28 Zweitson

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Huaahh!!"

"Mami! Kaki Soni sakit... hiks."

"Aaaa... Mami tolongin Soni."

Suara Zweitson di pagi hari membuat penghuni seisi rumah terbangun dari tidur nyenyak. Kali ini Zweitson menangis akibat kakinya tidak sengaja tersenggol ujung karpet kamar.

Wanita cantik yang sudah menginjak usia kepala lima masih terlihat awet muda. Pintu kamar Zweitson yang bernuansa warna senja seperti warna langit sore menjadi pemandangan pertama.

"Astaga, kamu kenapa Bayi Mami satu ini?" tanya Mami Lita langsung menghampiri sang Anak yang terduduk di lantai dengan kedua air mata yang terus mengalir deras.

"Huah... kaki Soni sakit gara-gara ketabrak ujung karpet itu," jawab Zweitson mengadu.

Mami Lita memeluk erat tubuh mungil Zweitson. Ia menepuk-nepuk bokong dan punggung Zweitson berusaha menenangkan.

Dan Mami Lita berhasil mengurangi kesedihan sang Anak. Ia menciumi kedua mata Zweitson, pipi serta hidung.

"Nah! Anak Mami sekarang sudah tenang kan," ucap Mami Lita mengacak rambut Zweitson gemas.

"I-iiya, makasih Mami. Soni sayang banyak banyak sama Mami tercinta," balas Zweitson menciumi pipi kanan Mami Lita cukup lama.

"Utututu... lucu banget sih Bayi Mami satu ini. Yuk! Sarapan dulu ke bawah." Mami Lita membantu Zweitson berdiri.

Zweitson sudah berdiri tegak. Air mata sudah dihapus bersih menggunakan handuk kecil miliknya bergambar kartun Pororo.

"Mi, Soni kan belum mandi. Masih bau kecut hihihi," ujar Zweitson menyengir lebar.

"Bayi Mami selalu ganteng dan wangi kok. Oh iya, hari ini Papi mau ajakin kita ke Bogor loh," ucap Mami Lita.

Kedua netra Zweitson melebar. Ia langsung melompat-lompat kegirangan. Dan melupakan rasa sakit di kaki dalam sekejap.

"Yeaayyy! Akhirnya kita sekeluarga piknik juga. Soni sudah lama nggak piknik bareng sama Mami Papi."

Zweitson masih melompat kecil dan berputar-putar bagaikan mainan gangsing. "Aduh... kepala Soni jadi pusing, tapi gapapa deh Soni senang soalnya."

"Hehehe... dasar kamu ini. Yaudah kita sarapan dulu terus kamu mandi deh. Buat urusan sekolah nanti Mami izinkan ke wali kelas kamu." Mami Lita menarik lengan mungil Zweitson pelan.

"Oke! Mami memang terbaik!" puji Zweitson heboh.
.
.
.
.

Di lain tempat...

Fiki sudah rapi dengan seragam sekolah. Wangi parfum menyerbak di penjuru meja makan mengalahkan aroma makanan yang sudah tersaji rapi di atas meja.

"Selamat pagi, Pa, Kak Leon!"

Setiap hari Fiki pasti akan menyapa kedua orang yang paling ia sayang. Semenjak mendiang Mama meninggalkan Fiki sejak usia 8 tahun.

Papa Fino dan Kakak Leon menjaga dirinya. Awalnya Fiki masih tak terima bahwa sang Mama akan meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya.

"Pagi jagoan Papa," sapa balik Papa Fino.

"Wih! Wangi banget sih kaya bunga kamboja," ledek Leon terkekeh kecil.

"Lo kira gua setan gitu! Suka ngadi-ngadi emang si Kak Leon yang katanya mirip Arya Saloka." Fiki membalas.

Leon cuma diam. Ia cukup terhibur mendengar balasan Fiki yang memandingkan dirinya dengan pemain sinetron Ikatan Batin.

"Lebih baik kamu duduk Fik. Kita mulai sarapan pagi dengan berdoa sebelum makan." Papa Fino berkata bijak.

"Baik, Pa!" sahut Leon dan Fiki kompak.

Sekitar duapuluh menit, keluarga kecil ini menyelesaikan sarapan pagi. Papa Fino hari ini libur, jadi beliau menghabiskan waktu dengan membaca koran ditemani secangkir kopi hitam di ruang tengah.

Kakak Leon siap-siap berangkat ke kampus. Leon sedang berkuliah di Universitas Indonesia jurusan Kedokteran. Kini sudah di semester 5.

"Kak, gue boleh minta pendapat lo nggak," ucap Fiki menatap sang Kakak serius.

Satu alis mata kiri Leon terangkat. "Pendapat apa?" tanyanya.

"Hmm... gini ya. Gue kan lagi dekat sama satu cewek. Dia itu teman sekolah gue di SMA tapi beda jurusan." jawab Fiki sedikit gugup.

"Terus?" tanya kembali Leon mulai tertarik.

"Nih! Gue tunjukin foto ya! Gimana cakep kan gebetan gue?" Fiki tersenyum percaya diri.

Leon terdiam sejenak. Ia fokus menatap foto gebetan Fiki yaitu Zahra.

"Cantik dan lucu. Pokoknya gue dukung lo!" seru Leon menepuk pundak kiri Fiki pelan.

"Oke! Makasih ya, Kak Leon!" sahut Fiki mengajak tos ala Pria.
.
.
.
.

Zweitson selesai sarapan. Ia langsung berlari kecil menaiki anak tangga menuju kamar.

"Habis makan kuterus mandi, tidak lupa menggosok gigi."

Remaja satu ini sedang menyelenggarakan konser kecil di dalam kamar mandi. Di sana terdapat berbagai macam mainan dan bebek karet kecil kesukaan Zweitson.

"Aaa... bebek ya tenggelam huu," ujar Zweitson menabrakan bebek karet ke kapal.

"Huah... capek ah. Lanjut mandi deh biar Papi Mami nggak menunggu Soni lama," ucap Zweitson menyelesaikan mandi secepatnya.

Sepuluh menit kemudian, Zweitson sudah berpakaian rapi. Kaos oblos berwarna putih dengan gambar Superman dan dibalut oleh kemeja biru kotak-kotak.

"Ihiy! Cakep juga Soni. Oh iya, jangan lupa pakai parfum kesukaan Soni yaitu Zwitsol."

Zweitson merapikan rambut sedikit berupa poni. Kacamata bulat sudah tergantung rapi di pangkal hidung.

"Akhirnya Soni jadi ganteng pakai banget. Yuk! Kita menuju puncak Bogor!" seru Zweitson girang.

"Hihihi... kasian nanti Fiki sendirian di kelas," ucapnya tertawa.

.....RZ.....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro