31 Masalah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ricky tiba di kampus. Mobil BMW merahnya terparkir di tempat khusus. Biasanya hanya orang-orang yang memiliki hak istimewa dari pihak kampus.

Ricky berjalan menelusuri lorong kampus. Ia tak mempedulikan sekitar hingga menabrak seseorang.

"Anjir! Sakit woyy!"

Seorang Pria terjatuh dengan tidak estetik. Ia mencoba bangun, tapi pinggangnya terasa nyeri.

"Sini gue bantuin," ucap Ricky datar.

Saat pandangan keduanya bertemu. Ricky menarik kembali uluran tangan. Ia malah melanjutkan perjalanan.

Hingga Pria itu berteriak kencang membuat beberapa pasang mata menatap mereka. "Woi! Ricky Gorila! Tanggung jawab lo!" serunya kesal.

"Hahaha... bangun sendiri bisa kan. Tanggung jawab? Dikira gue hamilin lo gitu, sampai jumpa lagi Fenly kompor," sahut Ricky tertawa puas.

Setidaknya melihat sahabatnya menderita menjadi hiburan tersendiri. Walau pikiran Ricky masih terfokus pada kabar Ana yang tiba-tiba menghilang bagai ditelan bumi.

Fenly merasa tersakiti di pagi hari cerah ini. Ia dengan sekuat tenaga bangkit berdiri, lalu berjalan seperti Kakek yang penyakin encoknya kumat.

Beberapa orang menahan tawa, hingga Fenly memberikan tatapan maut yang membuat semuanya mati kutu terdiam. Fenly merupakan mahasiswa yang cukup berpengaruh di kampus. Mereka tak ingin membuat masalah baik dengan Fenly maupun Ricky.

"Kurang ajar emang si Gorila itu! Ketemu di kampus habis lo sama gue!" Fenly menggerutu sepanjang jalan.

Rasa sakit dipinggang membuat ia semakin emosi. Padahal hatinya sedang bahagia eh dalam sekejap dirusak oleh sahabatnya Ricky si badan mirip Gorila.
.
.
.
.

Di kelas...

Ricky sudah duduk di bangkunya. Pandangan mata terlihat kosong sambil memandangi luar jendela yang cukup menarik hati.

Tiba-tiba suara Ibu-ibu menggelegar di ruang kelas. Fenly berjalan dengan kecepatan maksimal sambil memegangi pinggang yang sakit.

Brak!!

Fenly memukul meja Ricky keras. Dan sedetik kemudian tangannya memerah kesakitan sendiri.

"Woi Gorila! Tanggung jawab lo! Pinggang gue sakit banget ini kalau dibuat jalan!" Fenly mengomel. Ia sampai menunjuk tepat di muka Ricky.

Jari telunjuk Fenly ditepis kasar oleh Ricky. Pandangan tajam Ricky lurus ke muka Fenly. Seketika Fenly merasakan aura tak mengenakan.

"BISA DIEM NGGAK FEN! NANTI GUE BAWA LO KE TUKANG URUT!"

Napas Ricky menggebu-gebu dada naik turun. Ricky mengusap wajahnya kasar, lalu menunduk.

Fenly terdiam. Ia terkejut melihat Ricky semarah itu kepadanya. Sejak menjadi sahabat Ricky ia belum pernah melihat Ricky seperti itu.

"Ky... Are you oke?" Fenly bertanya pelan.

"Maaf Fen. Gue cabut dulu," jawab Ricky mengambil tas, lalu beranjak pergi meninggalkan kelas. Ia tak menatap sedikitpun ke sang sahabat.

"Rick! Lo mau bolos?" Fenly berusaha mencegah Ricky, tetapi rasa sakit dipinggang membuat ia tak bisa berbuat apa-apa.

Tak lama Rena dan Wina datang ke kelas berbarengan. Keduanya asyik mengobrol hingga melihat Fenly berdiri bagai orang tak jelas.

"Minggir dong! Gue mau duduk!" ketus Rena berekspresi datar.

"Ren!" Wina menyenggol tangan Rena memberi kode.

"Sorry," jawab Fenly berjalan pelan menuju tempat duduk.

Rena melihat Fenly yang berjalan seperti Kakek merasa sedikit iba. Namun, rasa gengsi untuk bertanya membuat dia memilih diam.

Wina tersenyum kecil. "Sepertinya gunung es di hati Rena mulai meleleh nih," godanya.

"Apa sih lo?!" Rena mode galak.

"Hehehe... marah-marah mulu lo lagi datang bulan ya," ledek Wina.

"Bukan urusan lo Win!" seru Rena.

Wina tertawa puas. Lumayan pagi-pagi dapat menjahili Rena.
.
.
.
.

Ana mengurung diri di kamar. Sejak semalam ia tak keluar kamar sama sekali. Ia sudah mendapatkan izin kepada Bos Shandy tidak masuk dengan alasan sakit.

Bekas tamparan Ani semalam masih berbekas di pipi dan hati. Padahal ia hanya mengungkapkan perasaan selama ini kepada Ani yang selalu mengatur dirinya.

Jujur Ana sudah muak dengan sifat kembarannya, apalagi sampai berbuat kasar kepadanya. Padahal mereka baru dipertemukan selama enam bulan setelah berpisah kurang lebih 12 tahun lamanya.

"Bu... Ana kangen. Ana saat ini butuh pelukan hangat Ibu."

Air mata Ana kembali keluar membasahi pipi. Bantal yang ia pakai sudah basah.

"Bu... kenapa sih semua ini terjadi kepada Ana?

Apa Ana tidak berhak untuk merasakan kebahagiaan?

Ana juga butuh rasa itu dengan seorang Pria yang membuat nyaman atas sosok kehadirannya."

Ana mencurahkan isi hati. Ia butuh kebahagiaan yang ia inginkan sejak lama, namun itu semua rusak dalam hitungan jam saja.

Di balik pintu, Ani ingin mengantarkan bubur untuk sarapan Ana. Ani mengurukan niat setelah mendengar semua isi hati kembarannya.

"Maafin Ani. Ani berbuat seperti itu agar kamu nggak terluka. Ani tak ingin Ana merasakan hal yang dulu pernah dirasakan oleh Ani juga."

Ani menutup pintu sangat pelan. Semangkok bubur ayam ia taruh di meja dekat kamar Ana.

Luka lama Ani seakan terbuka kembali. Kejadian dua tahun lalu, membuat ia merasakan sakit hati kepada sosok Ricky.

Dulu Ani dan ketiga sahabatnya yaitu Dwi, Farhan dan Ricky pernah saling bersama-sama. Namun, hubungan persahabatan itu hancur karena terlibat sebuah perasaan.

"Rick... kenapa sih lo harus kembali lagi dan kenapa juga harus Ana, kembaran Ani," ucap Ani lirih.

Air mata Ani yang sudah ia tahan sejak semalam akhirnya memberontak keluar. Ani langsung menghapus air mata itu paksa. Ia tak mau kembali bersedih seperti dulu. Cukup sekali saja ia rasakan.

.....RZ.....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro