleh, tangannya sibuk mengocok telur dengan garpu. "Makanya Bibi selalu berdoa, supaya Den Arkan dapat jodoh yang bukan dari kalangan selebritis."

Rinjani tersenyum kecil. "Tapi, kan, masih banyak juga selebritis yang baik, Bi." tanggapnya.

"Memang, sih. Tapi kayaknya," Bi Nur berhenti mengocok sesaat, terlihat berpikir. "Den Arkan sendiri juga belum ada tanda-tanda suka sama artis, tuh." Dengan santai wanita berdaster merah muda itu mengangkat bahu. "Satu-satunya cewek yang dekat kayak perangko sama dia, cuma Neng Safira."

Rinjani tidak bisa memungkiri, ada sengatan kecil yang melonjak di dadanya saat. Mungkinkah karena nama Safira disebutkan? Dilihat dari kuantitas Bi Nur yang terus menyebutkan nama Safira, Rinjani sadar betul bahwa perempuan itu pasti sangat dekat dengan Arkantara dan keluarganya.

Rinjani merasa... cemburu?

Tersentak, Rinjani memukul-mukul dahinya sendiri saat ia pura-pura beralih ke wastafel untuk mencuci tangan, agar Bi Nur tidak curiga bahwa baru saja Rinjani telah berpikir yang bukan-bukan. Atas dasar apa ia merasa iri dengan Safira?

"Waduh, dari tadi Bibi ngomongin Non Safira mulu, ya?" Seolah tersadar, Bi Nur tertawa. "Non Jani kenal sama Non Safira, enggak? Barang kali pernah dikenalin sama Den Arkan gitu."

"Kenal, Bi." Rinjani menjawab setelah berbalik badan menghadap Bi Nur lagi. "Dia istri sepupu Pak Arkan, kan?" tanyanya dengan suara yang dinormalkan sebisa mungkin.

Bi Nur mengangguk. "Istrinya Den Ranu. Ponakan ayahnya Den Arkan. Den Ranu sama Den Arkan itu enggak pernah terpisahkan dari mulai di kandungan. Sohib banget, deh, pokoknya. Bukan sepupu aja, tapi sahabat hidup matinya Den Arkan."

Rinjani mengangguk-angguk paham. Ia belum pernah bertemu Ranu. Tapi, namanya sempat Safira sebutkan saat mereka makan bersama di ballroom Monolithe dua hari lalu.

Bi Nur sudah menyiapkan wajan baru di atas kompor, tepat di samping kompor yang sudah Rinjani matikan karena sayur beningnya telah mendidih. Hanya dalam beberapa detik, suara berisik penggorengan memasuki pendengaran Rinjani. Cipratan-cipratan minyak dari telur yang sedang digoreng, sesekali mengenai wajah Bi Nur hingga membuatnya spontan mendumel.

"Semenjak kematian Non Arvina, Den Arkan itu suka menyendiri."

Rinjani mendengarkan penjelasan Bi Nur dalam diam, sembari mengangkat panci dengan sarung tangan oven, memindahkan isinya ke dalam mangkuk kaca berukuran besar yang sebelumnya ia letakkan di atas meja bar.

"Selain ayah dan ibunya, Den Arkan hampir setahun enggak ngomong sama siapa-siapa, sama Bibi aja enggak. Satu-satunya keluarga lain yang dia ajak bicara cuma Den Ranu."

Selepas menuangkan isi sayur, Rinjani tertegun dengan kedua tangan masih memegangi gagang panci.

Jadi, Arkan juga pernah mengalami trauma sedalam itu?

Berarti, kepribadian ceria dan ramah yang lelaki itu punya sekarang pasti begitu keras ia usahakan. Rasa menyengat yang lain hadir membelenggu hati Rinjani, gadis itu menghela napas tanpa suara.

Ia tidak tahu, mengapa bisa se-emosional ini hanya mendengarkan cerita seorang Arkantara Naruna Prasadja.

Rinjani mengerjap-ngerjap saat merasa pelupuk matanya basah. Berusaha menghalau kesedihan, dengan cepat gadis itu membawa panci ke wastafel, tetap mencucinya bersama perlengkapan dapur kotor yang lain meski telah dilarang oleh Bi Nur, lalu menyusun semua menu makanan yang sudah Bi Nur siapkan di atas meja bar, ke meja makan yang letaknya hanya dipisahkan oleh dinding penyekat.

"Pak Arkan belum balik, ya, Bi?" Mengalihkan pembahasan, Rinjani bertanya.

"Kangen, ya?" Tapi, respon Bi Nur sungguh di luar dugaan, membuat bibir Rinjani membuka setengah, kaget.

"Eng-enggak." jawab Rinjani dengan kepala tertunduk, piring dan gelas kaca di atas meja lebih mampu ia lihat daripada wajah Bi Nur—yang bisa saja sedang berbalik, menatap Rinjani.

"Enggak, Bi."

"Kangen juga ndak apa-apa."

Rinjani menelan ludah, merutuki pipinya yang begitu lancang merasa panas.

"Den Arkan udah pulang, kok, pas Non Jani sama Ibu lagi di kebun belakang tadi." Suara kompor dimatikan terdengar." "Tapi, dia pamit keluar bentar. Mau ke swalayan dekat perumahan katanya, sambil nunggu Non Jani selesai makan siang bareng Bu Dinda."

Tanda tanya yang mendadak muncul begitu Bi Nur selesai berucap, membuat Rinjani sontak mengangkat kepala. Keningnya mengerut dalam saat menatap Bi Nur yang kini berjalan menuju dirinya sambil membawa sepiring telur dadar. Harum telur yang digoreng dengan cabai dan bawang menggelitik penciuman Rinjani, tapi tak sama seperti beberapa menit lalu saat laparnya tergugah, kini Rinjani seolah tidak semangat makan siang.

"Pak Arkan enggak makan siang di sini juga?" tanyanya bingung.

Senyum Bi Nur mengembang kecil, tangannya meletakkan piring telur di samping mangkuk sayur bening. "Tadi, Den Arkan bilang dia udah kenyang. Jadi, bakal ke sini lagi buat jemput Non Jani aja."

Tapi, pria itu tidak menghubunginya?

Rinjani menggigit bibir, menahan umpatan dalam dada saat baru mengingat bahwa dirinya dan Arkan memang tidak punya nomor telepon maisng-masing. Arkan hanya tahu rumahnya, jadi lelaki itu bisa menjemput Rinjani tadi pagi.

Lagipula, apa hak Rinjani untuk harus dihubungi?

Dengan bibir tertekuk, pada akhirnya Rinjani hanya mampu menatap sayur bening, ayam tumis, perkedel jagung, dan telur dadar di hadapannya dengan lesu. Bi Nur yang berjalan pergi entah ke mana pun, tidak mampu menarik perhatian Rinjani. Seketika laparnya lenyap. Ia sudah kenyang dengan kekecewaan yang tetap saja tidak bisa dirinya tahan, meski sudah sekeras mungkin ia mencoba.

***

"Bunda saya sepertinya suka sama kamu."

Rinjani berkedip-kedip. Suara lembut Arkantara membawanya kembali dalam pusaran kehidupan nyata. Menyadarkan gadis itu bahwa Arkan sudah benar-benar berada di hadapannya. Pria itu kini sibuk mencoret-coret layar ­iPad dengan pensil elektronik yang Rinjani tidak tahu apa namanya, tapi ia sering melihat perangkat itu digunakan para eksekutif seperti Arkantara.

"Rinjani?"

Gadis yang dipanggil terkesiap kala mendapati Arkan menoleh padanya di sela-sela kesibukan. Rinjani menunduk, merasa lebih malu lagi jika Arkan barusan memergoki dirinya memandangi lelaki itu lekat-lekat.

Mengorek ingatan akan perkataan Arkan sebelumnya, Rinjani kemudian menjawab dengan suara pelan. "Kita punya hobi yang sama, Pak."

"Kelihatan, sih." pungkas Arkan.

Kepala Rinjani sontak terangkat, keningnya berkerut menatap Arkan di depan.

Selepas makan siang, sementara Bi Nur menyetrika pakaian dan Adinda beristirahat di kamarnya, Rinjani menyempatkan diri mengurusi dokumen-dokumen yang Vita kirimkan selagi menunggu Arkan. Mencicil tugas pengarsipan sebelum nantinya diberikan pada manajer divisi publik relasi yang baru.

Dua jam berselang, Arkan pulang. Dia memarkirkan mobil di luar pagar, sehingga Rinjani pikir mereka akan langsung pergi. Tapi, mendadak Pradipta mengirimkan file pekerjaan yang menurut Arkan lebih baik dirinya kerjakan sekarang.

Jadilah, di sini Rinjani dan Arkantara berada. Di balkon lantai dua yang menghadap pada taman belakang—tempat di mana puluhan bahkan ratusan jenis bunga yang ibunda Arkantara koleksi terhampar indah. Semilir angin yang sejuk beberapa kali menerpa wajah Rinjani, membuat anak-anak rambutnya yang tak berhasil dihimpun satu ke belakang dengan karet rambut—menjadi berantakan.

"Dua jam lebih kamu sama Bunda, cuma bahas cara memperbanyak bunga matahari aja." Gerak tangan Arkan terhenti, membuat pandangan Rinjani dari jari yang begitu lihai mengsketsa berbagai huruf di layar perangkat elektronik terputus, lalu beralih pada wajah Arkantara yang kini memandanginya dengan senyum lembut.

Sepersekian detik, sengatan yang beberapa hari ini menyerang suatu ruang di hati Rinjani tiap berhadapan langsung dengan Arkan, terjadi lagi. Membuatnya tak bisa bersuara, bahkan ketika Arkan melanjutkan ucapan sambil melirik setangkai bunga matahari yang sejak tadi Rinjani genggam. Bunga yang tadi Adinda berikan sebagai hadiah.

"Ah, satu lagi, sampai gimana biji bunga matahari diolah jadi bisnis kuaci."

Mendengar kalimat yang disertai senyum geli itu, Rinjani menyemburkan tawa. Meja kayu di balkon yang kini menopangi kedua sikunya sampai berderak karena gerak tubuh gadis itu, hingga ia cepat-cepat minta maaf karena merasa sudah mengganggu kegiatan Arkan.

Arkan bergeleng, lalu menyeringai menatap Rinjani. Pancaran usil di kedua manik hitamnya menyampaikan bahasa yang membuat Rinjani mau tak mau mengulum senyum.

"Bapak menguping percakapan saya dengan Tante Dinda?"

Arkan mengangkat bahu, kembali mengukir lukisan kata dari jari-jarinya yang lentik—kali ini tidak menggunakan pensil.

"Suara kamu yang melebihi oktaf biasa saking semangatnya bicara."

Entah sindiran atau candaan, tapi Rinjani tertawa kesekian kalinya yang lantas menulari Arkan. Beberapa menit hening menyapa. Desau angin yang menggoyangkan pohon Ketapang Kencana dan Bambu Jepang di taman bawah, mengisi kekosongan bunyi di antara dua anak manusia itu.

"Saya punya saran, Pak." Suara Rinjani menarik perhatian Arkan. Gadis itu menyodorkan ponsel seraya berkata, "Saya pikir, Bapak kesulitan buat sketsa karena merasa tagline yang dikirimkan Pak Dipta enggak sesuai dengan konsep album barunya Mbak Rania."

Mendapati tatapan heran Arkan, Rinjani lanjut bicara. "Saya tahu dari Sarah, penyanyi yang bakal comeback bulan depan cuma Rania Qatrinna."

Arkan tersenyum, matanya mulai menelusuri dua kalimat yang Rinjani ketik di aplikasi catatan ponsel.

Bring Your Own Sun

Sunshine For The Gray Sky

"Kamu segitu sukanya dengan bunga matahari, Jani?" tanya Arkan tiba-tiba, penasaran.

"Itu bunga pertama yang saya tanam dan bisa hidup. Bunga lainnya layu terus, Pak."

Tawa Arkan pecah. Ia mengangguk-angguk, dalam hati menyetujui Pradipta yang memberi predikat berbakat pada Rinjani.

Meski Monolithe punya tim kreatif, Arkan tetap ikut serta dalam beberapa prosesnya. Seperti pemilihan tagline abum, hingga mendesain sketsanya dengan tangan sendiri. Pekerjaan sampingan yang dulu kerap ia lakukan semasa kuliah, membuat Arkan lebih handal dan cepat dalam menyelesaikan tugas itu daripada desainer divisi kreatif sendiri. Bayu—sang desainer—sampai mengomel karena jatah kerjanya diambil alih, namun ia tak pernah absen mengagumi hasil desain Arkan.

"Saya tertarik yang pertama." Arkan memandangi Rinjani lagi. "Boleh saya ajukan ini ke tim kreatif?"

Rinjani mengangguk. "Itu hadiah saya untuk Bapak."

Selama beberapa detik, Arkan diam menatap Rinjani. Gadis itu gugup, lalu melarikan bola mata pada pot bunga gantung di belakang Arkan.

"Rinjani...," Suara pelan itu mengerjapkan sepasang mata indah di hadapan Arkantara.

"Ya, Pak?"

"Saya boleh minta hadiah lagi?"

Diam sesaat, akhirnya Rinjani menyengir. "Asal hadiahnya enggak sampai juta—"

"Panggil saya Arkan." Arkan bicara seraya bangkit berdiri, memotong kalimat Rinjani yang kini tertegun.

Setelah meraih ponsel dan cangkir kopi yang tadi ia nikmati, Arkan tersenyum lembut pada gadis di hadapannya sekali lagi.

"Hanya Arkan. Tanpa 'Pak'. Kamu bisa mulai dari sekarang, sebelum saya antar kamu pulang."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro