07 ~ Tak Bisa Melepas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Katanya aku serakah! Sudah tahu kondisi sibuk,
masih menyisakan waktu untuk lainnya.
Berkejaran dengan waktu seolah tiada hari lagi.
Berburu kesempatan hingga menggadaikan kesehatan.
Apa yang dikejar? Penghasilan? Penghargaan? Cari muka?
Bukan ..., tetapi binar mata dan senyum bahagia yang menjadi incaranku

~Nardo Shidqiandra~

🍃🍃🍃

Kolam ikan koi yang berada di depan ruang guru menarik perhatian Nardo. Seninnya sangat tenang, kecuali kegaduhan pagi tadi. Tidak ada jam mengajar, tidak ada panggilan ke ruang TU untuk mengerjakan data, tidak ada juga panggilan dari mereka yang biasanya berebut minta bantuan.

Rekan kerjanya seolah mendiamkan lelaki berusia 26 tahun itu. Tidak semua, hanya beberapa saja yang kontra akan keberadaannya. Sisanya masih seperti biasa. Saling menyapa dan melempar senyum.

Meski senyum tetap saja menghias wajah dengan rahang tegasnya, tetapi sorot matanya kosong. Sesekali lelaki itu tampak menghela napas lalu mencebik. Ada rasa yang ingin dilepaskan hingga membuatnya lega.

"Sudah berapa kali menghela napas untuk hari ini? Sejak duduk di situ dengan memandangi ikan-ikan koi yang berdansa, Pak Nardo sudah empat kali mengembus napas dengan keras." Suara itu membuat Nardo menoleh lalu menepuk sisi kanannya yang kosong meminta orang itu duduk di sana.

"Lagi nganggur, Pak? Kalau nganggur di sini saja sambil ngapalin corak ikan koi ini. Itu yang putih polos namanya Rambo. Pojok kanan dengan corak oranye di bagian kepala dan ekor itu namanya si Diga, sebelahnya itu yang punya tiga warna namanya Gori. Deketan sama Gori yang ngintilin dia terus itu namanya Wondi. Sebelah sana yang sering sembunyi tak sebut Madu, soalnya kuningnya bening kayak madu. Kalau yang paling besar itu bisa dipanggil Titik, soalnya di tengah badannya itu seperti titik hitam yang besar," oceh Nardo panjang lebar.

Radit melongo mendengar ucapan guru baru itu. Sejak pertama kali kenal ini adalah kalimat terpanjang dan teraneh yang Nardo ucapkan. Radit mendekat dan meraba kening Nardo sebentar lalu melihat ke atas. Sinar matahari siang ini cukup terik.

Mungkinkah Pak Nardo ini kepanasan, makanya ngoceh ngalor ngidul nggak jelas malah ngasih nama ikan segala, batin Radit.

"Pak, ngadem di kantor saya. Sepertinya Pak Nardo kepanasan."

"Pak Radit kalau bosan di kantornya tinggal panggil mereka saja, Rambo, Diga, Gori, Wondi, Madu, Titik. Singkatnya mereka bisa dipanggil Ra digowo mati!"

"Iya, iya, nanti saya panggil mereka," Radit menarik dan menggiring Nardo ke kantornya.

Beruntung saat itu suasana ruang guru sedang sepi karena beberapa sudah masuk kelas dan yang lainnya sibuk dengan kegiatan di tempat yang berbeda. Jika tidak, maka makin panjang ocehan mereka saat melihat tingkah Nardo yang seperti itu.

🍃🍃🍃

"Dek ..., bolehkah saya memanggil begitu?" tanya Radit.

Nardo hanya mengangguk lalu menenggak minuman dingin yang diberikan oleh Radit.

"Jangan seperti itu lagi. Kalau ada yang dipikirkan sharing saja sama saya. Kalau orang lain melihat tingkahmu tadi, bisa panjang urusan. Makin licin mulut mereka mencari celah dan kesalahanmu."

Nardo lagi-lagi mengangguk. Dia sudah menceritakan kejadian di kantor guru pada Radit. Di satu sisi, Nardo merasa dirinya tenang saat menghadapi situasi tadi, di sisi lain dia merasa tertekan dan berusaha mencari pelarian. Niatnya hanya ingin mengalihkan sesak dengan mengamati ikan-ikan tersebut.

Namun, ternyata Nardo tertekan seperti saat dia baru saja kehilangan Aby, dia merasa tidak becus menjaganya. Situasi itu membuatnya menjadi pendiam dan menutup diri. Bahkan Ujang—sahabat dekatnya—dia diamkan selama berhari-hari.

"Alasan kepindahan saya ke sini karena ingin suasana baru. Suasana pondok membuat saya tidak bisa lupa pada Aby. Bayang-bayang Aby selalu ada di dekat saya. Atas saran salah satu saudara, saya dipindah ke sini." Nardo menyandarkan punggungnya pada kursi.

"Suasananya baru, teman kerja juga baru, tapi kok rasanya saya makin ..., ya, gitulah! Pak Radit pasti bisa menilai sendiri."

"Pelan-pelan mereka akan menerima kehadiranmu, Dek. Tunjukkan saja kemampuanmu. Mereka akan datang dengan sendirinya jika sudah membutuhkan, begitulah tabiat manusia. Angkuh saat merasa bisa dan hebat, tapi tunduk saat ada maunya. Tinggal kita lihat siapa yang butuh siapa," ujar Radit sambil menepuk bahu Nardo.

🍃🍃🍃

Ponsel pintar milik Nardo berkali-kali berdering sejak Nardo memasuki ruang konseling. Beberapa panggilan tak terjawab dan semuanya berasal dari kepala sekolah yang menggunakan jasanya untuk menjadi operator sekolah.

"Asalamualaikum ..., ya, Bu, ada apa?"

"Wa alaikum salam, akhirnya diangkat juga. Dek, ke mana saja? Ini Bu KS udah pada kelimpungan. Kita ke Pondo As-Salam nyariin, katanya Dek Nardo sudah nggak di sana lagi," ujar suara dari seberang.

"Iya, Bu, saya pindah ke SMK Bina Bangsa. Mumpung ibu telepon, sekalian saja saya bilang. Untuk semester depan saya ndak bisa bantu teman-teman lagi. Ibu dan yang lainnya bisa cari operator pengganti untuk saya. Nanti saya bantu untuk mengurusi peralihannya."

"Emoh! Ndak mau cari penggantinya. Kalau diganti dan nggak telaten kayak Dek Nardo, gimana? Adek tahu sendiri kalau kita ini emak-emak yang riweuh banget. Dek Nardo itu paling sabar ngadepin kita." Suara si penelepon berubah, mode speaker tengah aktif di seberang.

"Wah, beraninya main keroyokan!"

"Kalau nggak gini, Mas Nardo pasti minta berhenti lagi jadi operator kita. Kita mau cari di mana lagi operator yang seperti Mas Nardo?" ujar salah satu suara yang Nardo yakini sebagai kepala sekolah termuda diantara enam kepala sekolah lainnya.

"Coba cari di Shopee, Lazada, atau Tokopedia, Bu!" kilah Nardo

"Pokoknya kalau maksa berhenti kita demo rame-rame. Kalau misal dari sekolah baru nggak kasih izin, kita yang bakal minta izin sama kepala sekolahnya. Kalau dari keluarga yang nggak kasih izin, kita bakal datang ke orang tuanya, setuju?" Serempak mereka menjawab setuju.

"Terus, maksud Ibu telepon hari ini apa?"

"Soal penilaian kinerja, itu pengajuannya bagaimana? Soalnya baca penjelasannya saja sudah bikin mumet. Seperti biasa, Mas. Kita pasrahkan semua sama Mas Nardo. Kalau butuh apa-apa mengenai kekurangan data kita siap dihubungi jam berapapun." Kepsek termuda itu menjelaskan.

"Oh ..., untuk persiapan itu saya pelajari dulu alurnya bagaimana. Untuk kekurangan data saya list supaya nanti bisa disiapkan terlebih dahulu."

"Siap! Terima kasih, Mas Operator! Apalah kita tanpamu. Jangan pernah kabur dan meninggalkan kami, yaa! Aku padamu, Mas."

Setelah sambungan telepon itu terputus, Nardo menoleh pada Radit yang menanyakan tentang si penelepon. "Ibu-ibu yang biasa tak bantuin ngerjakan aplikasi, mereka nggak mau cari operator lain."

"Udah kadung sayang sama operator yang ini," goda Radit yang membuat wajah Nardo memerah.

"Bismillah, semoga segala lelah ini bisa menjadi Lillah. Saya sekadar membantu. Sebenarnya diberi ataupun tidak diberi imbalan saya juga biasa saja. Diberi saya anggap bonusnya, semisal tidak, ya, tidak masalah. Melihat mereka lega dan tersenyum saja sudah bisa menjadi penghapus lelah saya."

"Pak Nardo dicariin sama Pak Hardjito," Pak Parmin tiba-tiba saja muncul di pintu ruang konseling.

"Ada apa, Pak?" Radit yang bertanya.

"Anu ..., apaan, ya? Itu, mau dimintai tolong untuk nyiapin beberapa berkas yang mau disetor ke cabang dinas. Terakhir katanya hari ini sampai jam kantor berakhir."

"Kok ndadak, Pak?"

"Kayak yang ndak terbiasa sama deadline dadakan aja, Dek! Selamat berjuang!" ujar Radit memberi semangat.

🍃🍃🍃

Alur yang harus dipahami oleh Nardo

Selamat membaca!
Tetap kalem, tetap sabar, tetap tersenyum!
Kalian bisa lakuin sesuatu nggak?
Senyum, dong! Soalnya kopiku terlalu pahit!

ONE DAY ONE CHAPTER BATCH 4
#DAY7
Bondowoso, 04 Oktober 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro