Bab 5 - Bayinya Hilang!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Chris bermaksud menemui Lexa setelah makan malam. Namun, melihat seorang anak laki-laki menghampiri Lexa, Chris mengurungkan niat.

Chris tidak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan saat itu. Anak laki-laki itu tidak ia kenal dan barangkali Lexa juga tidak mengenalnya. Chris bisa melihat ekspresi Lexa yang tampak bingung selama mereka berbicara. Chris pura-pura membersihkan pakaiannya dari sisa makanan agar bisa mengawasi.

Seharusnya Chris menghampiri Lexa begitu orang asing itu pergi. Namun, saat Lexa bangkit dan menyadari keberadannya di sana, Chris memalingkan wajah dan pergi menjauh. Anak laki-laki itu berjalan cepat menyusuri koridor, mengabaikan beberapa murid perempuan yang memperhatikannya lewat. Ia tahu Lexa tak mungkin mengejarnya, tetapi langkah kakinya tetap cepat sampai ia menembus keluar.

Angin berembus menerpa wajahnya begitu ia berada di halaman asrama. Ia masih berpijak pada lantai batu hitam yang disusun secara acak. Permukaanya kasar, tetapi tampak mengilap di bawah terpaan cahaya lampu. Atap-atap bangunan berpendar, memancarkan cahaya kehijauan.

Chris merasakan sedikit kelegaan saat angin kembali berembus. Rasa sakitnya mereda. Anak laki-laki itu berjalan menuruni tangga, terus menapaki jalanan berbatu yang diapit gedung di kanan kiri. Sebelumnya mereka berjalan dari sana, tetapi Chris tidak bisa memperhatikan setiap detail bangunan. Cleo berjalan terburu-buru sembari berceloteh dan Chris lebih banyak memperhatikan Lexa.

"Kau butuh bantuan?"

Chris berbalik. Seorang gadis mengenakan jaket berwarna hijau yang dipadukan dengan celana panjang hitam berjalan menghampiri. Tangannya dimasukkan ke saku jaket. Chris belum pernah melihatnya. Rambutnya yang kemerahan bergoyang-goyang sementara ia memotong jarak dengan Chris.

"Kau mau ke mana?"

Chris menggeleng pelan, kembali pada kesadarannya.

"Aku hanya sedang berjalan-jalan. Aku makan terlalu banyak sehingga terasa gerah," ucap Chris. Ia berbalik, kembali berjalan menapaki jalan berbatu yang membentang jauh ke depan. "Kau sendiri sedang apa di sini?"

Kini gadis itu tepat di sisi tubuh Chris. Anak laki-laki itu merasakan kehangatan yang keluar dari tubuh gadis itu. Sejenak ia berpikir gadis itu demam sebelum akhirnya sebuah tangan terulur.

"Diana Aliera."

Chris menyambut uluran tangan itu. "Chris."

"Nama yang bagus. Sangat pas untukmu."

Chris tidak menjawab. Ia tahu Diana hanya mencoba menggodanya, tetapi pipinya merona.

"Kau demam?" Chris bertanya setelah keheningan beberapa saat.

"Tidak." Diana menjawab dengan tegas. "Kau merasakan hangat saat berdekatan denganku?"

Chris terkejut atas dugaan itu, tetapi ia mengangguk. Pandangannya lurus ke depan, sesekali diarahkan pada bangunan di sekitar, tetapi sebisa mungkin menghindari wajah Diana.

"Aku seorang Luxia." Keheningan hadir sesaat sebelum Diana menambahkan. "Maaf, aku lupa. Sederhananya, aku murid kelas Cahaya."

Chris mengerutkan dahi. Namun, ia berusaha agar tidak terlihat bingung, meskipun ia yakin Diana bisa melihat itu di wajahnya.

"Tidak usah terlalu dipikirkan," ucapnya. Diana menepuk pelan bahu Chris. "Besok kalian akan ikut pelatihan bersama Cleo. Aku harap kau bergabung di Kelas Lux."

Chris mengedikkan bahu. Memangnya ada berapa banyak kelas yang bisa ia pilih?

"Jika menurutmu itu tidak akan merugikanku, tidak ada salahnya mencoba bergabung dengan kelas itu." Chris berkata sembari memandangi kakinya yang entah sudah berapa jauh membawanya dari asrama.

Diana mendesah. "Tapi kau tidak bisa memilih kelas mana yang akan menjadi tempatmu belajar."

Chris menatap wajah gadis itu. Sebisa mungkin melawan kegugupannya. "Jadi siapa yang menentukannya?"

Diana menempelkan telunjuknya ke dada Chris. "Sesuatu dalam dirimu. Dia yang akan memilih."

Chris semakin larut dalam kebingungan. Di mana sebenarnya mereka berada? Tak satu pun ucapan Diana yang ia pahami. Tiba-tiba kakinya berhenti dan ia menatap sekeliling. Tidak ada lagi bangunan di sekeliling mereka. Hanya ada jamur beragam warna yang memenuhi sekitar.

"Kita di mana?"

"Di taman." Gadis itu memetuk satu jamur berwarna merah cerah dari tanah, kemudian menghirup aromanya. Chris melongo, bergidik ngeri. Diana menyodorkan jamur yang dipegangnya pada Chris. Anak laki-laki itu menggeleng.

"Itu kan jamur," ucap Chris jijik.

"Memangnya kenapa kalau ini jamur?" Diana mengernyit. "Kau pasti suka aromanya. Cobalah."

Chris menerima jamur itu dengan enggan. Ia menarik napas dalam sebelum mendekatkannya ke hidung. Ia berusaha menahan diri agar tidak muntah. Namun, saat jamur dekat dengan hidungnya, aroma manis menyelinap masuk. Aneh, tetapi ia membenarkan ucapan Diana. Chris menyukai aromanya.

***

Lexa mengutuki siapa pun yang mengusik tidurnya saat itu. Sejauh ingatan, ia baru tidur beberapa jam yang lalu. Sangat mustahil jika sekarang sudah pagi. Namun, saat membuka mata, ia bisa mendengar suara orang-orang di luar kamarnya. Gadis itu berusaha mengangkat bobot tubuhnya dari kasur dan berjalan keluar. Awalnya ia mengira akan mendapati banyak murid berseragam hitam atau krim di sana.

Namun, saat membuka pintu, ia mendapati banyak orang seusianya berjalan hilir mudik mengenakan jubah merah cerah. Di kepala mereka bertengger topi berbentuk jamur berwarna senada dengan jubah mereka.

Lexa melangkah keluar, berharap bisa menemukan salah satu temannya di antara mereka. Namun, sebanyak apa pun wajah yang ia lihat, tak satu pun yang cukup familier. Bahkan orang-orang yang ada di ruang makan tadi malam tidak terlihat sama sekali.

Lexa mulai menyadari adanya keanehan saat seorang pria berjalan cepat di koridor. Pria itu mengenakan jubah hitam dengan logo jamur merah di dada, berjalan cepat ke arahnya. Lexa menyunggingkan senyum, tetapi pria itu tidak menggubris. Ia berjalan melewati Lexa dan masuk ke kamar yang ditempati gadis itu.

Lexa berbalik dan ternganga melihat apa yang ada di dalam kamarnya. Sebuah tempat tidur kecil teronggok di sudur kamar. Tempat tidur bayi yang tertutup kain tipis berwarna biru muda. Di kamar itu juga ada lemari pakaian yang tampak kokoh dan terawat. Ada banyak gambar-gambar yang menghiasi dinding.

Pria itu membuka lemari dan mengeluarkan beberapa pakaian bayi dari sana. Sementara ia sibuk, Lexa mendekati ranjang bayi itu dan berusaha melihat sesuatu di dalamnya. Ia berharap akan melihat bayi di dalam sana. Namun, saat tangannya hendak menyibak kain penutup, seseorang berteriak.

"Apa yang kau lakukan?"

Lexa membeku di tempat. Tangannya tergantung di atas ranjang bayi. Ia tidak berani menoleh. Ia mendengar langkah kaki mendekat. Namun, sampai beberapa saat ia tidak merasakan seseorang menyentuh bahunya. Gadis itu memberanikan diri menoleh dan berteriak saat wajahnya begitu dekat dengan wajah seorang pria yang cukup familier.

"Kita tidak punya pilihan," ucap pria berjubah hitam itu. Ia terus menjejalkan pakaian ke dalam kantung kain. "Ia sudah mengambil keputusan. Kita tidak bisa mengubahnya."

Pria yang baru masuk mengenakan jubah merah dengan logo jamur hitam di dada. Wajahnya kuyu dan matanya berkaca-kaca menatap ranjang bayi. Pandangannya menembus tubuh Lexa. Saat itu Lexa menyadari itu tidak nyata. Ia pasti sedang bermimpi. Namun, kenapa mimpi itu terasa sangat dekat?

Gadis itu bergeser saat pria berjubah hitam mendekat ke arah ranjang. Meski sadar itu mimpi, Lexa takut merasakan sakit saat pria paruh baya itu menembuh tubuhnya. Kain tipis yang menutupi ranjang bayi disibak. Wajah mereka bertiga tegang. Semua mata memelotot pada ranjang bayi yang kosong. Kemudian, kedua pria itu saling berpandangan. Seseorang telah mengambilnya dari sana. Tapi siapa?

"Cepat, temui Partia!" seru pria berjubah hitam dengan panik pada pria yang usianya jauh lebih muda darinya. Tanpa menunggu lebih lama, ia bergegas pergi meninggalkan kamar. Pria paruh baya itu jatuh berlutut. Wajahnya tampak pucat, seolah-olah ia kehilangan seluruh tenaga.

Lexa menilik sekali lagi ke dalam ranjang bayi. Apa yang sebenarnya mereka cari? Jika mereka mencari bayi yang ada di dalam ranjang, kenapa mereka begitu panik? Ada begitu banyak orang berkeliaran. Mustahil ada penyusup yang masuk ke kamar dan membawa bayi itu pergi diam-diam.

Lexa berjongkok di depan pria itu. Ia tidak tahu apakah usahanya akan membuahkan hasil. Namun, Lexa menepuk pundak pria itu, dan menembusnya. Hatinya mencelus menyadari ia tidak bisa berbuat apa-apa. Lexa bangkit berdiri, tetapi tiba-tiba tangan pria itu menariknya.

Gadis itu menatap ke bawah, tepat pada sepasang mata yang menatap lurus ke arahnya. Lexa bergidik ngeri. Bulu kuduknya meremang. Bagaimana bisa pria itu memegangnya sementara ia ada dalam mimpi?

Lexa berusaha melepaskan genggaman pria itu, tetapi usahanya gagal. Genggaman pria itu sangat kuat. Gadis itu meronta-ronta dan menendang sekuat tenaga. Pria itu belum menyerah. Tangannya yang bebas mencengkram pergelangan kaki Lexa. Gadis itu berteriak, tetapi suaranya tidak keluar.

Ia menggeliat, berusaha meraih apa pun untuk membebaskannya. Namun, tidak ada apa-apa untuk diraih. Lexa merasakan sekujur tubuhnya basah dialiri keringat. Pergelangan kakinya terasa sakit dan tangannya nyeri.

"Lepaskan!

Matanya terbuka dan ia melihat orang yang sedang memegang tangan dan kakinya, menahannya agar tidak bergerak.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro