Bab 10 - Pengkhianat?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Ada apa?”

Cleo berhenti saat mendapati Lexa berdiri mengamatinya. Gadis itu tengah merapikan kertas di meja. Lexa mendengar langkah kaki pria itu saat turun dari lantai dua. Namun, ketukan sepatunya di anak tangga terasa janggal. Cleo cenderung terburu-buru setiap kali turun atau naik tangga itu. Namun, kali ini sedikit berbeda. Hal itu pula yang memancing rasa ingin tahu Lexa.

Pria itu memaksakan senyum. “Tidak apa-apa,” jawabnya. “Oh, ya, guru besar ingin bertemu kalian.”

Lexa terkesiap. Dadanya bergemuruh. Apakah mereka melakukan kesalahan? Lexa mengingat pertemuan mereka di luar malam itu. Apakah ada mata-mata yang melihat mereka di sana dan melaporkannya pada guru besar. Jika itu berarti mereka akan dikeluarkan dari akademi, Lexa akan dengan senang hati menemuinya. Namun, bagaimana jika ternyata mereka akan dihukum?

Lexa bergidik. Hukuman seperti apa yang diberlakukan di sini? Menyikat WC? Menyapu halaman? Lompat kodok?

Cleo menepuk pundak Lexa, membuat gadis itu tersadar dari lamunannya.

“Jangan khawatir,” ucap Cleo menenangkan. “Beliau hanya ingin berkenalan dengan kalian. Lagipula, kalian pasti pensaran, kan, dengan guru besar di akademi ini?”

Lexa mengangguk. Karena tidak bisa ikut belajar di kelas, ia juga penasaran seperti apa wajah-wajah guru di sini. Bagaimana mereka mengajarkan pelajaran unik itu pada siswanya. Apakah mereka diberi PR? batin Lexa.

“Baiklah. Di mana kami bisa menemuinya?”

Cleo bergumam. “Di ruang rapat, setelah makan siang.” Cleo beranjak ke balik mejanya. “Aku akan mengantar kalian ke sana.”

Lexa mengembuskan napas. “Em, baiklah.” Lexa kembali merapikan sisa dokumen di meja.

Cleo tersenyum, kemudian mengusap puncak kepala gadis itu. Lexa merasakan tubuhnya bergetar. Seakan ada sengatan yang menajalari tubuhnya dan memberi kehangatan ke dadanya. Ia tidak pernah diperlakukan demikian. Satu-satunya orang yang mengusap kepalanya hanya ayahnya.

Cleo berputar-putar. Ia menyibak tumpukan kertas di meja.

“Cari apa?”

Cleo mendongak. “Aku butuh daftar nama siswa kelas Lux,” ucapnya, kemudian kembali sibuk.

Lexa mendengus, lalu beranjak mendekati salah satu rak. Ia menarik sebuah map merah berisi banyak lembaran kertas. Ia menyodorkannya pada Cleo. Pria itu tertegun, matanya menatap map, kemudian Lexa.

“Datanya ada di sana,” ucapnya. Dari suaranya sangat jelas ia jengkel. “Aku sudah merapikan semua fail dan menyusunnya sesuai kagetori. Semua yang berhubungan dengan data kelas Lux ada di dalam map itu.”

Lexa menunjuk ke rak. “Data kelas lain ada di sana. Masing-masing map berisi data tiap kelas dan aku sudah memberi nama pada tiap map.”

Cleo tertegun sesaat, kemudian wajahnya semringah. Ia mengagumi ketelatenan Lexa merapikan semua dokumen itu.

“Tidak salah aku memintamu membantuku di sini,” ujar Cleo. Cleo keluar dari balik meja, kemudian memeluk Lexa. Gadis itu membeku, terkejut atas tindakan Cleo. Tidak ada pria yang memeluknya selain Dion. Lexa ingin mendorong tubuh Cleo menjauh, tetapi ia merasakan kehangatan membungkus dirinya. Seakan-akan ia merindukan sosok di depannya. Namun, bagaimana mungkin?

“Ya, aku tidak punya pilihan.”

Cleo melepas rangkulannya. Kedua tangannya mencengkram bahu Lexa. “Hei, jangan begitu. Kau tidak senang membantuku?”

Lexa menatap malas pria itu. “Bukan tidak senang. Tapi kebiasaanmu menaruh barang sembarangan membuatku bekerja keras. Padahal semua bisa dibuat lebih mudah.”

Cleo setengah jengkel dinasehati anak remaja. Namun, di sisi lain ia membenarkan ucapan Lexa.

“Maaf, aku tidak bermaksud—”

Cleo mengibaskan tangan, kemudian tersenyum. “Tidak masalah. Aku akan berusaha agar fail-fail ini tidak berantakan.”

Lexa tidak menjawab. Rasa bersalah menggerogoti hatinya. Ia merasa tidak nyaman.

“Aku keluar sebentar,” ucap Lexa kemudian meninggalkan ruangan Cleo tanpa menunggu jawaban. Ia menutup pintu perlahan, kemudian berjalan menyusuri jalan. Jamur raksasa itu menjulang tinggi di depannya. Lexa berharap menemukan burung itu di sana.

***


Cleo menuntun mereka menyusuri jalanan di samping asrama. Mereka belum pernah melewati jalan itu. Ada tiga jalan berbeda yang menjadi akses menuju asrama. Dari depan, kanan, dan belakang. Jalan belakang menuju hutan tempat mereka berburu hewan untuk dimasak dan mencari tanaman yang bisa diolah.

Jalan di depan asrama, akses menuju bebepa kantor, ruang belajar, dan taman. Termasuk ruang kerja Cleo. Sementara di jalan sebelah kanan terdapat ruang pertemuan yang berupa bangunan berlantai satu. Tidak begitu besar. Di sebelahnya terdapat bangunan berlantai dua yang digunakan sebagai laboratorium sihir dan pusat pelatihan.

“Menurutmu untuk apa kita dibawa ke sini?” tanya Lena nyaris berbisik pada Lexa. Cleo berjalan agak jauh di depan.

Lexa mengedikkan bahu. “Entahlah. Tadi dia bilang hanya untuk perkenalan.”

Lena menarik napas lega. “Syukurlah. Aku agak khawatir setelah pertemuan kita malam itu.”

Lexa tidak menjawab. Ia juga memikirkan hal itu. Namun, jika benar mereka ketahuan, seharusnya mereka sudah dihukum setelah pagi.

Cleo mengetuk pintu tiga kali, kemudian mendorongnya sampai terbuka. Ia bergeser ke samping agar mereka bisa masuk. Setelah ketiga temannya masuk, Lexa terdiam sejenak di pintu. Ia melihat Cleo. Pria itu tersenyum, tetapi sorot matanya menyiratkan sesuatu.

“Masuklah,” ucapnya. “Kembali ke ruanganku jika sudah selesai.”

Lexa masuk dan Cleo menutup pintu di belakang mereka. Lexa sedikit gemetar saat tahu Cleo tidak ikut bersama mereka. Meski baru kenal, Lexa merasa Cleo orang yang baik. Setidaknya, untuk beberapa hal. Benak Lexa memprotes, mengingatkannya bahwa Cleo yang membawa mereka ke tempat terkutuk itu.

Ruangan itu bernuansa cokelat. Semua perabotan kayu di dalamnya. Dindingnya berwarna putih gading. Hanya ada satu meja panjang dengan enam kursi saling berhadapan dan dua kursi mengisi kedua ujung meja di sisi kanan dan kiri.

Awalnya Lexa mengira akan bertemu sosok pria gemuk berkumis dengan tatapan garang. Sepanjang jalan ia bergdik membayangkan hal itu. Namun, yang menanti mereka hanyalah seorang pria tua berambut putih dengan kumis menyatu hingga ke janggut. Wajahnya penuh kerutan. Saat bersalaman dengan Lexa, ia menyadari pria itu gemetar. Gadis itu menerka-nerka berapa usianya.

60? 70? Mungkin lebih, batin gadis itu.

“Terima kasih sudah datang,” ucapnya. Mereka terkesiap mendengar suara berat si pria tua. Suaranya terdengar tegas dan kokoh. Lexa meralat kembali usia pria itu dari benaknya. “Selamat datang di Akademi Laetus.”

“Ya, terima kasih sambutannya,” ucap Reka. “Senang bertemu Anda, Pak.”

Pria itu tersenyum, kemudian memandangi mereka satu per satu. Sejenak ia diam, tidak mengatakan apa-apa. Namun, matanya mengamati mereka bergantian seolah-olah berusaha menemukan tahi lalat di wajah mereka.

“Siapa namamu?” Ia menunjuk Lena.

“Namaku Lena.”

Ia mengamati Lena cukup lama yang membuat gadis itu menggaruk tengkuk karena risih. Sejenak Lexa berpikir pria tua itu sedikit mesum. Ia beralih pada Reka, lalu Chris. Ia menggeleng pelan, kemudian tatapanya berhenti pada Lexa.

Gadis itu mencoba menahan diri agar tidak memaki atau memalingkan wajah. Meski tersenyum, Lexa menyadari tatapan pria itu kosong. Seakan pikirannya melayang entah ke mana.

“Siapa namamu, Nak?”

“Lexa,” ucapnya. “Lexa Kiera.”

Pria itu mengangguk dengan segaris senyum di bibirnya. Kemudian ia mengalihkan pandangan pada mereka berempat.

“Kudengar kalian sudah mendapat kelas masing-masing,” ucapnya.

“Ya, kecuali Lexa,” jawab Reka.

Pria tua itu melirik Lexa. “Ya, Cleo sudah memberitahuku. Ini cukup langka,” ujarnya. “Tapi itu bukan sesuatu yang fatal. Terkadang butuh waktu lebih lama agar seorang murid menemukan bakatnya.”

Aku memang bukan penyihir, ucap Lexa dalam hati. Sampai kapan pun aku tidak akan punya bakat sihir.

Sejenak keheningan menyelusup di antara mereka. Pria itu tidak berbicara.

“Apakah kami bisa pergi sekarang?” tanya Reka. Lena yang berdiri di sebelahnya mencubit lengan anak laki-laki itu. Reka meringis sembari mengusap-usap lengan.

“Ya, kalian boleh pergi,” ucap pria tua itu.

Lexa bernapas lega. Akhirnya ia bisa keluar dari sana dan terhindar dari tatapan menjengkelkan pria tua itu. Meski Cleo selalu membuatnya kerepotan, tetapi itu lebih baik daripada berdiri di depan pria tua yang menatapnya penuh arti.

“Lexa tetap di sini,” tambahnya.

Lexa terbelalak. Chris menatap pria tua itu dan Lexa bergantian.

“Ke-kenapa?” tanya Lexa gugup. Pikiran negatif mulai memenuhi benaknya. Apa yang akan dilakukan pria tua itu padanya. Lexa bergidik membayangkan tubuhnya akan digerayangi manusia sialan itu.

“Ada yang ingin kusampaikan,” jawabnya datar.

“Katakan saja sekarang.” Chris memprotes.

“Tidak,” jawab pria itu tegas. “Kalian bertiga silakan keluar dan kembali ke kelas.”

Chris ingin membantah, tetapi Reka mendorongnya maju. Lena hanya diam, menatap Lexa sekilas. Ia tak berdaya meski sangat ingin menolong temannya itu. Chris memegang bahu Lexa.

“Teriak kalau ada apa-apa,” bisiknya kemudian pergi.

Lexa menyadari pria tua itu mengamati, tetapi tidak berkomentar. Lexa meneguhkan hati agar tidak takut apalagi gemetar. Ia harus berani menghadapi pria itu jika ia bermaksud jahat. Lagi pula usianya sudah renta. Lexa yakin ia cukup kuat untuk menumbangkannya.

“Duduklah, Nak.”

Lexa terkejut atas perubahan cara bicara pria itu. Terdengar lebih lembut dan penuh kasih sayang. Sejenak ia berpikir pria itu sedang mencoba memperdaya dirinya. Kendati demikian, Lexa kembali duduk.

“Kau menyukai tempat ini?”

Lexa mengamati ruangan itu. Tampak lebih mengancam daripada saat ia masuk ke sana bersama teman-temannya. Jika ia terdesak, apakah ia bisa berlari cepat melewati pintu?

Lexa bergumam, tidak tahu harus berkata apa. Siapa yang betah tinggal di tempat asing seperti ini? Namun, ia tidak mungkin jujur kalau ia tidak nyaman sampai ingin kabur.

“Tidak perlu ragu, Nak,” kata pria tua itu. Ia tersenyum sebelum melanjutkan, “Apa yang kamu rasakan. Katakan saja.”

Lexa menimbang-nimbang jawaban. Ia menarik napas panjang dan meyakinkan diri sendiri. Ia akan jujur.

“Aku tidak terlalu suka tempat ini.” Entah dari mana kata itu keluar. Lexa terkejut karena kalimat itu terlontar begitu saja. Namun, sudah terlanjur. “Dan kurasa kami tidak seharusnya berada di sini.”

Gadis itu mulai menemukan keberaniannya. Lexa memantapkan kakinya berpijak pada lantai. Tangannya siap memukul wajah pria itu jika ia nekat mencelakainya. Namun, tidak ada reaksi berlebihan. Pria itu mengangguk seraya tersenyum penuh arti.

“Aku mengerti perasaanmu, Nak,” katanya. Ia mendesah. “Tapi kau akan terbiasa dan mencintai tempat ini.”

Lexa mengerutkan dahi. Pria itu penuh keyakinan seolah-olah ia bisa melihat masa depan. Gadis itu bergumam, kedua tangannya saling meremas di atas pangkuan.

“Boleh aku bertanya?”

Pria itu mengangguk.

“Tempat apa ini sebenarnya?”

Pria itu menegakkan tubuh. Kedua tangannya diletakkan di meja.

“Kalian ada di Akademi Laetus.” Pria itu bergumam. “Akademi sihir terbaik yang pernah ada.”

Lexa terkesiap. Dugaaanya benar. Mereka diculik dan akan dijadikan murid penyihir. Namun, kesadaran itu membuatnya merinding. Jika mereka kumpulan penyihir, mereka patut diwaspadai. Lexa tidak tahu banyak tentang sihir kecuali dari novel yang ia baca. Kekuatan apa saja yang mereka miliki?

“Lalu kenapa kami dibawa ke sini?”

“Karena setiap orang yang pergi, akan kembali ke rumah.”

Lexa mengernyit? Rumah? Apa maksudnya rumah. Kemudian ia teringat pada hari pemindaian. Ketiga temannya mendapatkan kelas sesuai bakat mereka. Apakah mereka sebenarnya penyihir? Apakah mereka bertiga sebenarnya tahu kalau mereka punya kekuatan itu?

Lexa pening. Kepalanya dipenuhi sejuta tanya. Jika ia tidak memiliki bakat, itu artinya Lexa bukan penyihir. Lalu, kenapa ia ada di sana? Mungkinkah ketiga temannya tahu mereka penyihir dan sengaja menjebak Lexa?

Gadis itu semakin pusing. Dadanya nyeri. Ia membayangkan wajah ketiga temannya. Reka yang suka bercanda, Lena yang sering melamun, Chris yang cenderung pendiam, tetapi peduli. Benarkah mereka menipunya selama ini?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro