Bab 11 - Siapa yang Bisa Dipercaya?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Segalanya telah berubah. Tidak ada lagi yang sama setelah ia keluar dari ruangan itu. Isi kepalanya seperti dikeruk sampai habis, kemudian diisi dengan sesuatu yang sangat asing dan menyakitinya secara perlahan. Ucapan pria itu seperti parasit dalam kepalanya. Menggerogoti otaknya sampai habis. Ia berjalan lunglai kembali ke ruangan Cleo. Pria itu tengah sibuk menulis saat Lexa masuk. Tatapannya terpaku pada gadis itu.

“Apa yang terjadi?”

Cleo terdengar khawatir. Ia beranjak dari kursinya, membantu Lexa duduk di kursi panjang. Pria itu duduk di samping Lexa dengan tangan kanan merangkul bahunya agar tidak limbung. Lexa tidak peduli pada tangan Cleo di bahunya. Ia tidak peduli ekspresi wajah Cleo yang khawatir. Tidak peduli pada apa pertanyaan yang mungkin mencecarnya.

Dadanya sesak. Ia dikhianati dan itu melukainya teramat dalam. Mustahil teman-temannya tidak tahu mereka punya bakat sihir. Apalagi mereka tampaknya biasa saja saat pemindaian bakat. Seolah-olah mereka sudah tahu akan semua skenario itu. Hatinya semakin perih. Bagaimana mungkin mereka tega melakukannya?

Air mata membasahi pipinya. Ia terisak pelan, kemudian isak tangisnya pecah. Cleo menariknya ke pelukan. Lexa membenamkan wajahnya ke dada Cleo, membiarkan pria itu mengusap-usap rambutnya. Cleo tidak mengatakan apa-apa. Keheningan membayangi mereka.

Setelah merasa lebih tenang, Lexa mengusap wajah dengan punggung tangan. Cleo diam di sebelahnya. Pria itu tampak terpukul atas apa yang terjadi pada Lexa. Ia seperti kehilangan kata-kata.

“Maaf, aku tak seharusnya meninggalkanmu di sana.”

Lexa mengatur napas. “Itu bukan salahmu,” kata Lexa. “Maaf, tapi aku ingin sendiri.”

Cleo mendegus. “Baiklah. Tenangkan dirimu.” Pria itu menepuk bahu Lexa, kemudian kembali ke mejanya. Lexa keluar dari rungan. Satu-satunya tempat yang ia tuju adalah jamur raksasa di taman.

***

“Kau yakin begitu?”

Pria itu mengamati seekor burung kecil yang bertengger di ranting kecil di halaman rumah. Ia mencari-cari kebohongan di mata burung kecil itu.

“Berhenti menatapku seperti itu,” bentak burung itu kasar. “Apa aku pernah berbohong padamu?”

Pria itu mendesah. Burung itu benar. Seharusnya ia tidak terkejut karena hal ini pasti akan terjadi. Hanya saja ia belum siap menghadapi kenyataan terburuk yang menanti mereka. Ia sudah lama bersembunyi di sana. Setiap hari berharap mereka tidak menemukannya.

“Apa yang akan kau lakukan sekarang?”

Pria itu termenung sejenak. Ia tidak punya rencana yang pasti.

“Aku tidak tahu,” katanya putus asa. Apa yang bisa ia perbuat? Selama belasan tahun ia mengasingkan diri di gubuk tua itu. Sepanjang hidupnya hanya ditemani seekor burung berekor panjang berwarna keemasan. “Tetap awasi dia selagi aku memikirkan apa yang bisa kulakukan untuknya.”

Burung itu bercicit. “Baiklah, aku akan mengawasinya,” ucap burung itu. “Anak yang malang.”

“Apakah menurutmu dia sudah tahu yang sebenarnya?”

Burung itu bergumam. Ia tidak bisa menebak. Hari ini ia hanya melihat keempat anak itu dibawa pergi menemui guru besar. Setelahnya ia kembali pada pria tua itu.

“Entahlah,” jawabnya. “Bukankah ia nantinya akan tahu yang sebenarnya?”

Pria itu mengangguk. “Ya, kau benar, Ney. Tapi aku harap mereka tidak memperdaya anak itu.”

Burung itu mencibir. “Menurutmu mereka akan mengatakan yang sebenarnya pada anak itu tanpa mengubah cerita?”

Burung itu terbang rendah, kemudian mendarat di meja kecil di teras. Ia mematuki biji-bijian.

“Berani bertaruh, mereka akan memanfaatkannya,” imbuh Ney.

Pria itu mendesah. Hatinya mencelus. Tidak banyak yang bisa ia lakukan sekarang. Untuk sementara, ia hanya bisa mengawasi anak itu lewat bantuan Ney. Hanya itu. Ia tidak bisa berbuat lebih jauh. Namun, ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa suatu hari ia akan menemukan jalan. Barangkali saat ia harus menukarkan nyawanya untuk anak itu.

“Bagimana dengan buku itu?”

Ney mendongak, kemudian menelan biji di mulutnya. “Aku melihatnya memegang buku itu. Tapi bukankah buku itu tersegel?”

Pria itu mengangguk. “Syukurlah ia menemukan buku itu.”

“Memangnya apa yang kau harapkan?” tanya Ney mengejek. “Buku itu tersegel. Tidak ada gunanya sekalipun anak itu menemukannya.”

Pria itu memandang jauh ke pepohonan yang tumbuh rimbun. Cahaya matahari menyelinap masuk lewat celah dedaunan.

“Dan mereka juga tidak bisa membukanya.”

***

Lexa gusar. Ia bergulik ke kanan-kiri di ranjang. Sudah nyaris pukul sepuluh, tetapi matanya enggan terpejam. Kalimat pria tua itu berputar-putar di kepalanya. Dadanya kembali nyeri mengingat semuanya. Ia tidak ikut makan malam dan memilih mengurung diri di kamar.

Ia butuh seseorang untuk diajak bicara. Namun, hatinya mencelus saat ia tiba di jamur itu tadi siang. Burung itu tidak ada di sana. Bahkan sampai ia pergi, burung itu tidak datang. Apakah ia takut karena waktu itu Cleo datang menemuinya?

Lexa beranjak dari ranjang. Ia perlu menyegarkan pikiran agar bisa tidur. Gadis itu meraih mantel di meja, kemudian berjingkat-jingkat menuju pintu. Ia menarik pintu perlahan, kemudian melongok keluar. Lorong itu sepi. Tampaknya semua orang sudah masuk ke kamar.

Gadis itu mengendap-endap menyusuri koridor. Jantungnya memompa lebih cepat setiap kali melewati pintu kamar murid lain. Ia setengah berlari begitu tiba di ujung, lalu melesak menembus malam. Angin berembus menerpa wajahnya. Ia merapatkan jaket untuk menghalau dingin yang mulai merasuk.

Ia tidak punya tujuan. Ia berjalan tak tentu arah, kemudian duduk di sebuah batu besar di taman. Ia mendongak saat matanya perih. Tidak. Ia tidak boleh menangis. Ia harus menyegarkan pikiran dan bersikap biasa saja esok hari. Mungkin ia akan menjaga jarak dari mereka. Termasuk Chris. Sampai ia cukup yakin untuk meminta penjelasan dari mereka.

“Belum tidur?”

Lexa tersentak. Ia buru-buru mengusap wajah. Seorang pria berjalan mendekat, kemudian duduk di batu di sampingnya. Tubuhnya terbungkus mantel tebal. Kepulan asap tipis keluar dari mulutnya.

“Belum ngantuk,” jawabnya. “Kamu sendiri?”

Pria itu bergumam. “Kurasa kita punya alasan yang sama.”

Lexa tidak tahu itu benar atau hanya alasan. Sekarang semua terasa begitu abu-abu. Entah siapa yang bisa ia percaya. Mungkin Neo orang baik. Namun, tetap saja ia bagian dari mereka. Ia seorang penyihir.

“Kau boleh cerita kalau mau,” ucap Neo menawarkan diri.

Lexa mendesah. Apa itu akan membantu? Memangnya apa yang bisa dilakukan Neo sekalipun Lexa memohon agar ia dibawa pergi dari sana? Tidak ada yang bisa membantunya pergi dari semua perangkap itu. Ia sudah terjerat dan tidak ada jalan untuk kembali.

“Aku baik-baik saja.” Suaranya parau menahan tangis. Ia bukan penipu yang baik. Neo merapatkan tubuh pada Lexa, tangannya menarik Lexa agar bersandar ke bahunya. Gadis itu terisak, tak kuasa membendung air matanya.

Neo mengusap lengan gadis itu. Tidak ada yang berbicara. Hanya isak lirih yang keluar dari mulut Lexa. Meski Neo seorang penyihir, ia tetap berterima kasih karena membiarkannya menangis di pelukannya.

“Aku tidak tahu sepenuhnya bagaimana perasaanmu sekarang.” Akhirnya Neo memecah keheningan panjang di antara mereka. Lexa masih bersandar di bahunya. Isak tangisnya sudah berhenti. “Tapi aku akan selalu ada untukmu. Jangan sungkan jika butuh sesuatu.”

Lexa tidak menjawab. Haruskah ia percaya setelah semua yang terjadi? Ia mengingatkan diri sendiri agar tidak mengulang kesalahan yang sama. Tidak ada orang yang benar-benar bisa dipercaya sekarang. Butuh waktu yang panjang agar ia bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi dan menentukan siapa yang harus ia percayai.

Lexa menegakkan kepalanya, kemudian mengusap wajah. Ia tersenyum miris. Meski dadanya sesak, ia berusaha tidak menangis lagi. Ia sendirian di sana, di tengah para penyihir yang bisa saja mencelakainya suatu waktu.

“Terima kasih,” ucap Lexa. Ia menarik lutut, kemudian memeluknya. Atap bangunan di dekat sana berpendar, memberi penerangan kecil bagi mereka. “Tapi kepercayaan tidak bisa dibangun secepat itu. Bahkan kepercayaan yang sudah dibangun bertahun-tahun, bisa hancur karena satu kebohongan.”

Neo mendesah. Ia menunduk memandangi kakinya yang terbungkus sepatu cokelat berbulu. Sepertinya terbuat dari kulit binatang.

“Aku tahu, kau tidak mungkin percaya begitu saja padaku,” ucap Neo. “Lagipula kita baru kenal.”

“Dan kau seorang penyihir.” Lexa menambahkan.

Neo tertegun. Kalimat itu terdengar seperti tuduhan di telinganya. Apa yang salah dengan penyihir? Namun, Neo tidak menyanggah.

“Ya, aku penyihir. Kita semua.”

Lexa merasakan dadanya bergemuruh. “Tidak. Aku bukan penyihir.”

Neo mengernyit. “Karena kau kau gagal saat pemindain sihir?”

Lexa menatap tajam pada Neo. Bagaimana caranya membuat Neo mengerti?

“Terserah kau menyebutnya gagal atau apa,” jawab gadis itu. Kedua tangannya ditopangkan pada permukaan batu yang dingin. “Yang pasti aku tidak berbakat menjadi penyihir karena aku bukan penyihir.”

Lexa melompat turun, kemudian berjalan cepat kembali ke kamarnya. Ia mendengar derap langkah di belakang. Entah Neo mengejarnya atau tidak, Lexa tidak peduli. Meski tidak bisa tidur, setidaknya ia sendirian di kamarnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro