24 ~ Akhirnya ...

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kehilanganmu adalah hal berat yang pernah kulalui.
Dari tidak ada, menjadi ada, lalu kembali tiada.
Ada sekat kasat mata yang mengikat.
Kehadiranmu yang memberi arti, hingga kepergianmu menyisa pedih.
Rupanya, aku masih menunggu bisa untuk terbiasa.
Sampai nanti, aku 'kan berdamai!
Menjadikanmu sebait kisah dalam kenanganku.

~Nardo Shidqiandra ~

🍃🍃🍃

Kehilangan adalah hal yang paling tidak diinginkan. Jika mereka yang pergi masih bisa kembali membawa canda dan tawa, bisa jadi kesedihan akan terpinggirkan. Namun, jika yang pergi tidak pernah bisa kembali, apa daya? Hanya ikhlas yang bisa menjadi obat.

Seperti ada kepingan yang hilang dalam hidup Nardo saat dia, sang adik angkat yang hanya dikenalnya selama beberapa waktu pergi dan menyisakan pedih tak terbayarkan. Nardo yang bekerja sebagai pengajar dan pengurus di Pondok As-Salam harus menemani si pendatang baru, Muhammad Rashfaby.

Kisah pilunya, kesabarannya menunggu maaf dari sang ayah, hingga usahanya membuat banyak burung bangau kertas yang bertuliskan banyak harapan. Semua pengorbanannya terasa menyesakkan untuk Nardo.

Anak yang seusia Aby masih berpikir tentang dunia bermain, sedangkan anak itu sudah memikirkan jauh ke depan. Pemikiran dewasa setelah dicap sebagai orang gila oleh ayahnya sendiri.

"Mas Nardo, bolehkah Aby mengungkapkan rasa sayang sama seseorang?" ujar Aby begitu Nardo masuk dan duduk di sebelah brankarnya.

"Boleh, Dek. Apalagi rasa sayangnya karena Allah"

"Mas, kalo niatan baik lalu tidak kesampaian, apakah itu termasuk dosa?" tanyanya lagi

Nardo mengernyit keheranan, "Niatan yang bagaimana, Dek?"

"Aby ingin menjadi Hafidz, Mas, tapi rasanya Aby gak bakal sempat deh!" ucapnya dengan wajah murung.

"Insya Allah, jika manusia berniat baik itu sudah dicatat dan masuk dalam catatan kebaikan. Namun, lain halnya dengan niatan buruk. Niatan buruk tak langsung tercatat menjadi catatan buruk, karena Allah selalu berprasangka baik pada ummat-Nya. Sehingga niatan buruk baru tertulis ketika itu sudah dilakukannya." Nardo mencoba menjelaskan dengan penuh kesabaran

"Alhamdulillah, Mas Nardo deket Aby sini! Aby mau bilang sesuatu." Nardo menggeser kursinya. "Mas Nardo, terima kasih sudah membantu Aby menjadi lebih baik. Mas ikhlas 'kan bantu Aby?" tanya Aby dengan lirih

Percakapan dengan Aby kembali hadir dalam mimpi Nardo saat lelaki itu kehilangan kesadarannya. Kenangannya bersama sang adik angkat kembali berputar seperti film. Setiap kenangan yang terekam bermunculan silih berganti hingga membuat Nardo gelisah dalam tidurnya.

Pak Guru muda itu seperti terjebak dalam kenangan lamanya. Keringat tidak berhenti menetes dari pelipisnya. Radit mengusap kening Nardo, rasa khawatirnya tak bisa disembunyikan. Sebab sejak observasi di UGD, sampai dipindahkan ke kamar rawat kesadaran Nardo timbul tenggelam.

🍃🍃🍃

Pak Tjah memasuki kamar rawat perlahan karena takut mengganggu sepupunya yang sedang beristirahat. Lelaki itu menghampiri Radit dan mengajaknya pindah ke sofa.

"Keluarganya sebentar lagi ke sini. Saya tunggu sampai mereka datang. Kalau Pak Radit mau kembali dulu silakan."

"Boleh saya tunggu di sini saja, Pak? Setidaknya sampai dia benar-benar sadar. Dari tadi ngigau panggil-panggil Aby. Sesayang itu Pak Nardo sama Aby."

"Pak Radit tahu cerita Aby?"

"Tidak banyak, Pak."

"Aby itu bukan siapa-siapa, bukan keluarga ataupun kerabat, tapi dampak kehadiran Aby begitu besar untuk Nardo. Dari Nardo yang ceria berubah menjadi pendiam setelah kepergiannya."

"Mungkin karena Aby tampak istimewa dan memberikan banyak pelajaran untuk Nardo."

"Sayangnya dia sama Aby itu sama seperti sayangnya Pak Radit pada Pak Birendra. Seperti tidak bisa tergantikan."

Radit menunduk saat nama saudaranya kembali disebut oleh Pak Tjah. "Bi memang tidak akan pernah tergantikan, Pak."

"Aby pergi dengan begitu cepat. Selama seminggu Nardo masih bisa mengendalikan dirinya, berdamai dengan keadaan, hingga menemani keluarga Aby selama beberapa hari. Hingga hari ke sepuluh, keluarga kami menemukan Nardo meringkuk sendirian di kamar yang biasa mereka tinggali."

Pak Tjah melanjutkan ceritanya dengan berkaca-kaca. Lelaki itu menjelaskan bahwa Nardo seperti orang linglung. Mencari Aby yang sudah jelas tidak ada. Mengatakan bahwa Aby hanya pulang sebentar ke rumah orang tuanya.

Keadaannya tidak kunjung membaik, hingga salah seorang keluarga memintanya untuk membawa Nardo menjauh dari hal-hal yang sekiranya bisa mengingatkannya pada Aby. Keluarga akhirnya menitipkannya pada Pak Tjah, sepupunya.

"Sebelum Nardo kembali, saya menawarkan untuk mengajar di SMK Bina Bangsa, dia menolak, alasannya ingin tetap mengabdi di pondok. Saya kaget, karena tiba-tiba saja itu anak sudah ikut tahap seleksi penerimaan dan meminta saya untuk tidak mengakuinya sebagai saudara."

"Dia tidak ingin Pak Tjah mendapat tuduhan yang aneh-aneh dari teman-teman."

"Nardo memang seperti itu. Selalu memikirkan orang lain sebelum dirinya."

🍃🍃🍃

Hamparan rumput hijau dengan latar pegunungan dan juga danau terhampar dihadapan Nardo. Di tepi danau dia melihat seseorang dengan punggung yang sangat dia kenali.

"Dek!" panggil Nardo pada sosok yang memunggunginya.

Lelaki yang lebih muda darinya itu menoleh dan menampilkan senyum yang selama ini dia sangat rindukan. Binar mata yang selama ini selalu membayanginya.

"Mas Nardo sehat? Sudah Aby bilang, Mas harus segera mencari istri. Jaga kesehatan dan jangan sering begadang. Mas Nardo ingkar janji."

"Maaf ...." Nardo tercekat menahan sesaknya hingga tidak dapat melanjutkan kata-katanya lagi.

"Jangan seperti ini, Aby ndak tenang kalau Mas Nardo seperti ini."

"Dek, maaf sudah membebanimu. Mas janji, ini yang terakhir. Ini terakhir kalinya Mas Nardo begini."

"Mas, dari awal Aby memang takut pada perpisahan ini, kehilangan itu memang sakit, tapi perpisahan ini lebih menyakitkan. Tolong, lupakan Aby sekali lagi seperti dulu sebelum Aby datang."

"Sulit, Dek!"

"Aby yakin, Mas Nardo bisa. Waktu terus berlalu, Mas. Nanti akan ada pertemuan yang baru dalam hidup Mas, percayalah! Jika kita sama-sama memejamkan mata, yakinlah kita bisa bertemu dalam mimpi." Ucapan terakhir yang terdengar lirih itu seperti terbang bersama angin. Bayangan Aby samar-samar pun turut menghilang hanya tersisa semerbak wangi yang menenangkan.

"Dek, jangan pergi! Aby!" panggil Nardo sekali lagi dan berharap banyangan itu kembali ke hadapannya.

"Le, ayo bangun! Buka matanya dulu. Ibu sama Ayah sudah di sini, loh!" Nardo mendengar suara sang ibu terasa sangat dekat dengannya.

"Nak, ini Ayah, bisa dengar suara Ayah 'kan?" Adis nungguin kamu dari tadi."

"Mas Nardo bangun! Mas, bangun! Matanya buka dulu!" rengek Adis sembari memeluk erat tubuh Nardo.

Nardo mendengar jelas suara-suara disekitarnya, merasakan pelukan hangat dari Adis. Juga merasakan bagian dadanya yang terasa basah. Lelaki itu mulai mengerjapkan matanya perlahan.

Pandangannya yang memburam perlahan kembali jelas. Gumpalan hitap terlihat di atas dadanya. Tangannya mengusap pelan kepala Adis yang bersandar di dadanya.

"Jangan nangis, Mas Nardo sudah bangun."

Adis mengangkat kepalanya dan bertatapan dengan manik mata sang kakak. Mata gadis kecil itu tampah basah. Bukannya mereda, tangis Adis semakin kencang dan mengeratkan pelukannya kembali.

Ayahnya tidak tega melihat si bungsu terus menangis, hingga dia menarik pelan dan menggendongnya untuk ditenangkan.

"Mas Tjah dan Pak Radit sudah pulang. Kamu kelamaan tidurnya, Le! Mereka janji besok mau kembali lagi buat jenguk kamu."

"Nardo tidur berapa lama?"

"Lumayan, sekitar enam jam. Mana tidurnya sambil ngigau, bikin Adis nangis terus dari tadi. Kamu manggil nama Aby terus, kenapa?"

"Dimarahin sama Aby, Bu. Nardo ingkar janji, Aby sekadar mengingatkan!"

"Alhamdulillh, nanti kalau sudah keluar dari rumah sakit, ganti Ibu yang mau marahin kamu!"

🍃🍃🍃

Kamar rawat Nardo mendadak ramai dengan pengunjung. Ternyata Pak Tjah dan Radik benar-benar kembali untuk menjenguk bersama dengan beberapa rekan kerja di SMK Bina Bangsa.

Hanya sekitar delapan orang saja yang ikut sebagai perwakilan. Kalau tidak ditunjuk perwakilan, mungkin kamar itu tidak akan cukup menampung semuanya.

"Bandel lagi, diingatkan nggak sadar-sadar. Mas Tjah kena omel beneran sama ibumu. Ibumu udah kelar ngomel, ganti ayahmu. Tunggu saja pembalasannya kalau kamu sudah sehat."

"Jangan tega-tega, lah! Nardo masih sakit gini, Mas!"

"Mas tunggu sampai kamu sehat! Semua yang ada di sini saksinya."

"Kamu sukses bikin seisi sekolah kalang kabut. Kalau sudah capek, istirahat. Kalau nggak sanggup, bilang! Jangan tiba-tiba pingsan dan tidur panjang," ujar Radit sambil menjewer telinga Nardo.

"Nggak kerasa, Bang! Sumpah! Capeknya memang nggak kerasa. Kerasanya hari itu saja, tapi langsung tumbang gini." Nardo mengelak dengan segenap usahanya.

"Pak Nardo, manusia itu punya batasan kemampuan. Memangnya situ superhero? Besok saya sediakan bendera putih. Jadi kalau sewaktu-waktu nggak sanggup, tinggal angkat bendera," ujar Bu Dara.

"Saya mengerjakan apa yang sudah jadi tanggung jawab saya, Bu. Kalau memang sudah waktunya sakit, ya sakit,"

"Kalau waktunya sakit, ya, sakit!" Bu Dara menirukan ucapan Nardo dengan suara yang dibuat-buat. "Iya, paham, tapi bukannya sakit juga bisa diantisipasi dengan lebih memperhatikan kondisi tubuh? Kalau sudah sampai diambang batas harusnya berhenti, Pak. Nggak hanya lampu merah yang bikin berhenti!"

"Ini niatnya mau jenguk saya apa mau menghujat saya, sih?" tanya Nardo yang disambut dengan hadiah sentilan dari Pak Tjah di bibir pucatnya.

"Mulutnya itu, loh!"

Nardo menggaruk tengkuknya dengan kikuk. Beberapa orang tergelak melihat tingkat kedua sepupu itu.

"Pak Tjah, saya ingin menyampaikan undangan dari ayahnya Pak Birendra. Beliau mengharapkan kehadiran keluaga SMK Bina Bangsa di hari ulang tahun Birendra, dua hari lagi."

"Di rumahnya?" tanya Bu Janetta.

"Iya, Bu. Ternyata sebelum Bi meninggal dia itu ingin sekali kumpul sama kita pas hari ulang tahunnya sambil ngadakan acara berbagi bersama anak-anak yatim-piatu. Keluarga ingin mewujudkannya meski tanpa dia."

"Insya Allah kita hadir. Jangan lupa diinfokan pada teman-teman untuk bisa hadir di acara tersebut," ujar Pak Tjah.

"Mas, aku ikut!"

"Sembuh dulu, baru bisa ikut," ejek Radit.

Nardo melipat bibirnya. Dia menunduk karena merasa menjadi objek perundungan oleh Radit. Pengunjung kamar itu akhirnya mulai berpamitan satu persatu. Mereka kembali ke rumah masing-masing.

Pak Tjah selaku perwakilan keluarga mengantarkan tamu-tamunya hingga parkiran rumah sakit. Hanya tersisa Radit dan Nardo.

"Maaf sudah merepotkan, Bang!"

"Jangan seperti itu lagi. Kamu nggak tahu gimana paniknya kita kemarin. Semua itu seperti mengulang kembali memori kehilangan Birendra."

"Maaf, ini untuk terakhir kalinya seperti ini. Aby juga marah karena saya ingkar janji."

"Baguslah! Meski begitu, tetap ingat, sesibuk-sibuknya kamu bekerja harus tetap jaga kesehatan. Pak Tjah sudah dapat teman buat bantu pekerjaan kamu. Bukan satu, tapi dua orang sekaligus. Beliau sadar, kerjaan operator itu berat dan harus nambah personil lagi."

"Alhamdulillah," ucap Nardo sambil menyandarkan tubuhnya.

Mendengar adanya dua bala bantuan, seperti ada beban yang terangkat dan membuatnya lega. Sama halnya dengan pertemuannya dengan Aby di alam mimpi, perasaan lega dan juga tenang menyelimuti hari Nardo.

Ikhlas tidak hanya berlaku untuk kehilangan, tetapi untuk penerimaan juga. Salah satu bentuk penerimaan atas pekerjaan yang didapat adalah mengerjakannya dengan ikhlas. Jika bisa melewatinya maka sesungguhnya tidak ada beban yang terasa.

Begitu juga dengan perdamaian. Berdamai dengan masa lalu, berdamai dengan beban pekerjaan, dan berdamai dengan keadaan. Jika bisa berjalan dengan beriringan, sebanyak apa pun yang dibebankan tidak akan ada keluh kesah yang diucapkan.

~ END~

🍃🍃🍃

Alhamdulillah, terima kasih sudah menemani Nardo sampai hari ini.
Kisah Nardo berakhir hari ini, terima kasih yang sudah setia menunggu hingga akhir cerita.

Salam sayang,

~Nardo Shidqiandra~

ONE DAY ONE CHAPTER BATCH 4
#DAY24
Bondowoso, 21 Oktober 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro