11 - Bunny's Story

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Untuk pertama kalinya, Lova melihat Gavin tersenyum. Namun, senyuman itu bagaikan menyimpan misteri yang belum terpecahkan. Atau mungkin ada sesuatu hal yang disembunyikan.

"Hei, Bunny! Kuharap perempuan setengah gila ini tidak bosan berhadapan denganku," bisik Gavin kepada boneka kelinci di depannya.

Bagi Lova, jelas yang tampak gila adalah Gavin sendiri. Gadis beranting bulan purnama itu lebih memilih menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Matanya mencoba terpejam, tetapi terasa berat. Ditambah mendengar Gavin yang terus berceloteh kepada Bunny.

"Bukankah anak-anak tidak boleh tidur larut malam?"

Meskipun tertutup selimut, Gavin masih bisa mendengar ucapan Lova. Ia menoleh ke arah tempat tidurnya.

"Aku belum mau tidur. Miss Lova juga tidak bisa tidur, 'kan?" Anak itu balik bertanya dengan dugaan yang tepat.

"Setelah melihat keadaanku begini, harusnya kau tahu apa sebabnya. Jujur saja, aku malu memperlihatkan kelemahanku kepada anak didikku," ungkap Lova seraya meneteskan air mata. Badannya makin ditekuk. Ia memeluk lututnya erat.

"Ngomong-ngomong, kenapa kau mudah sekali tersenyum sejak memiliki boneka itu?"

"Bunny bukan milikku," sangkal Gavin, "tapi, aku tidak tahu apakah dia ingin menjadi milikku. Bagaimana, Bunny?"

Tentu saja, di mata Lova boneka itu cuma sekadar benda mati. Tidak terlihat berbeda dengan boneka pada umumnya. Entah mengapa, Gavin tidak seperti biasanya. Ia malah sering tersenyum sejak Bunny kehilangan pemilik aslinya. Seolah-olah Gavin telah memiliki apa yang dia inginkan.

"Apa Bunny?" celoteh bocah lelaki itu lagi. Telinganya ditempelkan di mulut Bunny.

***

Sebuah boneka kelinci dengan telinga sepanjang ukuran tubuhnya tergeletak di tepi jalan. Boneka itu mengedipkan mata. Posisi tubuhnya miring ke kanan. Lalu, ia terbangun. Sepasang mata mungilnya menengok ke kiri-kanan, tidak ada siapapun. Hanya tampak jalan beraspal, trotoar, pertokoan, lampu penerangan, dan bangku taman.  Ia tahu, sekarang tengah malam.

Siapa aku? Di mana aku?

Boneka kelinci mencium ketiaknya sendiri. Aroma buble gum. Aneh, padahal dirinya bukan peremen karet, cuma makhluk. Ia melihat tiang salah satu ruko, lantas mendekatinya. Ia coba membenturkan kepalanya. Tidak sakit, tapi terasa ada yang bergerak di dalamnya. Semacam kapas mungkin. Tanpa sengaja, ia melihat pantulan bayangannya sendiri di kaca ruko. Ia terkejut dan masih bertanya-tanya, "Makhluk apa aku sebenarnya?"

Boneka kelinci tidak mengingat apapun hingga langit berubah menjadi kehijauan, kabut tipis merah di sepanjang jalan, serta peti-peti mati mengkilat di beberapa tempat. Boneka kelinci itu penasaran dengan keadaan demikian. Ia menyusuri setiap jalan yang dilaluinya mengikuti kakinya melangkah.

Tiba-tiba, ia melihat seorang anak perempuan nyaris masuk ke dalam peti mati. Di sebelahnya, ada makhluk berjubah biru tua berwajah tengkorak. Kuku-kuku tajam makhluk itu menuntun si gadis untuk masuk.

Tidak masuk akal. Bagaimana mungkin manusia hidup harus masuk ke peti mati? Bukankah tempat itu hanya diperuntukkan bagi mereka yang meninggal? Jangan-jangan, makhluk itu akan membunuhnya!

Boneka kelinci menduga hal-hal buruk yang diakibatkan makhluk berjubah biru itu. Namun, ia pun bingung dengan jati dirinya sendiri.

Tunggu dulu! Bukankah aku juga termasuk makhluk yang tidak masuk akal seperti makhluk seram itu?

Boneka kelinci merasakan perasaan tidak enak. Muncul keinginan untuk menyelamatkan gadis kecil.

Aku harus menyelamatkannya.

***

"Terima kasih, ya, Bunny! Kau telah menyelamatkan nyawaku," ucap Michelle setelah keadaannya membaik.

Bunny?

"Ya. Aku akan memanggilmu 'Bunny'. Apakah kau punya nama lain?" tanya Michelle.

Tidak. Aku belum memiliki nama.

"Oh, baiklah! Jadi, mulai sekarang namamu Bunny." Michelle mengangkat bonekanya tinggi-tinggi.

Wah, baru kali ini ada yang memberiku nama! Kalau begitu, kita berteman, ya!

Ingatan itu masih terlintas dalam pikiran Bunny, tentang seorang gadis kecil yang memberinya nama. Bunny tidak ingat tentang asal-usulnya. Ia juga tidak tahu tentang jati dirinya. Hantu bukan, manusia juga bukan. Bunny tampak seperti boneka kelinci biasa yang sering dimainkan anak perempuan. Entah dari apa dan dari mana, Bunny memiliki pikiran sendiri.

Bunny memang sangat senang memiliki teman bermain seperti Michelle. Gadis itu selalu mengajaknya bermain tanpa kenal waktu. Bunny sangat suka dengan ekspresi riang gembira yang ditunjukkan Michelle. Pernah Bunny berpikir, bahwa Michelle adalah satu-satunya orang yang paling berharga baginya di dunia ini.

Michelle hampir beberapa kali terbujuk rayuan aroma manis peti mati yang selalu muncul saat Sacred Hour. Untungnya, Bunny selalu berhasil menyelamatkannya. Bagaikan memiliki ikatan benang merah yang masih tersambung, Michelle selalu mempercayai kata-kata Bunny.

Michelle, kau tidak boleh terlalu banyak makan coklat. Nanti lambungmu gemetar dan gigimu juga bisa berlubang.

"Tapi, aku masih ingin lagi. Boleh, ya?" rayu Michelle.

Tidak.

"Ah, baiklah! Aku akan menggosok gigi sekarang," ujar Michelle menampakkan gigi-gigi kecilnya yang ditempeli noda cokelat.

Begitulah kisah hidup Bunny dan Michelle terus berlarut dalam permainan anak-anak. Sampai suatu hari, para orang dewasa mencampuri urusan mereka.

"Nak, kau bicara dengan siapa?" tanya wanita paruh baya yang sedang menjahit baju tak jauh dari tempatnya duduk.

"Boneka ini bisa bicara, Ibu."

Tentu saja, ibunya terkejut. Beliau menganggap pasti itu cuma imajinasi anak perempuannya.

"Mana mungkin boneka bisa bicara, Sayang."

Michelle mendekati ibu, lalu mendekatkan boneka itu ke arahnya. "Kalau ibu tidak percaya, coba bercakap dengannya!"

Ibu menghentikan aktivitasnya sejenak, ingin melihat rupa boneka itu dari dekat. Makin mendekat, entah kenapa justru tampak menyeramkan. Warna mata boneka itu bersemu merah, terus menatap ibu penuh kengerian, seolah-olah bergerak memperhatikan gerak-geriknya. Dengan refleks, beliau melemparnya hingga membentur dinding.

"Apa yang ibu lakukan? Kenapa melemparnya?" tanya Michelle hampir menangis.

"Ibu tidak suka boneka itu. Cepat buang!" perintah ibu tanpa basa-basi.

"Tapi, kalau dibuang, nanti dia kesepian, Ibu!" Air mata Michelle pun mengalir di pipi.

"Ibu tidak peduli. Cepat buang!"

"Tapi ..." Gadis kecil itu masih merasa bimbang tak karuan.

"Kalau kau tidak mau, biar ibu saja yang buang."

Buru-buru ibu merebut boneka itu dari tangan Michelle. Anak itu memaksa agar ibu mengurungkan niat buruknya. Namun, semuanya sudah terlanjur. Ibu melemparnya ke tempat sampah.

"Maafkan aku, Bunny." Michelle menangis di kamar sambil membawa Bunny yang tampak kotor.

Ibumu jahat sekali. Aku tidak mau berteman dengannya.

Sejak saat itu, Bunny bertekad akan mengutuk wanita itu agar beliau ditimpa kesialan. Dan kutukan itu memang benar terjadi, ketika keluarga Michelle melakukan perjalanan ke Silvertown. Mobil yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan beruntun di jalan menanjak. Ibunya meninggal dunia, sedangkan Michelle dan ayahnya selamat.

Setelah kematian ibunya, Michelle sering menangis. Terkadang ia harus meluapka emosinya dengan menyiksa Bunny. Menusuknya dengan gunting sampai sebagian tubuh Bunny tercabik-cabik. Anehnya, setelah melakukan 'penyiksaan' terhadap dirinya, Michelle menjahitnya kembali menggunakan benang asal-asalan. Bukan tanpa alasan Michelle melakukan hal seperti itu. Ia melakukannya karena Bunny terlalu cerewet perihal kehidupannya. Padahal, niat Bunny hanya ingin menghibur.

Ingatlah, suatu hari nanti, aku akan mengutukmu dan mencari pemilik baru!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro