Bab 13 - Pengakuan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Masih melekat di benaknya saat ia terbangun kala matahari belum menampakkan diri. Gelap masih membayangi akademi ketika ia beranjak dari ranjang. Meregangkan otot-otot tubuhnya yang kaku sebelum mengelilingi taman seorang diri. Ia menyukai udara pagi yang berpadu dengan aroma manis yang khas dari jamur yang tumbuh liar di taman. Sesekali langkahnya terhenti saat mendapati jamur-jamur mungil muncul di antara jamur yang sudah membusuk. Tunas-tunas baru yang menggantikan yang sudah tua dan mati.

Ingatan itu membawanya jauh melayang pada masa kejayaan kala itu. Ia menjadi guru yang disenangi banyak murid. Namanya nyaris terdengar setiap saat. Guru penceramah. Begitulah mereka menyebutnya. Ia selalu punya wejangan untuk setiap murid yang ia didik.

Kala itu Akademi Laetus menjadi akademi yang terkenal dan banyak dipuji orang-orang. Murid baru berbondong-bondong mendaftar setiap tahunnya. Bahkan mereka harus melakukan seleksi ketat untuk membatasi jumlah siswa yang mendaftar. Hanya murid terpilihlah yang akan diterima dan belajar sihir di sana selama dua semester. Setelah itu, mereka harus mengikuti serangkaian ujian untuk menentukan mereka bisa masuk ke kelas lanjutan atau harus mengulang dua semester lagi di kelas dasar.

Murid terbaik dari tiap kelas akan mengikuti olimpiade tahunan yang berlangsung meriah. Diikuti banyak akademi yang tersebar di sepenjuru Tiarus. Dadanya menghangat sekaligus nyeri. Kenangan itu membawanya semakin jauh. Setiap tahun Akademi Laetus menjuarai olimpiade di tiap kategori. Sanjungan demi sanjungan terus mengiringi kepulangan mereka.

Namun, masa kejayaan itu tidak bertahan selamanya. Ada masanya mereka harus menelan kepahitan saat murid terbaik mereka yang sudah pernah menjuarai olimpiade harus menelan kekalahan. Guru besar pada masa itu—Levian Aventus—tidak terima. Ambisinya untuk menjaga nama baik akademi terlampau besar.

Di saat itu pula Akademi Laetus mulai terpecah. Kekacauan terjadi di mana-mana. Masa di mana semua kejayaan yang pernah mereka raih tak lagi menarik bagi siapa pun. Orang-orang tak lagi membicarakan Akademi Laetus dan lebih menyanjung Akademi Sychra di bawah kepemimpinan seorang guru besar bernama Layva.

Tahun demi tahun dalam kekelaman, murid yang mendaftar perlahan berkurang. Akademi Laetus kehilangan sinarnya. Pertengkaran mulai terjadi bahkan menjadi aksi yang nyaris terjadi setiap hari. Beberapa guru mulai berkhianat karena membenci sikap Levian yang tidak dewasa. Keputusan yang diambilnya menimbulkan pro dan kontra. Levian tidak menyukai pemberontak.

Pada masa itulah terjadi pembantaian besar-besaran. Masa di mana rahasia akademi bocor ke pihak akademi lain. Levian membunuh semua pengkhianat yang merusak citra Akademi Laetus. Setelah perpecahan itu, Levian menata ulang akademi itu. Namun, setelahnya Akademi Laetus tidak lagi dipandang baik.

“Kau sakit?”

Ney terbang lebih rendah, kemudian bertengger di meja. Pria tua itu duduk di kursi kayu bersandaran. Matanya menatap lurus ke depan, pada pepohonan yang tumbuh menjulang.

“Tidak,” jawabnya. Ia mengibaskan tangan untuk mengusir kenangan itu dari benaknya. Bagaimana pun ia salah satu dari pengkhianat itu dan bernasib baik tidak ikut terbunuh. Setelah membawa pergi empat bayi dari akademi tanpa sepengetahuan Levian, ia tidak pernah kembali ke sana. Berkat bantuan Ney, ia tahu bahwa kembali ke akademi sama dengan bunuh diri. Levian tidak akan mengampuni orang yang berkhianat dan membawa kabur anaknya. Satu-satunya pewaris jika ia mati.

“Kau sudah membuat rencana?”

Pria tua itu menggeleng. “Aku tidak punya rencana pasti sebelum aku tahu apa yang akan mereka lakukan pada anak itu,” ucapnya. “Lagi pula, aku harus bertemu anak itu agar tahu apakah dia bisa memercayai pengkhianat sepertiku.”

Ney bercicit. “Tapi kau bukan pengkhianat, dasar Pria Tua!” bentak Ney.

Pria itu mendesah. Kedua tangannya ditopangkan ke sisi kursi.

“Tidak ada yang bisa mengubah fakta itu, Ney,” katanya lirih. “Aku berkhianat pada Levian. Aku mengkhianati Akademi Laetus.”

“Tapi kau tidak berniat demikian,” tegas Ney. “Sampai kapan kau akan hidup dalam rasa bersalah?”

Pria tua itu terdiam. Ia tidak tahu. Tidak akan pernah tahu. Barangkali sampai ia tiada, penyesalan itu akan terus membayanginya. Namun, selagi masih hidup, ia ingin melakukan sesuatu untuk Akademi Laetus. Mungkin Levian tidak akan pernah memaafkannya. Dan ia tidak mengharapkan itu. Bagaimanapun mereka sudah menjadi musuh sejak ia berkhianat. Ia takkan bisa masuk ke Akademi dan pulang dengan selamat. Namun, ia bisa memanfaatkan keturuanan Levian untuk menajalankan rencananya. Sekali lagi sebelum ia mati, ia akan berkhianat.

***


Pagi ini Cleo membawa Lexa menemui seorang wanita paru baya berbadan gemuk di dapur. Wanita itu mengenakan celemek hitam yang menutupi baju panjang berbahan kaos yang longgar di tubuhnya. Rambutnya pendek sebahu dan dibiarkan tergerai. Lexa bergidik membayangkan makanan yang selama ini mereka makan bercampur dengan rambut wanita itu.

Entah siapa pun namanya, wanita itu jelas tidak bisa dibilang bersih. Banyak sisa makanan berserakan di lantai dapur sehingga menimbulkan aroma yang menyengat. Lexa menutup hidup, tetapi buru-buru menarik tangannya dan bersikap normal saat wanita itu menoleh padanya.

Wanita itu tersenyum ramah. Mulutnya penuh dengan makanan. Cleo meninggalkan Lexa di sana untuk membantunya memasak. Cleo sudah bekerja dengan lebih rapi sehingga Lexa tidak punya pekerjaan di ruangannya. Lexa sedikit kesal andai saja ia tidak mengomel perihal kebiasaan Cleo menaruh berkas-berkas sembarangan.

“Siapa namamu, Nona?’

“Lexa.”

“Ah, nama yang bagus.”

Wanita itu memotong jamur, kemudian menyisihkannya ke mangkuk besar. Ia meraih potongan daging yang sudah direbus kemudian menyuapkannya ke mulut. Lexa menatap jijik melihat kebiasaan buruk wanita itu. Dalam hati ia mengutuki Cleo yang menyeretnya ke sana.

“Astaga, aku kehabisan rempah,” ucap wanita itu seraya menepuk jidat dengan tangannya yang kotor. Lexa semakin tidak tahan dengan kebiasaan buruk wanita itu.

“Nona, ayo ikut aku ke hutan,” ujar wanita itu. Tangannya terjulur meraih tangan Lexa. Gadis itu menarik tangannya menjauh. Wanita itu bahkan belum mencuci tangan.

“Kau lebih dulu,” ucap Lexa sedikit gugup, takut menyinggung perasaan wanita di depannya.

Namun, wanita itu tersenyum kemudian mengelap tangannya ke celemek. Kemudian, ia berjalan lebih dulu. Lexa melangkah hati-hati agar tidak menginjak sisa makanan yag berserakan di lantai.

Wanita itu membawanya keluar dari pintu belakang asrama, menyusuri jalanan berbatu yang sempit kemudian berhenti di depan sebuah pintu besi. Sekeliling tempat itu dipagari beton tinggi. Mustahil untuk melihat apa yang ada di luar sana. Namun, sebentar lagi mereka akan melewati pintu itu dan Lexa sedikit gugup.

“Oh, ya, namaku Berta,” ujar wanita itu seraya memutar kunci besi. Pintu itu berderit saat tangan gemuknya menariknya sampai terbuka. Hutan rimbun menyambut mereka di balik pintu. Lexa takjub melihat pemandangan itu. Seumur hidupnya ia belum pernah melihat hutan seperti itu secara langsung.

“Hutan apa ini?”

“Ini Hutan Karia,” ucap Berta menjelaskan. Ia berhenti di depan sebuah tanaman berdaun bulat kecil setinggi satu meter. Tanaman itu memiliki buah kecil berwarna merah. Berta memetik buah yang sudah merah sementara Lexa memandangi sekeliling. “Hutan ini cukup berbahaya. Kita tidak boleh masuk terlalu dalam jika tidak ingin bertemu binatang buas. Konon, katanya para pemburu pernah bertemu penyihir jahat di hutan ini.”

Lexa tertegun, berharap Berta akan tertawa dan mengatakan semua itu hanya lelucon. Namun, wanita itu tampak serius saat berbalik menatapnya. Keranjang kecil di tangannya berisi banyak buah merah.

“Tidak perlu dipikirkan,” katanya sembari berbalik. “Aku ada bersamamu dan kita tidak akan masuk ke tengah hutan. Oh, ya, kudengar kau belum menemukan bakat sihirmu?”

Lexa bergumam. Kenapa semua orang berpendapat ia seorang penyihir? Hal itu semakin mengusik benaknya. Di satu sisi ia muak dengan semua tuduhan tak beralasan itu dan di sisi lain ia mulai memercayai dirinya juga penyihir.

“Belum,” kata Lexa setelah hening sejenak. Tidak ada artinya membantah. “Dan Cleo bilang itu wajar.”

Berta mengangguk. “Ya, itu hal yang sangat mungkin terjadi. Kau sudah pernah mencobanya lagi?”

Lexa menggeleng meski ia tahu Berta tidak melihatnya. “Tidak. Aku belum yakin apakah mereka benar bahwa aku keturunan penyihir.”

Berta berhenti, sesaat Lexa mengira ada bahaya yang menanti mereka di depan sana. Setelah Berta berbalik dengan wajah muram, ia bernapas lega. Berta mendekatinya, kemudian mengusap pipi Lexa dengan tangannya yang kotor.

“Memang sulit menerima sesuatu yang terasa asing bagi kita,” katanya. Matanya berair. “Apalagi jika kita tidak pernah berharap takdir itu ada.“

Wanita itu menunduk, menyembunyikan matanya yang berair. Berta mendesah, kemudian tersenyum saat kembali mengangkat kepala.

“Ayo, kita harus menyiapkan makan siang.”

Berta berjalan mendahului Lexa. Gadis itu mengekor sembari memikirkan apa yang terjadi? Apakah Berta melihat sesuatu di depan sana?

“Ada apa?” Akhirnya Lexa bertanya.

Berta menarik napas panjang. “Aku kehilangan suamiku belasan tahun lalu. Saat itu terjadi kekacauan di akademi. Aku tidak tahu di mana dia sekarang, apakah masih hidup atau sudah tewas saat pembantaian itu terjadi.”

Berta tak kuasa membendung air matanya. Ia terisak sembari terus berjalan. Tangan gemuknya mendorong pintu sampai terbuka.

“Kau tidak tahu sama sekali apa yang terjadi pada suamimu?”

Berta menutup pintu besi dan menguncinya begitu Lexa masuk. Wanita itu menggeleng.

“Ada yang bilang dia ikut tewas saat pembantian karena berkhianat. Ada juga yang bilang dia membawa kabur beberapa anak dari akademi ini.”

Lexa bergidik membayangkan bagaimana kekacauan itu terjadi. Kemudian ia teringat pertemuan mereka dengan guru besar. Kebencian dan amarah menggelegak di dadanya. Pria tua itu tak hanya terlihat licik, tetapi juga tidak punya rasa kasihan.

“Aku turut prihatin,” ucap Lexa. “Kita punya cerita yang hampir sama.”

Mereka masuk ke dapur lewat pintu belakang. Berta meletakkan keranjangnya di meja kayu dekat tungku. Sementara ia sibuk memotong daging, ia meminta Lexa menceritakan kehidupannya.

“Aku tinggal bersama orang tua angkatku,” katanya memulai. Tangannya sibuk memisahkan buah merah dari tangkainya. “Aku tidak pernah tahu siapa dan di mana orang tuaku. Aku sangat merindukan mereka.”

“Orang tua angkatmu tidak tahu siapa orang tuamu yang sebenarnya?”

Lexa menggeleng. “Aku ditemukan di teras rumah.”

Berta berhenti memotong, kemudian memeluk Lexa. Gadis itu bergetar karena isak tangisnya pecah. Ia tak peduli bau amis dari tangan Berta di punggungnya. Harapan itu membuat dadanya sesak. Sampai detik ini, ia berharap bisa bertemu orang tuanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro