06 ~ Celoteh Manja

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Orang menilai dari apa yang ingin mereka lihat.
Orang melihat dari apa yang ingin mereka rasa.
Namun, sedikit sekali mereka yang bisa peka dan menjadi perasa.
Mereka lebih sering merasa ....
Merasa bisa, merasa hebat, merasa berkuasa.
Janganlah sering merasa!
Jadilah perasa
sebab kita hanya manusia biasa

~Nardo Shidqiandra~

🍃🍃🍃

Akhir pekan yang ditunggu tiba. Lima hari kerja, berangkat petang pulang petang nyatanya menguras tenaga juga. Menempuh perjalanan yang lumayan jauh hingga beradaptasi dengan lingkungan baru membuat lelah tercetak jelas di wajah sendunya.

"Le, kenapa ndak mengikuti saran ayah saja? Kamu cari tempat indekos biar bisa beristirahat. Ibu juga khawatir, takut kamu kelelahan di jalan."

"Nardo sudah tanya-tanya daerah sekitar sekolah, tanya sama pak kebun juga. Mungkin ada kamar kosong. Katanya di dekat sekolah ada satu yang kosong. Besok Nardo coba pastikan. Kalau benar-benar kosong, lusa Nardo boyongan, Bu."

"Bagus kalau begitu. Kamu ndak usah memikirkan Oka sama Adis, toh akhir pekan kamu juga bisa pulang untuk bertemu mereka sekaligus mengunjungi pondok kalau rindu. Itu si Ujang jangan lupa disambangi. Setiap kemari yang dicari kamu aja," ujar ibu Nardo.

"Nggih, Bu, setelah ini Nardo mau ke pondok. Sudah rindu rasanya sama suasana pondok. Adis sudah tidur, Bu? Apa Nardo terlalu malam sampai di rumah?"

"Adikmu itu modelnya 'kan pelor, nempel bantal langsung molor. Seharian dia kerjanya main saja sampai harus dijemput ayah baru mau pulang dan bersiap untuk ngaji. Mandi sana! Setelah itu baru makan."

Nardo mengangguk dan beranjak, bukan ke kamarnya, melainkan ke kamar si bungsu. Gadis kecil dengan rambut bergelombang itu tampak lelap. Boneka beruang kecil berwarna cokelat tua tergeletak seperti tak bertuan.

Nardo melangkah pelan tak ingin mengganggu tidur si kecil. Si sulung itu membuka tas ranselnya, kemudian mengeluarkan empat origami berbentuk kelinci, tikus, merak dan baju hasil dari kegabutannya saat menjadi penunggu ruang TU. Diletakkanya keempat origami itu diatas nakas dengan taplak berwarna merah terang.

Hal-hal sederhana itu sering Nardo lakukan untuk keluarganya. Terlebih lagi untuk si tengah dan si bungsu. Bukannya tak mampu memberi mainan yang mahal, hanya saja prinsip sang ayah sudah mendarah daging.

Tidak perlu hadiah mahal untuk bisa melihat senyum dan tawa bahagia dari keluarga. Cukuplah jadi anak yang peka dan perasa lalu berbaktilah pada masyarakat dengan kemampuan yang kau miliki. Bahagiamu tak 'kan kemana, bahagiamu 'kan selalu terjaga, batin Nardo mengulang kembali petuah dari sang ayah.

🍃🍃🍃

Minggu siang, sebuah mobil kijang lawas terparkir di halaman tak jauh dari SMK Bina Bangsa. Pintu dengan cat berwarna biru itu terbuka. Beberapa barang berjajar di teras, menunggu giliran untuk menempati kamar baru.

"Sudah turun semua barangnya, Jang?" tanya ayah Nardo pada Ujang yang membawa sebuah kotak semi transparan berisikan buku-buku milik Nardo.

"Sudah, Pak, sisa ini saja," jawab Ujang sambil membawa masuk kotak tersebut.

"Tempatnya bersih, nyaman, dekat juga dari sekolah. Kira-kira betah berapa lama, Le? Kalau sudah bosan mending pulang, ya, Ibu ndak terbiasa jauh dari kamu."

"Bu, baru saja sampai sudah disuruh pulang. Nardo ndak akan lupa sama rumah. Nanti kalau Adis dan Oka kangen, kita yang nyambangi Nardo. Biarkan dia terbiasa dulu sama sekolah dan suasana di sini."

Sang ibu mengangguk. Adis yang sedari tadi tidur dan menempati ranjang di kamar Nardo mendadak menangis keras tanpa sebab. Anak itu ternyata menangis dalam tidurnya. Nardo yang berada didekatnya berusaha menenangkan hingga Adis kembali lelap.

Si bungsu bahkan tak bangun saat sang ayah menggendongnya setelah semua keluarganya berpamitan pulang. Oka yang sejak berangkat bungkam karena tak setuju dengan pindahnya sang kakak akhirnya bersuara.

Si tengah itu mendekati Nardo dan memeluk kakaknya erat. "Jangan lama-lama di sini. Sering-sering pulang. Oka ndak ada yang ngajari kalau kesulitan belajar." Usapan lembut Nardo berikan sebagai tanda setuju pada ucapan sang adik.

🍃🍃🍃

Berkah dari kepindahan Nardo menempati kamar indekos adalah bisa datang lebih pagi dari guru-guru lain. Beruntungnya lagi, Nardo mendapat jatah meja strategis yang sedikit tersembunyi. Meski mejanya terlihat, tetapi kursinya sedikit terhalang oleh lemari.

Satu-persatu guru mulai berdatangan. Bapak-bapak yang terbiasa mojok mencari posisi aman untuk merokok menyadari meja strategis itu sudah berpenghuni. Nardo tersenyum untuk menyapa sejenak lalu tenggelam lagi berkelana dengan buku bacaannya.

"Pak Nardo belum datang? Masih baru sering datang siang," sindir Bu Janneta guru Pendidikan Kewirausahaan.

"Iya, loh! Padahal masih baru, tapi nggak ada teguran tuh dari Pak Tjah!" timpal Pak Hardjito guru senior yang mengajar Sejarah Indonesia.

"Aih, kalian ini bagaimana, sih? Namanya juga yang spe-si-al mana mungkin ditegur. Apalagi Pak Nardo juga nempel terus sama Pak Tjah." Bu Dara membuat suasana ruang guru mulai menghangat.

"Spesial dari mananya, Bu? Saya lihat Pak Nardo biasa saja. Beliau juga orang yang cepat belajar. Kemarin saja belaja administrasi kelas langsung beres. Jangan menerka kalau tidak tahu kabar yang pasti." Bu Hasnah dengan perut besarnya mencoba mendinginkan suasana.

"Bu Hasnah, sampean ini jadi orang mbok jangan terlalu polos. Sekarang ini untuk bisa mengajar di SMK sekelas sekolah kita itu sangat sulit. Kalau ndak punya kenalan orang dinas, mana mungkin bisa masuk begitu saja. Apalagi sampai diberi kepercayaan untuk jadi operator. Kita ini belum tahu sama kinerjanya bagaimana, salah-salah dia itu manipulasi data sekolah, habislah semuanya!"

"Bu Dara ada benarnya juga. Apa yang Pak Tjah dapat sampai-sampai Pak Nardo bisa masuk ke SMK kita dengan mudah?" Salah seorang guru Matematika yang berstatus PNS itu mulai berspekulasi.

"Nah, nyadar juga akhirnya! Apalagi kalau bukan sogokan? Kita 'kan nggak tahu kesepakatan apa yang mereka buat, boleh dong untuk curiga? Masa bisa masuk begitu saja tanpa ada embel-embel sesuatu yang plus dari Pak Nardo!" Bu Dara yang mengajar mata pelajaran produktif Akutansi terus saja mengoceh.

Nardo diam mendengarkan semua perkataan tadi. Pak Jaya yang berada tepat di hadapan Nardo sebenarnya ingin angkat bicara, tetapi Nardo memberi kode untuk tetap diam seolah tak ada Nardo di sana.

"Jangan terlalu percaya sama orang baru. Tipe orang baru itu ada dua, yang satu diam-diam ngabisin barang dan uang, kedua yang diam-diam adu domba dan menjadi penjilat seperi Pak Nardo."

"Bu, kalau bicara jangan sembarangan, Pak Nardo itu orang baik. Bagaimana kalau Pak Nardo dengar ucapan Bu Dara barusan? Secara tak langsung Bu Dara itu memfitnah Pak Nardo, kalau dilaporkan bisa-bisa Bu Dara kena pasal pencemaran nama baik," ujar Bu Darmi—guru PKn senior—mengingatkan Bu Dara.

"Saya bukan tipe orang yang suka lapor-melapor, Bu. Tidak apa-apa, saya beri kebebasan Bu Dara untuk berkata apa saja tentang saya, tugas saya hanya satu, berpura-pura tidak tahu."

Acara rasan-rasan Senin pagi sebelum memulai upacara terhenti seketika. Beberapa dewan guru tertegun dengan kemunculan Nardo yang tiba-tiba. Pak Jaya mengekor dan mendorong tubuh Nardo untuk segera keluar.

Perlahan Nardo memiringkan tubuhnya untuk melewati beberapa meja yang sudah berpenghuni. Tanpa merasa bersalah Bu Dara justru menatap manik mata Nardo dengan sinis. Bu Janneta masih tampak kaget, dia terpaku begitu Nardo melintas di hadapannya. Begitu juga Pak Hardjito yang tersenyum kaku saat Nardo menyalami dan memberikan senyum hangatnya

🍃🍃🍃

Bonekanya Adis tertelungkup pasrah

Origami buatan Nardo untuk Adis

Say, Hi! Salam dulu sama Mas Nardo

Selamat pagii!
Nardo hadir lebih awal!
Bahagia 'kan? Bahagia banget pastinya!
Untuk kalian yang rindu Bu Dara, acungkan tangannya!
Untuk yang rindu sama Nardo, angkat dua tangannya!
Untuk yang rindu sama Bang Radit, angkat dua kakinya!
Kalau rindu Nardo dan Bang Radit, ayo guling-guling!
😆😆😆😆

ONE DAY ONE CHAPTER BATCH 4
#DAY6
Bondowoso, 03 Oktober 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro