[14] Nomor

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Junior talent manager?"

Pradipta mengangguk mantap, memandang gadis dua puluh tujuh tahun yang duduk di kursi tamu, tepat di seberang meja kerjanya. "Iya, Rinjani." Jeda. "Jadi, gimana? Kamu mau, kan?"

Kening mengerut Rinjani tampak semakin jelas. Ia menunduk, jari-jarinya yang terpaut di atas pangkuan saling meremas untuk menyalurkan rasa bingung. Tidak tahu berapa persisnya waktu mengalir, namun Rinjani sungguh merasa tak enak hati kala dirinya mengangkat wajah lagi, Pradipta masih mengarahkan fokus padanya. Seolah menunggu sampai Rinjani punya keberanian untuk menjawab, menanggapi tawaran yang beberapa saat lalu Chief Brand Officer itu berikan padanya.

"Ma-maaf, Pak Dipta. Sa-saya terlalu kaget." ungkap Rinjani jujur, matanya bergerak gelisah menatap Pradipta yang kini hanya tersenyum. Lelaki berjas hitam dengan kemeja biru itu menyandarkan punggungnya pada kepala kursi, kedua siku tangannya yang semula bertumpu pada kaca meja beralih mendarat di lengan kursi putar.

Rinjani bisa menangkap helaan napas samar Pradipta, menciptakan gelisah di hati gadis itu. Rinjani takut Pradipta marah, karena dirinya terkesan tidak langung menerima tawaran lelaki itu.

Bukan tanpa alasan Rinjani merasa ragu. Staf tetap adalah impiannya sejak dulu. Dengan jabatan itu, ia bisa merasakan gaji di atas UMR setiap bulan, belum lagi bonus kerja yang cukup besar jika berhasil menjalankan proyek yang dianggap penting oleh perusahaan, jauh lebih besar daripada bonus yang didapatkan oleh seorang staf kontrak—sesuatu yang bahkan sulit Rinjani dapatkan ketika Riko masih memperbudaknya.

Dan, sekarang? Pradipta baru saja menawarkan kenaikan jabatan. Senang? Tentu saja! Kalau bisa, Rinjani ingin kayang di ruangan ini sekarang juga. Namun, euforia bahagia itu hanya sesaat ia rasakan. Begitu Pradipta mengatakan bahwa posisi yang dijabatnya adalah bagian dari personil artis di Monolithe, senyum Rinjani lenyap. Serta-merta berganti gelisah yang kentara.

Rinjani berasal dari divisi publik relasi, latar belakang pendidikannya pun di bidang tersebut. Selama ini, lingkup pekerjaannya hanya sebatas mengatur kontrak kerjasama dengan para klien yang ingin menggunakan jasa artis Monolithe. Ia tidak pernah terbiasa mengurusi artis dan segala keperluan mereka, bahkan berkumpul untuk waktu yang lama dengan para artis itu juga jarang. Mereka dan Rinjani hanya sekedar berpapasan, dan menegur jika sang artis mengenali Rinjani.

Tapi, Pradipta justru menawarkan posisi asisten untuk seorang Senior Talent Manager?

"Jadwal Cloud mulai padat tahun ini, Rinjani." Suara Pradipta terdengar lagi.

"Selain project grup, Zyandru dan teman-temannya juga mulai ada project masing-masing sejak awal tahun ini. Pak Devon agak kewalahan mengatur semua kegiatan mereka sendirian. Karena itu, dia butuh asisten." jelas Pradipta panjang lebar setelah menyebutkan nama manajer Cloud, Devon, serta leader dari boyband tersebut, Zyandru.

"Apa kamu merasa sulit karena ini switch jobs?"

Rinjani agak terkejut karena merasa Pradipta bisa membaca pikirannya. Gadis itu menggigit bibir, sebelum berucap ragu sambil mengangguk pelan. "Sejujurnya, iya, Pak. Saya minta maaf. Bukannya saya tidak menyukai pekerjaan tersebut, tapi...," Jeda, Rinjani menatap Pradipta cemas. "saya takut saya tidak punya kemampuan yang handal untuk jadi asisten manajer, Pak. Apalagi latar belakang saya Publik Relasi.."

Pradipta mengangguk-angguk paham. Setelah beberapa detik berpikir, ia bertanya lagi. "Kamu enggak keberatan untuk belajar, kan?"

"Enggak, Pak." jawab Rinjani cepat. "Sama sekali enggak. Tapi, tetap aja...,"

"Rinjani," Panggilan Pradipta memotong kalimat ragu sang bawahan.

"saya memilih kamu karena saya memang punya pertimbangan. Keahlian seorang staf publik relasi, sebagiannya juga harus dimiliki oleh seorang talent manager. Kemampuan kamu lima tahun di Divisi PR sudah cukup membuktikan potensial yang kamu punya. Lagipula, ini hak yang seharusnya sudah lama kamu dapatkan, Rinjani. Posisi staf tetap harusnya diberikan ke kamu setelah tiga tahun kamu bekerja dengan kinerja yang sangat baik. Lagipula, jika membicarakan kehandalan pekerjaan, kamu bisa belajar pelan-pelan dengan Pak Devon. Setelah kamu punya skill dasarnya, kamu bisa latih lebih baik lagi. Gimana?"

Hening.

Melihat raut cemas yang tak kunjung hilang di wajah Rinjani, namun segaris harapan muncul di manik gadis itu, Pradipta cepat-cepat berkata lagi. "Saya akan beri kamu kesempatan untuk memikirkan ini sampai besok, Rinjani. Tolong dipikirkan matang-matang lagi, ya."

Ketika senyum Pradipta terukir, Rinjani tidak punya pilihan untuk mengangguk.

***

"Jadi, kamu terima?"

Rinjani baru selesai menutup pintu mobil ketika suara familiar di sebelah kanannya terdengar. Gadis itu menoleh, tersenyum pada Arkantara yang kembali mengantarkan Rinjani pulang setelah pagi pekan ini, Rinjani menghabiskan waktu bersama ibu lelaki itu untuk menanam bunga matahari pada lahan kecil di belakang kediaman Prasadja.

Hanya dua kali pertemuan, dan Rinjani sudah bisa merasakan kehangatan Adinda sebagai seorang ibu. Mereka makan siang bersama, kembali tanpa Arkan karena Adinda bilang atasan Rinjani itu sedang punya banyak pekerjaan. Itu sebabnya, Arkan langsung mendekam di ruang kerja yang berada pada lantai atas, alih-alih bergabung menikmati ikan bakar dan sayur asam buatan Adinda. Lelaki itu baru keluar saat ingin menawarkan bantuan tumpangan lagi pada Rinjani, itu pun setelah Rinjani mengiriminya pesan untuk memberitahu bahwa gadis itu akan pulang.

Kalau mengingat kedekatan yang terjalin begitu saja di antara mereka setelah dua minggu lalu Arkan memintanya memanggili nama panggilan lelaki itu saja, Rinjani merasa pipinya akan kembali memanas seperti apa yang terjadi sekarang. Karena itulah, sebelum Arkan menyadari kegugupan dan rasa malunya, Rinjani segera berpaling wajah untuk menatap jalanan di depan dari kursi penumpang di samping jok kemudi yang Arkan duduki.

"Selamat, ya."

"Terima kasih, Pak." jawab Rinjani, tersenyum tanpa menoleh.

Saat mendengar desisan Arkantara, gadis itu menoleh bingung.

"Arkan." Mendapati lirikan tajam lelaki di sampingnya, yang mengucapkan sebuah nama keramat di bibir Rinjani belakangan ini, Rinjani meneguk ludah. Mendadak resah.

"Ma-maaf, saya masih belum terbiasa, Pak—" Sekejap Rinjani mengatup bibir. "Kak Arkan." ralatnya, bersuara kembali setelah menemukan keberanian untuk memanggili Arkan dengan sebutan 'Kak'. Sebutan yang menjadi penawaran Rinjani saat ia dan Arkan berdebat tentang masalah panggilan.

Sore hari pada dua minggu lalu, Arkan getol sekali memintanya memanggil nama lelaki itu saja. Rinjani tentu menolak, selain tak terbiasa, ia juga segan dan takut terdengar tidak sopan. Selain Arkan berusia lima tahun lebih tua dari Rinjani, jarak posisi jabatan mereka pun seperti angka satu dan sepuluh. Bawah dan Atas.

Rinjani tidak akan seberani itu.

Jadi, bisa dibayangkan betapa susahnya Rinjani saat Arkan terus memaksanya hingga sekarang? Bahkan, saat meminta nomor telepon Rinjani lima hari lalu—dengan alasan jaga-jaga jika bunda Arkan sewaktu-waktu ingin bertemu Rinjani—Arkantara bersikap seolah status kedekatan mereka berdua sudah lewat dari sekedar atasan dan bawahan.

Stop.

Jangan pernah berpikir lelaki itu tertarik padanya, apalagi menyukainya. Tidak sedikit pun Rinjani melesatkan dugaan tersebut di kepala, meski hatinya berulang kali ingkar—untung otaknya masih bisa diajak kerja sama. Satu-satunya dalih Arkantara saat Rinjani bertanya adalah, lelaki yang cukup dipuja para kaum hawa Monolithe itu telah menganggapnya sebagai teman dekat. Alasan yang kurang masuk akal—namun logis bagi Arkan—sebab lelaki itu mulai menyandangkan predikat tersebut pada Rinjani, usai mereka terlibat perbincangan menarik sembari menikmati nasi goreng di warung tenda Kebon Sirih berminggu-minggu lalu.

Aneh, kan?

Aneh. Satu-satunya kekurangan Arkan yang Rinjani tahu kini, dan sialnya... hal itu justru menambah kadar tertarik yang Rinjani rasakan terhadap lelaki itu.

"Nanti juga bakal terbiasa." Suara Arkan mengembalikan Rinjani pada dunia nyata.

Rinjani tersenyum. Pada akhirnya dia hanya mampu berucap, "Terima kasih, ya, Kak."

"Kok, berterima kasih ke aku?"

Kening Rinjani mengernyit. Otaknya segera memilah diksi yang tepat agar tidak sampai menyinggung Arkantara. Entah mengapa, Rinjani yakin tawaran Pradipta kemarin ada sangkut pautnya dengan Arkan.

"Karena Kak Arkan...," Rinjani menggigit bibir, memandang depan dengan kepala sedikit miring. "CEO Monolithe-nya?" lanjut Rinjani. Kekehan gadis itu memancing Arkantara untuk menoleh sesaat dengan senyum lebar yang tersungging.

"Kamu enggak mengira aku melakukan nepotisme, kan?" Pertanyaan Arkan menaikkan sebelah alis Rinjani.

"Sekali pun kita dekat, aku enggak akan melakukan hal itu." sanggah Arkan tegas. Tawa renyah Rinjani beberapa detik kemudian, mengundang senyum geli lelaki itu.

"Maaf, aku enggak bermaksud gitu, Kak." Rinjani mengangkat bahu. "Cuma ya, mungkin Pak Dipta mempertimbangkan aku karena Kak Arkan." jujurnya.

"Karena kamu. Itu karena kamu, Rinjani. Enggak ada alasan lain." Satu kalimat yang terasa tulus dari Arkan membuat Rinjani bergeming. Begitu tersadar, ia memalingkan wajah dari Arkantara yang tengah menarik tuas kopling karena mobil berhenti di tengah kendaraan lain yang merayap menunggu lampu merah.

"Pradipta paling enggak bisa diatur-atur kalau disuruh menetapkan jabatan seseorang." Arkan menoleh pada Rinjani. "Ia akan menempatkan siapa pun sesuai kemampuan. Kemarin, dia memang sempat cerita kalau ada lowongan untuk Junior Talent Manager. Rencananya kami mau buka rekrutmen, tapi mengingat kamu kerja di Publik Relasi dan punya jejak kerja yang bagus, ditambah kamu setia jadi staf kontrak sampai lima tahun, aku rasa itu alasan Dipta milih kamu."

Mendengar itu, denyut hangat membungkus jantung Rinjani. Tidak hanya ucapan Arkan yang seperti sihir, membuatnya mengangguk mau tak mau, tapi sorot telaga hitam lelaki itu membawa Rinjani hanyut dalam sebuah rasa asing.

Rasa yang belakangan hari semakin jelas terasa setiap dekat Arkantara.

"Karena kamu udah makan siang, gimana kalau sebelum pulang, aku bawa kamu ke kafe ice cream milik temanku?"

Ketertegunan membuat Rinjani melongo ketika Arkan mengibaskan telapak tangan kirinya di depan wajah Rinjani.

"Kenapa?" Rinjani bertanya.

"Ayo ke kafe temanku. Di sana ada ice cream rasa kacang. Kamu pasti suka. Mereka punya varian kacang yang banyak dan enak. Mau, ya?"

Rinjani mengerjap bingung. Wajah Arkan sekarang, persis anak kecil yang sedang merayu ibunya agar dibelikan permen manis. Susah sekali untuk ditolak.

***

Ada yang aneh dari kalimat ajakan Arkan tadi. Rinjani memikirkannya sepanjang jalan menuju Snowcrown Cafe.

Mengapa lelaki itu seolah tahu salah satu makanan favorit Rinjani adalah kacang?

Apa dia pernah memergoki Rinjani menghabisi hampir seperempat kacang bawang dalam toples yang dihidangkan oleh Adinda? Kalau itu benar, Rinjani tidak tahu seberapa banyak lagi dirinya harus menahan malu. Sudah banyak hutang budi, kelihatan rakus lagi!

Gadis itu berdecak kesal, bersungut-sungut pada dirinya sendiri. Tatapan Rinjani tak berhenti menatap Arkantara yang kini menuruni anak tangga sambil berbincang dengan temannya, Dariel—pemilik kafe yang sebelumnya Arkan perkenalkan. Beberapa saat lalu, Dariel mengajak Arkan ke ruang kantornya di lantai atas untuk membahas masalah bisnis.

"Rinjani, gimana rasa ice cream-nya?" Dariel bertanya setelah berdiri di dekat meja Rinjani. Arkan kembali mendaratkan bokong di kursinya, menatap Rinjani yang hanya melirik sekilas dengan senyuman.

"Enak banget, Pak." puji Rinjani sambil tersenyum sopan.

"Panggil Dariel aja."

Melihat binar jenaka di wajah Dariel, Rinjani tertawa kecil. "Baik, Dariel."

Dehaman keras mengalihkan perhatian Rinjani dan Dariel pada Arkan.

"Bukannya lo mau nemui Dita?"

Dariel melengos. Ia tahu jelas untuk apa Arkan mengungkit-ungkit nama manajer kafenya. Tapi, bukan Dariel namanya jika tidak mengabaikan maksud terselubung sang teman. Ia menarik kursi yang berada tepat di kanan Rinjani, tidak mengacuhkan mata sipit Arkantara yang kini melebar.

"Boleh minta nomor teleponnya buat dijadiin anggota member kafe, Rinjani? Kalau ada diskonan di kafe aku, kamu bisa tahu lebih dulu."

Penawaran Dariel membuat senyum Rinjani mengembang. "Oh, boleh. Seb—" Ucapan Rinjani kalah cepat dari Arkan yang sudah menyebutkan sederet angka.

"Gue nanya sama Rinjani." dumel Dariel.

"Gue hafal nomornya." sahut Arkan ketus.

Dariel berdecak, namun tak urung ia mengangkat ponsel untuk kembali menekan angka di layar. "Ya udah, berapa?" tanyanya pada Arkan dengan nada menggerutu.

Rinjani menyaksikan pertengkaran para sahabat di depannya dengan wajah takjub. Ternyata, bercandaan seorang direktur dengan pengusaha tidak jauh berbeda dengan candaan pegawai biasa seperti dirinya, Vita, dan Sarah.

Arkan baru selesai menyebut angka. Belum juga ia meraih Blue Ocean Soda miliknya di atas meja, semburan Dariel sudah menyambar padanya, mengejutkan Rinjani yang baru memegang sendok untuk mencicipi ice cream kembali.

"Ini, mah, nomor lo Jubaedah!" ketus Dariel murka.

Rinjani melongo, sementara Arkan hanya melayangkan sebuah tatapan datar.

Skill : Kemampuan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro