22 ~ Hmmm!?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ada tenang yang aku rindukan.
Ada damai yang ingin aku ciptakan.
Sejenak berharap, tanpa berpasrah.
Berusaha tanpa lelah hingga akhir meminta berpasrah.
Tidak untuk selamanya, setidaknya sampai semua dalam kendali.

~Nardo Shidqiandra ~

🍃🍃🍃

Matahari sudah kembali ke peraduan, tetapi kedua lelaki yang baru saja kembali dari mengurus masalah Jodi masih bertahan di parkiran sekolah. Dia yang lebih tua tampak panik melihat sosok manusia di sebelahnya yang masih sibuk menyumpal hidungnya.

"Itu banyak banget darahnya, yakin nggak apa-apa?" Radit meringis saat melihat tisu yang baru menyumpal hidung Nardo seketika berubah merah.

"Jangan panik, ini sudah biasa, Bang!"

"Biasa gundulmu? Kamu biasa, Abang yang nggak biasa!" seru Radit sambil bergidik ngeri melihat Nardo mengganti tisunya lagi untuk kesekian kalinya.

Nardo menoleh dan memberikan senyuman dengan bibir pucatnya. Sementara tangannya masih terus memijat pangkal hidungnya berharap darah segera berhenti. Kepalanya sudah terasa pening.

"Kalau sampai azan Magrib nggak berhenti, kita ke UGD!"

"Nggak! Mending balik aja ke indekos. Tidur di sana lebih enak daripada di rumah sakit."

Radit geram, lelaki itu langsung menyalakan mobilnya dan tancap gas. "Badung banget jadi orang. Nggak Bi, nggak nih anak, sama! Sama bebalnya!" gerutu Radit.

"Lah, motornya gimana, Bang? Laptop dan lain-lainnya juga masih di ruang TU."

"Sabodo teuing! Balik ke indekos saja. Malam ini nggak usah kencan sama laptop dulu."

Nardo memeriksa hidungnya, dia menghela napas lega saat mendapati hanya sedikit darah yang menempel di tisu. Lelaki itu menuruti keinginan Radit untuk kembali ke kamar indekosnya.

Pintu kamar bercat biru miliknya sudah terlihat. Nardo keluar mobil, Radit menyusul dan duduk selonjoran di teras kamar Nardo sementara si pemilik kamar membuka pintu.

"Pulang gih, Bang!"

"Cih, udah dianterin balik malah ngusir! Minta minumnya dulu," pinta Radit sambil menengadahkan kedua tangannya pada Nardo.

Nardo menghilang sejenak, kemudian melemparkan botol air mineral yang masih tersegel dan duduk di sebelah si guru BK. Sepertinya rasa haus Radit sudah dalam tingkat kebangetan sebab sebotol air itu hanyat tersisa sepertiga botol dalam sekali tenggak.

"Bang, kenapa perhatian dan telaten ngadepin saya? Apa karena Pak Tjah bilang sesuatu?"

"Pak Tjah memang bilang kamu sepupunya, tapi itu bukan alasan Abang untuk dekat dengan kamu."

"Terus? Alasannya apa? Saya hanya orang baru di sini, baru kenal pula."

"Entahlah! Abang hanya mengikuti kata hati. Kalau dia bilang 'jauhi', sebisa mungkin abang ngejauhin. Kalau hati bilang 'aman', lanjut berteman."

"Hanya karena hati?"

"Hm ..., hanya karena kata hati. Seburuk apa pun orang itu, tapi kata hati minta untuk terima, ya terima saja. Hati itu cenderung lebih peka dari kelima indera kita. Ikuti saja apa yang kata hatimu katakan. Abang pamit!" ujar Radit sambil beranjak dan meregangkan tubuhnya sejenak.

Nardo juga turut mengikuti langkah Radit sampai di samping mobilnya.

"Bang, makasih sudah dianterin. Maaf sering ngerepotin atau mungkin malah jadi beban. Pak Tjah gitu, nggak bisa jaga rahasia."

"Nggak usah sungkan, kalau ada apa-apa telepon saja! Nggak ada yang jadi beban dan terbebani dalam hubungan pertemanan. Berteman itu apa adanya, bukan ada apanya!"

🍃🍃🍃

Sejak Pak Yusuf tidak lagi bekerja di SMK Bina Bangsa, seperti peringatan yang diberikan Pak Tjah, pekerjaan Nardo seperti tidak pernah surut. Selalu ada hal baru yang harus dikerjakan.

Belum selesai urusan yang satu, sudah datang tambahan lainnya. Kadang tugas-tugas itu datang secara bersamaan. Termasuk pekerjaan dengan para kepala sekolah dari enam lembaga yang dia tangani.

Kebiasaan begadang hingga lewat tengah malam membuat Nardo hanya tidur selama satu sampai dua jam setiap malamnya. Ada atau tidak ada tugas lemburan jadwal tidurnya tetap seperti itu. Tubuh Nardo seperti sudah beradaptasi dengan kesibukannya.

"Pak Nardo!" panggil Bu Dara sambil meletakkan roti dan susu cokelat di mejanya.

"Iya, Bu? Buat saya?"

"Saya diomelin suami tiga jam non-stop gara-gara kehilangan tunjangan itu."

"Apa itu salah saya? Apa hubungannya dengan roti dan susu cokelat ini, Bu?"

"Itu sebagai permintaan maaf saya. Gara-garanya, ada teman suami saya yang ngajar di negeri cerita soal usahanya operator SMK Bina Bangsa. Suami klarifikasi sama saya, ya, saya cerita apa adanya. Lah, malah saya yang diceramahin balik."

Nardo terdiam dan hanya melongo mendengarkan cerita Bu Dara. Ingin tertawa, tetapi Nardo takut dosa dan membuat Bu Dara naik darah.

"Dimaafin, nggak?" tanya Bu Dara dengan nada yang masih sedikit ketus.

"Bu Dara ikhlas nggak ngasih saya ini?" Nardo menunjuk pada dua benda di hadapannya.

"Ya, ikhlaslah! Pak Nardo nggak mau nerima? Kalau masih nggak mau maafin saya besok saya kembali lagi dan bawa seperti itu lagi."

"Bu-bukan, Bu. Saya terima, kok! Terima kasih. Saya juga minta maaf kalau sekiranya pernah menyakiti hati Ibu, saya minta maaf nggak bisa bantu soal tunjangan yang hilang itu."

"Nggak apa-apa, Pak. Setelah diceramahin dan disuruh introspeksi diri sama suami, saya sadar diri. Mungkin ini timbal-balik dari semua perbuatan saya. Saya diminta untuk jaga mulut sama suami."

Nardo tertawa canggung dan menggaruk tengkuknya. "Sekali lagi, terima kasih untuk roti dan susu cokelatnya."

"Sama-sama, Pak. Besok dan seterusnya saya bawakan lagi soalnya saya kasihan, Pak Nardo pucatnya sudah mirip zombie yang kurang makan," ucap Bu Dara dengan nada khasnya.

"Yah, Bu ..., barusan bilang mau jaga mulut, tapi ...." Nardo urung melanjutkan kata-katanya saat melihat Bu Dara membelalakkan matanya.

"Ampun, Suhu!" ujar Nardo disertai kekehan.

Bu Dara beranjak dan meninggalkan Nardo menikmati pemberiannya. Lelaki itu berucap hamdalah dalam hatinya. Berharap ketenangan ini tetap terjaga untuk sekarang dan hari-hari berikutnya.

🍃🍃🍃

Setelah sekian lama di SMK Bina Bangsa, Nardo baru menemukan kedamaian di sekolah itu. Hari-harinya penuh dengan sapaan riang dari beberapa teman-temannya. Mereka juga tidak canggung untuk memuji kelihaian Nardo berhadapan dengan aplikasi.

Beberapa kali Nardo bahkan melihat tatapan iba untuk dirinya. Lelaki dengan semangat kerja dan loyalitas tinggi untuk sekolahnya. Suara-suara sumbang yang meragukan kemampuannya sudah hampir tidak terdengar lagi.

Pengakuan itu membuat Nardo bisa bernapas lega. Keberadaannya sudah bisa diterima oleh warga SMK Bina Bangsa. Bahkan beberapa guru senior terang-terangan memperebutkan dirinya untuk dijadikan menantu.

Bisakah Nardo berpuas diri untuk saat ini? Rasanya tidak, sebab tugas tetaplah tugas. Kadang prestasinya juga bisa pasang surut. Untuk menjaganya, dia harus senantiasa menjaga supaya kinerjanya tidak merosot.

"Kerja terus, kapan nyari jodoh?" tanya Pak Tjah pada Nardo saat mampir ke ruang TU.

"Jodohnya wes pasti, Pak! Mungkin sekarang dia lagi keliling buat nemuin jalan sampai ke sini," jawab Nardo.

"Ojo panggil, Pak, di sini hanya ada kita berdua. Mbok biasa saja manggilnya."

"Tidak bisa! Harus profesional, Pak. Di rumah statusnya saudara, tapi di sekolah tetap atasan."

"Iyo, aku atasan awakmu bawahan. Padahal nang pasar Kamisan atasan itu murah, seratus ribu dapat tiga. Berasa barang obralan aku!"

"Nek sak setel atasan karo bawahan, berapa? Mungkin bisa lebih mahal."

"Nek atasannya bagus, bawahannya ikut bagus harga tentu mahal. Nek atasannya jelek, bawahan ikut jelek harga tentu murah. Paham?"

"Kualitas bawahan itu adalah bagaimana kualitas atasan yang memimpinnya."

"Pinter! Wes, langsung cari istri! Sudah lulus uji kepintaran!"

Nardo hanya tersenyum simpul dan enggan menanggapi ucapan sepupunya itu. Dia justru masih belum berpikisan ke sana karena cita-citanya untuk memberangkatkan haji ayah dan ibunya dengan jerih payahnya belum kesampaian.

🍃🍃🍃

Selama malam ....
Dikit lagi Nardo selesai!
Ada yang sedih?
Aku nggak! Soalnya bisa bikin cerita lainnya.
(Maunya begitu, semoga diijabah! Amin ....)



ONE DAY ONE CHAPTER BATCH 4
#DAY22
Bondowoso, 19 Oktober 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro