3 - Sweet Scented Coffin

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Pukul 03.15 pagi. Lova menggerakkan posisi tubuhnya ke kiri dan ke kanan di atas kasur berseprei tosca beraroma eucalyptus. Ia merasa tak nyaman dengan posisi tidurnya sekarang. Gelisah, itulah yang mengganggu lahir batinnya. Sacred Hour yang terjadi kemarin senja hampir membuatnya migran. Ah, persetan semuanya! Buat apa memikirkan masalah tahayul yang harusnya tidak ia percaya.

Suara pintu diketuk tiga kali terdengar dari pintu ruang tamu apartemennya. Lova terpaksa membuka mata, kemudian terpejam lagi. Ia menduga kalau itu cuma halusinasi semata. Namun, suara ketukan itu terdengar lagi. Kali ini diiringi suara kekehan anak-anak kecil seperti yang biasa ia dengar di sekolah tempatnya mengajar. Lova mendengkus, lantas menutup wajahnya dengan guling.

"Mana mungkin ada orang bertamu malam buta begini," keluhnya,"paling cuma kucing jantan dan kucing betina kejar-kejaran."

Beberapa detik kemudian, suara ketukan tiga kali digantikan oleh suara bel 'ting tong'. Lova lekas bangkit dari tidur dan mengacak-acak rambutnya karena saking kesal.

Kali ini pasti pencuri! Jerit batinnya.

Di antara redupnya sinar lampu berpendar kuning di ruang tamu, Lova mengendap-endap menuju pintu. Tongkat kasti berada di genggamannya, bersiap-siap dilayangkan jikalau itu benar-benar pencuri. Tempo nafasnya tidak beraturan. Degup jantungnya juga naik-turun bak roller coaster.

Suara bel pintu terdengar sekali lagi. Tanpa basa-basi, Lova langsung membuka engsel pintu. Bunyi terompet kecil dari tiga bocah kecil sungguh memekakkan indra pendengarannya.

"Trick or treat, berikan kami permen atau kami akan menjahilimu!" celoteh tiga bocah berkostum kucing hitam, macan tutul, dan jaguar tepat di hadapan Lova saat ini.

"Hah?" Gadis berpiyama kotak-kotak biru itu heran bukan kepalang. Pagi-pagi buta minta permen? Yang benar saja!

"Maaf, Adik-Adik! Kakak tidak punya permen," ucap Lova sambil memaksakan senyuman ramah khas orang dewasa yang menolak rayuan anak-anak.

"Dasar wanita pelit!" ujar anak berkostum kucing hitam. Alis sebelah Lova terangkat. Tandanya, ia tidak suka dengan ekspresi yang ditunjukkan si kucing hitam.

"Hm, pantas saja aku tidak mencium aroma manis di ruangan ini," sahut si macan tutul pula.

"Sudahlah, Teman-Teman! Kurasa kakak ini belum mendapatkan uang gaji bulanannya. Mari kita mencari mangsa lain!" ajak si jaguar.

Dasar anak-anak tidak sopan! Ketus batin Lova. Seharusnya mereka tidak keluyuran malam-malam jam segini. Petuah dari Kakek Damian juga mengatakan seperti itu. Yah, meskipun ia tidak percaya dengan keberadaan makhluk halus. Namun, menurutnya hal ini sudah melanggar norma sosial.

"Anak-anak, sebentar lagi pagi! Silakan Kembali ke tempat tidur sebelum ayah dan ibu mencari kalian," cetus Lova memperingatkan.

Tiga bocah pembawa keranjang permen itu hanya mengangguk, kemudian meninggalkan kediaman Lova sambil berlarian riang gembira seolah-olah sedang menikmati pesta.

Tunggu dulu! Ada kejanggalan di sini. Bukankah belum saatnya merayakan pesta Halloween? Tanggal 31 Oktober masih berlangsung lama.

Buru -buru Lova mengambil jaket warna coklat miliknya beserta kunci pintu yang berada di laci kabinet ruang tamu. Ia juga membawa senter besar. Kemudian pintu apartemennya dikunci, melangkahkan sepasang kakinya menuju ke arah anak-anak itu pergi. Ia berharap mereka belum pergi jauh dari sini.

Halaman apartemen begitu senyap dan sepi. Hanya sesekali terdengar suara jangkrik berderik atau suara burung hantu bertengger di atas pohon entah yang mana. Lova mengarahkan senternya ke segala arah, penasaran ke mana perginya tiga bocah tadi.

Lova berjalan lebih jauh lagi menuju trotoar tepi jalan. Tidak ada siapapun di sana. Namun, suasana mengerikan yang pernah dialaminya beberapa jam yang lalu itu bisa dilihat dengan jelas.

Tepat sebelum matahari terbit, pemandangan Sacred Hour itu muncul kembali. Langit hijau terang, kabut tipis merah, dan tentu saja ... peti mati beraroma manis!

Kali ini, ksatria berjubah biru penunggang kuda pucat melintas tepat di depan Lova, seolah menghempaskan tubuhnya hingga terjuntal ke belakang. Hampir sama seperti waktu itu, keringat dinginnya mengucur deras. Tenggorokannya tercekat hingga tak mampu berteriak Ditambah adanya kedatangan para makhluk berjubah merah yang mendekatinya. Lova tidak bisa melihat wajah mereka dengan jelas.

Salah seorang dari mereka berlutut di hadapan Lova yang tengah terduduk di tanah apartemen. Makhluk berjubah itu meletakkan telunjuk kanannya di depan mulut, kemudian membekap mulut Lova. Tentu saja, ia kesulitan bernapas. Namun, aroma manis dari telapak tangan makhluk ini membuatnya mengantuk. Pelan-pelan, matanya terpejam dan kesadarannya hilang.

Aroma manis itu seperti permen rasa stroberi bercampur peppermint.

***

Beberapa jam sebelumnya di Moonlight Cafe.

"Apa kau bilang? Anak itu bisa mendeteksi kemunculan Sacred Hour?" Lova terbelalak tatkala dirinya baru saja mendengar ucapan Darel tentang keponakannya, Gavin.

"Bagimu aneh, bukan?" Darel yang masih sibuk meracik kopi masih sempat-sempatnya menyindir gadis berambut pendek keunguan itu.

"Bukan aku saja yang menganggapnya aneh. Para guru di sekolah kami juga menganggapnya begitu." Lova menyeruput kopi hazelnut-nya. "Tapi, aku kasihan karena tidak ada yang mau berteman dengan Gavin."

Darel hanya menanggapi itu dengan senyuman. Lantas senyuman itu beralih kepada dua sejoli yang baru saja dibuatkan minuman olehnya.

"Hei, Lova! Sepertinya kau sangat tertarik dengan kepribadian Gavin. Daripada mengumpat terus, bagaimana kalau kau bertanya langsung padanya?" saran Darel.

Sendok kecil yang berisi sedikit potongan brownies masih terjebak di mulut Lova. Tampak dari kejauhan, Gavin sedang membantu ibunya mengemas permen dengan plastik dan pita warna-warni. Sepertinya mereka juga tengah asyik mengobrol. Namun, tetap saja Gavin terlihat tanpa ekspresi. Mungkin hanya Yori dan seluruh anggota keluarga Gladstonius yang betah mengobrol dengannya lama-lama.

"Kurasa tidak perlu." Lova menjawab pertanyaan Darel dengan malas.

"Benarkah kau tidak penasaran dengan hantu yang pernah dilihat Gavin?"

Sendok kecil itu kembali terjebak di mulutnya. Darel betul-betul menatap serius ke arah Lova, meletakkan tangan kirinya di meja, dan menopang dagu dengan tangan kanannya. Tatapan pria berapron hijau army itu terlihat sangat dekat. Pipi Lova jadi sedikit memerah.

"Darel, kumohon jangan menatapku seperti itu! Aku, kan ... jadi deg-degan." Perkataan itu benar-benar jujur dari lubuk hati terdalam Lova. Mujur, kali ini ia tidak tersedak.

Darel mengerling, "Hah, deg-degan! Apa jangan-jangan ... pesonaku telah membuatmu jatuh cinta?" Pertanyaan usil itu sangat mengusik batin Lova.

Jika darah bisa mendidih, maka akan ia siramkan cairan merah pekat itu untuk menghukum Darel. Sangat kejam, bukan?

Sebelum amarah gadis yang duduk di depannya ini meluap-luap, Darel malah tertawa, "Maaf, aku hanya bercanda!" Pria itu menggaruk rambutnya karena salah tingkah.

Lova masih terdiam dan tidak bersuara. Ia menghabiskan sisa kopinya yang masih sedikit.

"Aku tak menyangka kau masih saja memakai aksesoris kuno itu." Kalimat itu tiba-tiba terlontar dari mulut Darel.

"Maksudmu, ini?"

Lova menunjuk ke telinga kiri dan kanan. Sepasang anting bulan purnama di telinganya tampak berkerlipan saat terkena pantulan cahaya matahari atau sinar lampu.

"Meskipun terkesan kuno, bagiku ini terlihat indah." Lova melepaskan anting sebelah kiri. "Apakah kau tertarik dengan ini?" tanya Lova.

Darel mencoba menyentuh anting itu, dilihatnya dengan saksama.

"Kau benar, Lova! Ini memang sangat indah."

"Apa itu?" Ternyata Gavin sudah berdiri di sebelah Lova. Ia terkejut bukan main.

Ponsel di dalam tasnya berbunyi, menunjukkan adanya notifikasi bahwa bus yang akan mengantarnya pulang sebentar lagi datang. Lova harus segera meuju halte.

"Terima kasih untuk kopi dan kudapan manisnya," ucap Lova setelah membayar menu makanannya kepada Darel.

Pintu kafe terbuka menjelang terbenamnya matahari. Sesuatu yang keras jatuh di belakang pintu. Gavin melihat benda itu, lalu memungutnya. Itu adalah benda yang tadi dipegang Lova. Karena penasaran, Darel keluar dari meja bar. Sialnya, Gavin malah berlari keluar dari kafe.

Darel merasa was-was dengan tingkah anak itu. Ia juga keluar dari pintu kafe, berteriak kencang. Berharap agar anak berwajah pucat itu dengar.

"Gavin, jangan keluar! Makhluk itu akan mengejarmu!"


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro