2 - Fact or Myth

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Tangan Miss Lova terasa dingin dan berkeringat. Apakah ada yang mengganggumu?" tanya Gavin dengan tatapan khasnya.

"Ti-tidak terjadi apapun," jawab Lova beralasan. "Sini, kembalikan antingku!"

Lova ingin melepas genggaman Gavin. Namun, anak itu malah menggenggam tangannya makin erat. Lova merasa kesal. Jujur saja, tatapan anak itu tampak menyebalkan. Ditambah perilakunya kian menyebalkan.

"Jika Miss Lova bisa berkata jujur dengan Paman Darel, seharusnya Miss Lova bisa berkata jujur denganku juga," tuturnya sopan.

Lova mengetap bibirnya berkali-kali. Hatinya bimbang untuk menceritakan kejadian barusan. Bukannya tidak mau jujur, Lova lebih nyaman berbicara dengan Darel daripada bocah yang baru lahir kemarin. Karena masih merasa sedikit kesal, Lova merebut paksa anting itu.

"Sudah kubilang, tidak terjadi apapun. Sudahlah, kau pulang saja sana! Kalau terlalu lama keluyuran malam-malam, nanti Mama Yori mencarimu."

Bus selanjutnya nyaris berhenti di halte. Buru-buru Lova berlari agar tidak ketinggalan bus. Kursi dekat jendela selalu menjadi tempat yang diincarnya. Setelah berhasil menemukan tempat duduk, Lova menatap keluar jendela. Ia masih bisa melihat sosok Gavin masih berdiri di dekat tiang lampu penerangan jalan. Sosok Darel juga terlihat. Pasti ingin menjemput bocah lelaki itu.

Syukurlah ada yang mengantarnya pulang. Batin hatinya.

Tunggu dulu! Sejak kapan Lova mengkhawatirkan kondisi Gavin? Padahal sebelumnya Lova tidak peduli dengan Gavin perihal kehidupannya atau hal lainnya. Tatapan dingin anak itu membuat siapapun merasa bosan menatap wajahnya lama-lama. Kulitnya juga terlihat agak pucat, meskipun ketampanannya tak beda jauh dengan paman-pamannya. Bahkan para guru pernah beranggapan kalau Gavin penyakitan. Namun, diagnosis dokter menunjukkan bahwa dia betul-betul sehat. Tapi tetap saja, tatapannya yang tadi itu membuat Lova merasa kesal.

Sepanjang perjalanan pulang menuju kediamannya di apartemen blok C6 kota Zavandria, Lova terpikirkan tentang kejadian tadi senja. Ia tak tahu kejadian itu nyata atau ilusi, mengingat kondisi tubuh dan pikirannya sudah merasa lelah. Lova juga terpikirkan tentang sosok berjubah biru tua penunggang kuda putih pucat. Juga seorang anak laki-laki berkostum koboi tengah makan kudapan manis dengan rakus. Anehnya lagi, pemandangan kota juga berubah drastis layaknya pemakaman.

"Apakah aku sedang bermimpi?" gumamnya pelan agar orang lain tak dengar. Ia sampai harus membenturkan kepalanya berkali-kali di kaca jendela.

"Sakit ternyata." Jelas ini bukan mimpi. Lova hanya sedikit frustasi. Bagaimana bisa orang yang tidak pernah percaya tahayul macam dirinya mengalami kejadian luar biasa seperti ini?

Fakta atau mitos, nyatanya peristiwa yang dialaminya hari ini betul-betul fakta.

Lova teringat tentang petuah kakeknya tentang waktu tertentu yang dianggap sakral. Atau disebut 'Sacred Hour'.

***

Kakek Damian tinggal di Silvertown, kota di sebelah selatan Zavandria. Konon katanya, kota itu tercemar akibat penambangan perak ilegal yang dilakukan oleh oknum tidak dikenal. Masyarakat Silvertown lambat laun meninggalkan kota, merantau ke wilayah lainnya. Hingga kini hanya menyisakan populasi 50 orang. Termasuk Kakek Damian. Beliau tinggal seorang diri di rumah sederhana di atas perbukitan. Sedangkan neneknya meninggal sebelum Lova dilahirkan.

Manusia yang hidup sebelum era modern percaya bahwa waktu menjelang terbenam matahari adalah waktu sakral, di mana anak-anak tidak boleh keluar meninggalkan rumah. Petuah itu terus berlanjut dari generasi ke generasi. Namun, seiring perkembangan zaman, petuah itu mulai pudar. Orang-orang tidak peduli dengan keberadaan waktu sakral karena nyatanya tidak meninggalkan kesan apapun. Lova juga tidak mempercayai petuah yang sering dikatakan oleh Kakek Damian sewaktu dirinya masih kanak-kanak.

"Lova, ayo pulang! Sebentar lagi senja," peringat ibunya.

"Tapi aku masih mau main, Bu," rengek Lova dengan niat menolak ajakan ibu. Anak-anak yang tengah bermain masak-masakan dengannya juga belum mau pulang.

"Kalau kamu tidak pulang sekarang, Kakek Damian akan memarahi ibu," kata ibu sambil berkacak pinggang. "Kalian sebaiknya juga pulang sebelum kakek-nenek mencari kalian."

Anak-anak itu tampak ketakutan, kemudian membereskan semua peralatan bermain mereka. Lova juga membereskan peralatan mainnya sendiri. Ia juga tidak mau melihat ibunya berdiri lama di sini hanya karena ingin mengajak anak perempuannya pulang.

"Ibu, apakah ibu percaya dengan petuah Kakek Damian tentang waktu keramat?" tanya Lova yang masih berusia tujuh tahun.

Tangan ibu dan tangan Lova masih bergandengan. Keduanya menaiki bukit menuju rumah Kakek Damian. Ibu menatap langit yang sudah tampak berwarna jingga kemerahan. Tiba-tiba ibu sedikit tertawa.

"Tentu saja tidak, Sayang. Itu hanyalah cerita yang dibuat oleh orang-orang zaman dahulu agar anak-anak tidak keluyuran sampai malam tiba," ungkap ibu.

"Apakah benar begitu?" Lova mengingnginkan jawaban lebih.

"Zaman ini berbeda dengan zaman dahulu. Teknologi sudah berkembang pesat. Segalanya bisa kita dapatkan dengan mudah tanpa campur tangan makhluk dunia lain yang mungkin dilakukan oleh orang-orang dulu dengan berbagai sesajian dan benda keramat. Anak-anak diculik hantu pada waktu keramat? Yang benar saja! Selama tinggal di Zavandria, ibu belum pernah melihat kejadian itu sama sekali. Yang nyata adalah berita tentang kasus penculikan anak oleh orang jahat." Cerita ibu kali ini penuh penekanan layaknya ibu-ibu yang tengah bergosip membicarakan orang. Kali ini yang sedang dibicarakan mereka adalah perihal petuah Kakek Damian.

Anggapan Lova tentang waktu keramat memang sama seperti ibunya. Lova juga mewarisi sifat keras kepala dari ibunya. Tak heran, ia selalu ingin menolak pembicaraan yang berhubungan dengan hal-hal mistis, tahayul, atau di luar nalar. Fakta atau mitos, sebenarnya Lova tak yakin seratus persen.

"Lagipula kita hanya tinggal sementara di sini. Liburan sekolahmu sebentar lagi usai, kan? Hari Minggu, ayah akan menjemput kita."

"Wah, benar juga! Apakah ayah akan membelikanku hadiah?" tanya Lova sambil mengayunkan genggaman tangan mereka.

"Tentu saja. Ayahmu tidak pelit seperti kakek." Ibu tersenyum.

"Siapa yang kaubilang pelit?"

Seorang pria berambut putih dengan kemeja dan rompi abu-abu berdiri di depan pagar rumahnya. Orang itu adalah Kakek Damian. Sepertinya beliau mendengar sedikit pembicaraan Lova dan ibunya.

"Bukan Ayah kok," jawab ibu beralasan.

"Cepatlah masuk rumah sebelum para hantu mengejar kalian! Sebentar lagi malam tiba," ajak Kakek Damian.

"Baiklah, Kakek." Lova mengikuti langkah ibunya menuju dapur.

Setelah selesai membersihkan diri, tiga orang itu menikmati makan malam sederhana. Kakek Damian mengambil sebuah kotak berwarna hijau tua setelah menyelesikan agenda makan malamnya. "Aku punya hadiah untuk Lova."

"Hadiah untukku?"

Mendadak Lova menghentikan aktivitas makan malamnya. Ia terlalu girang untuk menerima hadiah pertama dari Kakek Damian. Kotak itu dibuka, isinya sepasang anting bulat yang tampak seperti bulan purnama. Bagi Lova, anting itu terlalu besar untuk dipakai saat ini.

"Sepasang anting itu adalah peninggalan nenekmu. Pakailah ketika dirimu sudah dewasa dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Kebaikan akan senantiasa hadir di sekitarmu apabila kau memakai sepasang anting bulan purnama ini," petuah Kakek Damian.

Ibu juga pernah menerima hadiah itu dari Kakek Damian, tetapi menolak karena benda itu terlihat sangat kuno.

"Ini indah sekali," kata Lova sambil tersenyum.

"Akan lebih indah saat kau memakainya di bawah sinar bulan purnama," imbuh Kakek Damian.

"Terima kasih, Kakek!" ucap Lova gembira.

"Sama-sama, Nak!" sahut Kakek. Beliau juga menambahkan nasi beserta lauk ke piring Lova yang makanannya tinggal sedikit.

"Makanlah yang banyak agar kau cepat besar. Kalau kaupakai anting itu nanti, pasti banyak lelaki yang menyukaimu."

"Ah, Kakek ini ada-ada saja! Lova kan masih kecil, " ucap ibu sedikit tertawa. 

"Dasar menantu keras kepala! Kau selalu saja meremehkan ucapanku. Lova, jangan seperti ibumu, ya!" Kakek Damian memberi nasehat kepada Lova kecil. Gadis itu cuma mengangguk menanggapi ucapan kakeknya.

Ibu langsung memanyunkan bibir, kemudian lanjut menyantap makanannya.

***

Cermin bundar yang menyatu dengan tempat bedak menunjukkan kondisi wajah Lova saat ini. Tampak pucat dan kusam. Kulitnya juga terasa lengket akibat keringat yang sudah mengering. Lova mengambil tisu muka untuk mengelap wajahnya sendiri. Pelan-pelan ditempelkan di seluruh wajah, Lova ingat bahwa ia belum memasang antingnya kembali. Ia merogoh saku kemejanya, tidak ada. Ia mencari di dalam tas selempangnya, juga tidak ada.

Jangan-jangan, anak itu masih membawanya! Duga Lova. Lantas, apa yang ia genggam tadi?

Coklat? Oh, tentu saja! Mood-nya saat ini benar-benar kacau. Pasti sejak awal Gavin berniat memberikan coklat untuk meredakan gejala stres yang dialami teman pamannya ini. Lova mengambil ponsel untuk menghubungi Darel. Siapa tahu dugaannya kali ini benar. 

Dan ternyata, ponselnya kehabisan daya.

Sial, aku harus mendapatkan anting itu kembali!

***


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro