23 ~ Take a Rest

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ketika alarm yang paling dihindari sudah mulai beraksi ...
Tolong! Jangan memperburuk keadaan.
Aku ingin berdamai barang sejenak.
Bertahan sedikit lagi, setelah itu terserah!
Meredalah sejenak, selanjutnya apa kata nanti ....

~Nardo Shidqiandra ~

🍃🍃🍃

Sejak akurnya Bu Dara dengan Nardo, setiap pagi lelaki penyuka warna hitam itu pasti menemukan sebungkus roti dan susu cokelat. Sebenarnya dia sudah beberapa kali menolak, tetapi Bu Dara tetap enggan menghentikan kebiasaannya itu.

"Bu, hari ini terakhir kali saya menerima pemberian Bu Dara. Sudah cukup, Bu."

"Pak Nardo sudah bosan dengan yang ini? Apa perlu diganti dengan susu rasa vanila?"

"Bu-bukan begitu. Maksud saya, saya sudah memaafkan Ibu, dan sudah tidak ada kesalahpahaman lagi, jadi Bu Dara tidak perlu melakukannya lagi."

"Maaf, tidak menerima penolakan. Janji saya adalah hutang. Lagian suami saya tidak keberatan." Bu Dara berlalu meninggalkan Nardo yang kehilangan kata.

Si pemilik rambut cepak itu menghela napas. Bu Dara "liar", Nardo kelabakan menghadapinya. Begitu dia berubah menjadi jinak rupanya sama saja. Nardo tetap kelabakan menghadapi tingkahnya yang keras kepala.

Perubahan seseorang itu benar-benar tidak disangka. Ketika mereka sudah sampai di titik bisa menerima keadaan, disitulah mereka mulai berpikir dengan kepala jernih. Hingga akhirnya memilih untuk berdamai.

🍃🍃🍃

Nardo memulai paginya dengan tidak semangat. Dia melewatkan salat malam dan bangun saat kumandang azan Subuh sudah hampir selesai. Kebanyakan orang saat tidur lebih awal maka bangun juga lebih awal.

Namun, tidak untuk kali ini. Nardo justru terlambat bangun dengan tubuh yang terasa tidak enak. Tangan dan kakinya terasa dingin, belum lagi dengan jantungnya yang berdebar lebih keras dari biasanya.

Lelaki itu mencoba memantapkan hatinya untuk bangun dan mengumpulkan kembali puing-puing semangat yang sempat tercecer entah di mana. Beberapa kali ucapan syukur dia panjatkan atas nikmat kemarin, hari ini, dan untuk esok.

Sesampainya di sekolah, roti dan sekotak susu cokelat sudah menghias mejanya. Dia tersenyum dan mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan.

"Bu, terima kasih!" ujar Nardo tanpa suara saat netranya bertemu dengan iris mata hitam milik Bu Dara dan dibalas dengan anggukan.

Nardo duduk di belakang meja kerja, memeriksa kembali tugas anak didiknya yang sudah terbengkalai hampir seminggu karena tugas sebagai operator benar-benar menyita waktunya.

"Dek," panggil Radit pelan. "Sudah dengar kabar terbaru dari Jodi?"

Nardo mendongak dan menggeleng, "Terakhir dia bilang sudah baikan. Untuk selanjutnya gimana dia nggak bilang apa-apa."

"Ibunya barusan ke kantor kepala sekolah, kebetulan Bu Nida lagi di sana juga. Dia nganterin surat penerimaan dari sekolah barunya Jodi."

Prosedur mutasi siswa saat ini berbeda dengan yang lalu. Biasanya, wali murid akan meminta surat pindah pada sekolah lama dan menjadikannya bekal untuk masuk di sekolah baru. Namun, dengan kebijakan baru, sebelum proses pindah, wali murid harus mengantongi surat penerimaan dari sekolah baru untuk mendapatkan surat mutasi tersebut.

"Jodi nggak ikut, Bang?"

"Dia titip salam, maaf sudah banyak merepotkan dan terima kasih untuk perhatian juga perlindungan yang kamu berikan untuk dia. Itu pesan yang disampaikan Jodi melalui ibunya."

"Anak baik! Nasib dia jauh lebih baik dibanding Aby," ujar Nardo sembari tersenyum kecut.

Radit tak mengira jawaban Nardo akan seperti itu. Dari sorot matanya menampakkan rasa sedih yang mendalam. Mata adalah jendela hati yang akan mengutarakan melalui tatapan.

Nardo beranjak dan meninggalkan Radit. Pancaran dari matanya seolah meredup seketika. Dengan langkai gontai dia berjalan dan mengabaikan beberapa orang yang menyapanya.

🍃🍃🍃

Hingga memasuki jam mengajar, Nardo sama sekali tidak tampak di mejanya. Radit yang menunggu di kantor juga tidak melihat Nardo kembali ke ruang guru sedari tadi.

"Lihat Pak Nardo, Bu?" tanya Radit pada Bu Janetta.

"Lah, katanya ngajar? Tadi anak-anak ke sini ngambil buku tugasnya dan bilang Pak Nardo sudah di kelas."

"Syukurlah, saya pikir ke mana. Dari pagi kelihatan nggak sehat, Bu."

"Iya, wajahnya pucat, Pak. Tidak seperti biasanya yang selalu berbinar."

Seseorang di balik punggung Radit terlihat berjalan sempoyongan. Setelah meminta izin pada siswa untuk kembali ke kantor sesudah memberi tugas dan beberapa kali mendapat teguran dari anak didiknya karena tidak fokus selama pembelajaran, dengan segenap tenaga yang tersisa, Nardo berusaha sampai ke ruang guru.

Setidaknya, ketika dia sudah tidak sanggup dan pingsan akan ada pertolongan yang langsung menyambutnya. Nardo duduk di kursi dan menelungkupkan kepalanya di atas meja."

"Lah, itu Pak Nardo sudah kembali, Pak!" ujar Bu Janetta sembari menunjuk meja kerja yang semula kosong.

"Kapan dia balik? Barusan masih kosong, 'kan Bu?"

"Lah, itu sudah di situ! Jangan-jangan sakit beneran, Pak," ujar Bu Janneta.

Radit melangkah dan menghampiri guru PKn itu dan diikuti Bu Janetta. Dia berjongkok kemudian menepuk pundak Nardo beberapa kali. Namun, tidak ada respon dari si pemilik tubuh dengan kepala menelungkup di atas meja. Justru deru napas yang terengah terdengar di telinga Bu Janetta dan Radit.

"Dek, ke UKS, ya?" tawar Radit berharap mendapat jawaban dari Nardo.

"Ada apa?" Pak Tjah menghampiri Bu Janneta yang berdiri di depan meja Nardo.

"Pak Nardo dibangunin nggak bangun, Pak!"

"Hish, anak bebal! Sudah dibilangi jangan capek-capek malah kerja rodi!" gerutu si kepala sekolah sambil bergegas mendekati Radit dan berganti posisi.

Dia mengguncang pelan tubuh sepupunya. Nardo tetap tidak memberikan respon apa-apa. Sang kepala sekolah meraba tangan Nardo, rasa dingin seketika merambah ke indera perabanya.

Pak Tjah memeriksa kuku-kuku Nardo, warna pucat mendominasi, begitu juga dengan seluruh permukaan kulitnya. Dia menegakkan tubuh Nardo yang langsung bersandar penuh pada dirinya.

"Nardo! Hei, masih bisa dengar suara Mas Tjah?" Persetan dengan janji dan rahasia yang mereka sembunyikan selama ini, Pak Tjah sudah telanjur panik melihat sepupunya seperti itu.

Dengan mata yang terpejam Nardo menganggukkan kepalanya. Lela,ki itu bukannya tidak mendengar panggilan dan tepukan. "Aby, Mas! Aby sudah pergi!" gumamnya pelan.

"Aby sudah tenang, jangan dijadikan beban pikiran lagi, ingat sama janjimu!"

"Sakit, Mas!" keluh Nardo sambil berusaha meredam sakitnya dengan meremat bagian depan bajunya.

"Pak, Pak Nardo kenapa? Apa saya panggil ambulans saja?" Bu Janetta merasa iba dan tidak tega saat melihat napas Nardo yang semakin memburu.

"Anemianya kambuh, anemia akut." Pak Tjah melihat ke seluruh ruang guru, tetapi hanya mereka yang ada di sana.

"Bawa ke UKS dulu, Pak. Sepertinya dokter jaga masih di sana," tawar Radit.

Pak Tjah menggeleng. "Ke rumah sakit, dia harus mendapat transfusi darah. Saya tidak mau kecolongan seperti dulu. Dia hampir saja mengalami iskemia karena terlambat mendapat penanganan hingga suplai darah ke jaringan dan organ tubuhnya tidak mencukupi," racau Pak Tjah sambil berusaha memindahkan Nardo ke punggungnya dengan bantuan dari Radit dan Bu Janetta.

🍃🍃🍃

Selama malam ....
Dikit lagi Nardo selesai!

ONE DAY ONE CHAPTER BATCH 4
#DAY23
Bondowoso, 20 Oktober 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro