Bab 14 - Coba Lagi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Sepanjang malam Lexa termenung dan merindukan kedua orang tuanya. Di sela kegusarannya, ia teringat ucapan Berta. Mengapa ia tidak mencoba lagi? Barangkali ia akan berhasil jika mencobanya sekali lagi. Bagaimana pun waktu itu ia sangat kukuh bahwa ia bukan keturunan penyihir. Kemudian benaknya mulai melayang jauh, jika ia memang penyihir, barangkali ada mnatra yang bisa dipakai untuk bertemu dengan kedua orang tuanya. Setidaknya begitulah yang Lexa baca di novel-novel yang ada di rumahnya.

Pemikiran itulah yang membawanya beranjak dari ranjang pagi-pagi dan menemui Cleo yang duduk setengah mengantuk di ruang kerjanya. Pria itu tersentak kaget saat Lexa membuka pintu tanpa mengetuk lebih dulu. Lexa tertawa kecil melihat kekesalan di wajah Cleo.

“Kau mengejutkanku,” ucapnya lirih, lalu pria itu menguap. “Ada apa?”
Lexa meremas tangan, benaknya mendadak beku saat berada di depan Cleo. Ia bergumam sembari mengumpulkan keberanian untuk memulai.

“Daripada bengong, lebih baik buatkan aku teh,” ucap Cleo yang kembali menguap. “Aku hanya tidur sebentar tadi malam.”

Lexa mendengus, tetapi ia keluar dan pergi ke dapur asrama untuk membuatkan teh. Di sana Berta sedang menyiapkan sarapan untuk penghuni asrama.

“Hai, Nona. Tidak perlu repot membantuku, aku bisa mengatasi ini.”

Lexa menggaruk kepala, siapa yang mau membantunya?

“Cleo memintaku membuatkan teh,” ucapnya.

Berta tersenyum. “Oh, ya, aku lupa dia suka minum teh jika kurang tidur.”

Lexa terkejut mendengarnya. Berta tahu banyak hal tentang Cleo. Sepertinya ia bisa menggali banyak hal tentang akademi ini padanya, tentu jika Cleo tidak mau memberi jawaban.

“Bagaimana kau tahu dia kurang tidur?”

Lexa memasukkan serbuk dedaunan kering ke dalam gelas keramik, kemudian menuang air panas. Berta tersenyum di sampingnya. Kemarin wanita itu mengajari banyak hal pada Lexa. Termasuk membuat teh herbal dan membuat ramuan untuk membantu agar cepat tidur.

“Kau belajar dengan cepat,” ucap Berta.

Lexa tersipu mendengar pujian itu. “Kau belum menjawab pertanyaanku.”

“Aku sering membuatkan teh untuknya,” ucap Berta. Kenangan kembali hinggap di benaknya. “Waktu itu Akademi Laetus ada di puncak kejayaan. Semua orang sibuk bahkan nyaris tak punya waktu untuk tidur. Cleo sering datang menemuiku untuk membuatkannya teh.”

Lexa mengangguk. “Baiklah, aku pergi dulu.”

Ia menaruh gelas di nampan kayu cokelat. Sebelum beranjak, Berta menahannya. Wanita itu tersenyum penuh arti. Lexa mengerutkan kening.

“Dugaanku tidak pernah salah,” katanya. Lexa merinding melihat tatapan wanita itu. “Cleo sangat memercayaimu.”

“Kenapa kau berpikir begitu?”

Berta menunjuk teh di nampan dengan lirikan matanya.

“Itu cuma teh,” jawab Lexa. “Apa hubungannya dengan kepercayaan?”

Berta meremas bahu lexa dengan kedua tangannya yang kotor. Dalam hati Lexa bersumpah akan mengajari wanita itu kebersihan lain kali. Ia tidak tahan dengan kebiasaan Berta menyentuhnya dengan tangan yang kotor.

“Cleo tidak percaya begitu saja pada seseorang,” katanya. “Jika ia memintamu membuatkannya teh, artinya ia memercayakan keselamatannya padamu.”

Lexa diam sejenak, kemudian mengangguk.

“Pergilah, dia pasti menunggumu.”

Lexa tak lagi menyahut. Ia membawa nampan ke ruangan Cleo dengan tergesa-gesa. Saat mencapai ujung koridor asrama, ia berpapasan dengan Lena. Gadis itu menguap seraya menghadang jalan Lexa.

“Kau punya waktu?”

Lexa mengedikkan bahu. Ia masih sedikit kesal pada mereka semua. Setelah pertemuan dengan guru besar waktu itu, mereka bahkan tidak repot-repot memberinya penjelasan.

“Ya, tapi sekarang aku harus mengantarkan ini pada Cleo,” ucap Lexa tegas. “Tolong menyingkir jika tidak mau pakaianmu basah.”

Lena bersikukuh berdiri di depan Lexa.

“Ada apa, sih? Belakangan ini kamu menjaga jarak dengan kami.”

Lexa mendesah. “Kita bahas lain kali, ya.”

Lexa menerobos lewat, mengabaikan Lena yang mengumpat di belakangnya.

***

Cleo mengamati teh yang disodorkan Lexa beberapa waktu yang lalu. Lexa tengah sibuk membolak-balik buku di kursi panjang dengan bibir mengerucut.

“Kau tidak menaruh racun di teh ini, kan?”

Lexa menoleh, menatap sinis pada Cleo yang memandang serius ke arahnya. Gadis itu menutup buku dengan kasar.

“Kenapa menyuruhku kalau berpikir aku meracunimu?”

Cleo tertawa, membuat Lexa semakin kesal.

“Apanya yang lucu?”

“Mukamu.”

Wajah Lexa memerah. Seandainya ada cermin di sana.

“Kalau gak mau dibuang aja,” ucap Lexa sembari mendekati meja Cleo. Pria itu buru-buru meraih gagang gelas dan meminumnya. Lexa tersenyum tipis saat Cleo tersenyum setelah meminum teh buatannya. “Gak ada racunnya, kan?”

Cleo mengangguk. “Aku hanya bercanda, Adik Kecil,” katanya. “Aku percaya padamu.”

Kegembiraan membuncah di dadanya. Meskipun Berta sudah mengatakan itu tadi, tetap saja rasanya berbeda jika diucapkan oleh Cleo langsung. Dan, oh, Cleo memanggilnya adik kecil? Lexa tidak pernah merasakan kehanhatan seperti itu. Beginikah rasanya punya kakak?

“Terima kasih. Berta sudah mengatakannya tadi.”

Cleo mengernyit. “Wanita itu memang terlalu jujur,” gerutu Cleo.

Cleo tampak lebih baik sekarang dan ini kesempatan yang bagus untuk Lexa.

“Boleh aku mencoba sekali lagi?”

Cleo mendongak. “Apa?”

Lexa meremas jari tangannya. “Memindai bakat.”

Cleo tersenyum semringah mendengarnya. Ia langsung bangkit dan mengambil papan pemindaian.

“Ah, tapi jangan berpikir aku sudah percaya bahwa aku penyihir,” ucap Lexa. “Aku hanya penasaran.”

Cleo meletakkan papan itu di mejanya. “Tidak masalah.”

Lexa menarik napas panjang, lalu mengembuskannya secara perlahan. Gadis itu memejamkan mata, memasrahkan diri pada hasil yang akan ia dapatkan. Namun, ia masih sedikit gugup. Lexa menggerakkan telapak tangannya di atas setiap simbol, tetapi tidak ada yang terjadi. Cleo menunggu dengan perasaan tak keruan, matanya tak lepas dari setiap simbol di papan.

Lexa menarik napas lagi. Kali ini, ia berusaha fokus dan tenang. Ia berdamai dengan dirinya sendiri dan berjanji jika nanti ia memang penyihir, ia bisa menerima itu semua. Sekali lagi ia menggerakkan tangannya dan anehnya semua simbol bergerak bersamaan. Mulut Cleo membulat, takjub bercampur bingung. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya.

Beberapa siswa memang ada yang memiliki lebih dari satu bakat sihir. Namun, mustahil memiliki semua bakat sihir yang ada. Dan bakat sihir itu tidak muncul di saat bersamaan. Biasanya setelah pemindaian bakat sihir pertama, maka bakat sihir berikutnya muncul beberapa tahun kemudian.

Sama seperti Cleo, Lexa tidak tahu apa yang harus ia pikirkan melihat semua simbol bereaksi di bawah tangannya. Apakah itu artinya ia bisa menguasai semua sihir itu? Tidak. Tidak mungkin. Benak Lexa memprotes. Pasti ada kesalahan pada alat itu dan Cleo harus memeriksanya.

***

“Jangan mempermainkanku, Ney,” tuduh pria berjubah cokelat muda itu. Burung kecil itu menatap marah, kemudian mematuki remahan roti di meja.

“Lihat saja sendiri kalau kau tidak percaya,” balas burung itu geram. Selama ini ia tidak pernah berbohong pada Bill. Kecuali bahwa ia masih memakan jamur di taman Akademi Laetus. Namun, siapa yang bisa menahan godaan untuk menikmati jamur yang lezat itu. Ney sering menemukan jamur liar di hutan, tetapi tidak seenak jamur merah di taman Akademi Laetus.

Pria itu mendesah. Ia menjatuhkan pungungnya pada sandaran kursi. Benaknya menggali semua ingatan yang ada. Namun, ia tidak pernah ingat ada orang yang memiliki bakat sihir lebih dari satu di saat bersamaan. Terlebih semua sihir yang ada diajarkan di Akademi Laetus. Hal itu semakin memperkuat tekad Bill untuk bertemu anak itu dan memastikan dugaannya selama ini. Jika benar anak itu yang ia tunggu, kesempatan ini tak akan ia sia-siakan.

Hal aneh apa pun yang terjadi di ruang kerja Cleo, itu pertanda ada kekuatan besar dalam diri anak itu dan Bill tidak akan menyia-nyiakannya. Kekuatan besar berarti peluang besar untuk menyelesaikan semua yang sudah ia mulai sebelumnya. Ia harus bergerak cepat jika tak ingin mereka menyadarinya.

“Belakangan ini kau sering melamun,” ucap Ney. Burung itu terbang ke lemari kayu di dekat jendela. “Tidak ada makanan untuk hari ini?”

“Ada banyak makanan di hutan ini, Ney,” ucap Bill. “Kau takkan kelaparan selama di hutan ini.”

Burung itu bercicit kesal. “Dasar pria tua pemalas,” bentaknya. “Bilang saja kau tidak mau membelikanku makanan.”

“Kau tahu, kan, tidak aman berkeliaran di hutan ini, bahkan malam sekalipun,” ucap Bill. Ia teringat nyaris ditangkap para pemburu dari Akademi Laetus saat kembali dari desa seberang untuk membeli beberapa keperluan, termasuk biji-bijian untuk Ney. Itulah  terakhir kali ia keluar dari rumahnya dan menyusuri hutan. Setelah itu, ia tidak pernah jauh dari tempat tinggalnya sekarang.

“Ya, kau memang selalu punya alasan,” ucap Ney pasrah. “Aku akan kembali menjelang petang.”

Burung itu terbang ke jendela.

“Hati-hati, Ney. Aku masih membutuhkanmu.”

Burung itu menggeleng. “Memangnya kapan kau tidak membutuhkanku?”

Bill tak menjawab.

“Sebaiknya kau yang menjaga diri,” ucap Ney memperingatkan. “Kemarin aku melihat anak itu memasuki hutan bersama perempuan jelek dan gemuk. Beruntung mereka tidak masuk lebih dalam. Jika tidak, mereka pasti melihat tempat ini dan memberitahu orang-orang di akademi.”

Setelahnya, Ney terbang menyusuri hutan. Bill termenung mendengar ucapan Ney. Perempuan jelek dan gemuk. Sejauh yang bisa ia ingat, hanya satu orang yang sesuai dengan deskripsi itu. Berta.

“Dia masih hidup?” tanya Bill pada dirinya sendiri. Setelah meninggalkan akademi, Bill tak pernah lagi bertemu wanita itu. Jika ada kesempatan bertemu, ia pasti akan menghajar Bill dengan tangan gemuknya karena tak sempat berpamitan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro