Bab 6 - Bakatmu Menentukan Kelasmu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sepanjang jalan menuju ruang makan, Lena tak hentinya mengoceh. Wajahnya tegang dipenuhi amarah dan kejengkelan. Sementara Lexa berjalan dalam diam di sebelahnya sembari memikirkan setiap ocehan Lena. Sesekali ia berpikir Lena hanya melebih-lebihkan ucapannya.

"Aku sampai harus menyisir rambut selama dua jam agar kembali seperti semula," oceh gadis itu. Ia sudah mengganti piamanya dengan kaos putih polos dan celana olahraga berwarna cokelat. "Untung aja murid lain datang nolongin. Kalau gak, mungkin aku udah babak belur."

Lexa menoleh, memperhatikan sejenak gadis di sebelahnya. Mungkin Lena benar, hanya saja ia tidak sadar saat melakukannya.

"Aku minta maaf."

Lena berhenti mengoceh, mulutnya terkatup seolah tak menyangka kalimat itu akan keluar dari mulut Lexa. Ia tidak bermaksud menyinggung Lexa atas kejadian buruk yang terjadi tadi malam. Bagaimana Lexa mengamuk dalam tidur dan menarik rambut Lena saat hendak menyadarkannya.

Suasana berubah canggung. Lena menyesali ucapannya dan berpikir ia terlalu berlebihan.

"Aku gak bermaksud menyinggung kamu, Xa."

Lexa menyunggingkan senyum. "Kamu gak salah, kok. Meskipun aku melakukannya secara gak sadar, tetap saja aku melukaimu."

Lena membuang napas. Ia mengamit lengan Lexa. "Udah jangan dibahas lagi."

Mereka berjalan beriringan menuju meja makan panjang yang diapit kursi yang berderet di kedua sisi. Tampaknya mereka sedikit terlambat karena semua kursi nyaris penuh dengan orang-orang yang sedang sarapan. Di hadapan mereka terdapat piring berisi roti dan susu. Sebagian murid sarapan dengan bubur kacang dan teh hangat.

Mereka berdua hendak duduk, tetapi Lexa menarik lengan Lena dan menyeretnya mengantre bersama murid lain. Sembari menunggu giliran, Lena berbisik.

"Untung aja kamu cepat sadar, Xa. Kalau gak, kita bisa nungguin sarapan sampai jam makan siang."

Lexa terkikik pelan, kemudian buru-buru melangkah maju saat gilirannya tiba. Ia melihat gadis berambut kemerahan itu di balik konter. Ia tengah sibuk menyendokkan bubur ke dalam mangkuk kecil dan memberikannya pada gadis yang bertugas menyusun mangkuk ke dalam rak.

"Bubur atau roti?" Seorang anak laki-laki bercelemek bertanya.

"Roti saja."

"Minumnya?"

"Teh boleh."

Anak laki-laki itu menyiapkan roti dan teh hangat, kemudian meletakkannya di meja. Lexa mengambilnya dan berpindah agar Lena bisa lewat.

"Roti dan segelas susu," ucap Lena sebelum anak laki-laki itu bertanya.

Setelah makanannya disiapkan, mereka berjalan beriringan ke kursi paling ujung. Mereka orang terakhir yang mengantre mengambil makanan.

Lexa menghirup aroma teh yang ia bawa. Ada sensasi hangat dan segar yang masuk ke dalam tubuhnya. Sepertinya itu bukan teh biasa. Mungkin teh herbal. Sekilas tampak seperti teh biasa, berwarna cokelat kemerahan.

Lexa melirik sekilas pada orang-orang yang duduk di sana. Pandangannya berhenti pada sosok yang sedang sibuk menikmati sarapan. Sesekali ia tertawa di tengah obrolan dengan murid di dekatnya. Lexa mengalihkan pandangan dan menemukan Reka sibuk mengobrol dengan seorang gadis di seberangnya. Piringnya sudah kosong, tetapi piring gadis di depannya berisi dua roti. Trik buaya, batin Lexa.

Murid yang sudah selesai sarapan berhamburan meninggalkan ruang makan. Hanya yang bertugas pagi itu yang tetap tinggal untuk membereskan peralatan makan. Berbeda dengan situasi tadi malam. Pagi ini tidak ada murid yang mengobrol di sana.

Lexa menyadari Reka dan Chris masih di sana. Mereka berdua mendekati Lexa yang masih duduk di samping Lena.

"Gimana tidur kalian?" ucap Reka. Wajahnya berseri-seri, tampak begitu menikmati suasana.

"Sedikit kacau," ujar Lena. Lexa melirik tajam agar Lena tidak menceritakan apa yang terjadi tadi malam. Tidak di hadapan Chris.

"Kamu kelihatan bahagia banget di sini," ujar Lexa pada Reka.

"Tentu saja."

"Sudah berapa cewek yang kamu dekati?"

Reka tersipu malu. "Hanya satu. Ayolah, jangan berpikir aku akan mendekati banyak cewek sekaligus."

Lexa mengedikkan bahu. "Ya, kuharap begitu."

"Kamu gimana?" Reka bertanya seraya menepuk bahu Chris. Dalam hati Lexa berterima kasih karena Reka mewakili pertanyaannya.

"Pake nanya lagi," ketus Chris. "Gak ingat tadi malam aku susah tidur karena kamu berisik. Ngoceh soal cewek sampai tengah malam."

Lena dan Lexa terkikik.

"Oh, kalian satu kamar?" tanya Lexa. Ia berpikir mereka mendapat kamar masing-masing satu orang.

"Ya. Aku satu kamar sama dia," ketus Chris.

"Kan, emang satu kamar ditempati dua orang, Xa," timpal Lena. "Aku satu kamar dengan Diana."

Lexa termenung sesaat. "Tapi kenapa aku sendiri, ya?"

"Mungkin nunggu ada murid lain," ujar Reka.

Gadis itu hendak mengatakan bahwa di kamarnya hanya ada satu ranjang seolah-olah kamar itu memang dikhususkan hanya untuk satu orang. Namun, tiba-tiba seseorang berdeham. Mereka berempat menoleh. Neo berdiri dalam balutan jubah hitam. Ia tersenyum ramah, membuat Chris menatap jijik.

"Aku rasa sudah cukup obrolan paginya," kata Neo. "Sekarang kalian berganti pakaian dan temui aku di halaman depan. Cleo sudah menunggu."

Mereka hendak bertanya, tetapi Neo beranjak pergi. "Jangan lama," ucapnya sembari berjalan menjauh. "Cleo tidak suka orang yang lamban."

Chris bergumam kesal sembari meninggalkan ruang makan, disusul ketiga temannya.

***

Neo berdiri menghadap jalanan berbatu saat Lexa keluar dari bangunan asrama. Jubahnya berkibar saat angin berembus. Lexa berjalan dalam diam.

"Bagaimana tidurmu tadi malam?"

Lexa refleks berhenti, Neo ternyata menyadari kedatangannya. Lexa semakin waspada dan mulai mencurigai Neo. Anak laki-laki itu berbalik. Wajahnya tampak segar dan ia tersenyum.

"Tidak terlalu buruk," ujar gadis itu. Ia memilih merahasiakan apa yang terjadi tadi malam. Mungkin Neo bisa membantunya mengurai mimpi itu karena Lexa yakin mimpinya berkaitan dengan tempat ini. Namun, ia tidak ingin bertindak gegabah. Mereka baru berkenalan kemarin. Neo bisa saja teman dan musuh di saat bersamaan.

"Ya, kuharap kamu bisa tidur lebih tenang malam ini." Anak laki-laki itu berjalan mendekat. "Aku mendengar tadi malam kamu mimpi buruk. Tapi, jangan khawatir, itu hal biasa karena kamu mendatangi tempat baru."

Lexa memaksakan senyum.

"Wah, kamu sudah di sini ternyata."

Reka muncul dari lorong. Tubuhnya yang tidak terlalu tinggi membuat jubah yang ia kenakan sedikit terseret. Namun, ia tak mau repot-repot mengangkatnya.

"Di mana yang lain?" tanya Neo.

"Sudah menyusul di belakang," jawab Reka. Ia merentangkan kedua tangan dan menghirup udara pagi.

Tak lama kemudian, Chris muncul dari lorong disusul Lena yang sibuk dengan rambutnya. Gadis itu merapikan tiap helai rambut yang mencuat dari ikatan di belakang kepalanya. Ia tersenyum ramah pada Neo begitu tiba.

"Pagi ini kalian akan melakukan pemindaian bakat untuk menentukan kelas yang akan kalian masuki," ujar Neo memulai. "Aku akan mengantar kalian pada Cleo dan dia yang akan menjelaskan pada kalian. Jadi kuharap, tidak ada yang bertanya kenapa kalian harus ikut ke sana."

Ia memandangi keempat murid yang berdiri di hadapannya. Tak satu pun dari mereka yang tampak antusias. Namun, mereka tetap diam dan itu membuat Neo lega.

"Sekarang kalian ikuti aku."

Neo berjalan lebih dulu, disusul keempat murid di belakangnya. Chris berusaha menyejajarkan langkah dengan Lexa. Gadis itu tidak menoleh meski Chris beberapa kali bergumam di sebelahnya.

Neo menuntun mereka di jalanan berbatu dan melewati beberapa bangunan, kemudian berbelok ke kanan. Setelah berjalan beberapa meter, Neo berhenti di depan sebuah bangunan beratap seperti kubah. Di pagi hari, atap itu berwarna hijau gelap. Neo mendorong pintu hingga terbuka lebar, kemudian mereka masuk.

Bangunan itu tampak jauh lebih luas dibanding yang terlihat dari luar. Di sudut kiri ada tangga meliuk ke lantai dua. Di lantai satu ada beberapa rak buku dan beberapa meja dengan bertumpuk-tumpuk kertas di atasnya. Namun, mereka tidak melihat keberadaan Cleo di sana. Neo meminta mereka berempat duduk di kursi kayu yang menempel ke dinding sembari menunggu pria itu datang.

"Mungkin dia sedang mengerjakan sesuatu di atas," ujar Neo melirik ke tangga. "Perlu kuingatkan bahwa Cleo tidak suka siapa pun menyentuh barang miliknya. Kuharap kalian bisa menjaga sikap."

Reka menatap heran. Sorot matanya menunjukkan betapa jengkelnya ia atas tuduhan tak beralasan itu.

"Kau pikir kami tertarik untuk menggeledah semua kertas itu dan mencuri dokumen penting?" Reka mengibaskan tangan. "Lebih baik aku menculik salah satu cewek di asrama daripada mencuri dokumen."

Neo tampak tak terpengaruh. "Kuharap kau bisa memegang ucapanmu," katanya santai. Ia melirik Lexa, sekilas membuat Chris yang melihatnya ingin menghajar wajah Neo. Anak laki-laki itu beranjak pergi bersamaan dengan pintu yang perlahan menutup. Ruangan yang tadinya terang karena ada cahaya dari luar, kini tampak temaram karena hanya ada cahaya yang masuk dari jendela kecil di atas mereka.

"Maaf membuat kalian menunggu."

Cleo menuruni tangga dengan tumpukan dokumen di tangannya. Ia memiringkan dokumen ke sisi kiri agar bisa melihat anak tangga di bawah. Ia meletakkan semua dokumen di meja dengan suara berdebum keras. Dadanya kembang kempis sementara tangannya ditopang ke sisi meja.

Mereka berempat mengamati dalam diam. Masing-masing ingin bertanya atau menawarkan bantuan, tetapi mereka tidak tahu harus memulai dari mana. Cleo berbalik, kemudian memaksakan senyum. Wajahnya basah oleh keringat, tetapi tidak menyurutkan kebiasaannya untuk terlihat ramah.

"Mungkin kalian sudah tahu kenapa kalian ada di sini, tapi aku akan menjelaskan sekali lagi," ucap Cleo. Ia berbalik, kemudian mengacak-acak kertas yang ada di meja. Ia menarik kertas putih yang terlipat menjadi empat bagian, kemudian membentangkannya di hadapan mereka berempat.

Mereka sontak memajukan kepala, mengamati dengan saksama gambar dan tulisan yang ada di sana. Cleo menunjuk gambar pertama yakni bola cahaya yang menjadi simbol kelas Lux. Murid di kelas Lux akan mendapat gelar Luxia. Kemudian ia beralih pada gambar pusaran angin yang merupakan simbol kelas Ventus dan murid kelas Ventus mendapat gelar Vent.

Cleo beralih pada gambar api yang menjadi simbol kelas Igne dan murid kelas Igne mendapat gelar Ignis. Kemudian, ia beralih pada gambar air yang menjadi simbol kelas Aqua dan murid kelas Aqua mendapat gelar Aquane. Keempat kelas itu merupakan kelas reguler dn menjadi kelas dasar bagi setiap murid.

Cleo melipat kembali kertas itu, kemudian mengambil kertas lainnya. Di sana ada beberapa simbol. Simbol pertama berupa gambar jamur dan sulur tanaman yang melambangkan kelas Medica dan murid kelas Medica disebut Medicus. Simbol kedua berupa gambar burung yang melambangkan kelas Silva dan murid kelas Avis mendapat gelar Avisca. Kelas ini merupakan kelas lanjutan yang mana tidak semua murid di kelas dasar bisa masuk ke kelas lanjutan.

Setelah memberi pemaparan, Cleo meminta mereka maju satu per satu untuk memindai bakat. Cleo meletakkan sebuah papan berukir semua simbol kelas di meja. masing-masing mereka dipindai untuk menentukan kelas.

Reka bergabung di kelas Ventus. Lena bergabung di kelas Lux bersama dengan Chris. Setelah mereka mendapat kelas, tiba giliran Lexa. Gadis itu melangkah ragu. Haruskah ia melakukan ini? Bukankah mereka akan dibawa mengikuti olimpiade? Namun, kenapa mereka disuruh memindai bakat seolah-olah mereka adalah penyihir? Lexa ingin bertanya, tetapi keberaniannya menciut setiap kali berusaha bersuara.

Gadis itu menjulurkan tangan, bergerak perlahan di atas setiap gambar. Namun, sampai semua gambar dipindai, tak satu pun yang bereaksi. Cleo mengernyit, hal seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Ia meminta Lexa mengulanginya sekali lagi dan lebih lama membiarkan tangannya di atas setiap gambar. Namun, hasilnya sama.

Sejenak Lexa berharap itu artinya ia gagal menjadi murid dan hati kecilnya ingin ia dikembalikan. Meski Amena bukan ibu yang baik, tetapi rumahnya selalu menjadi tempat terbaik untuk pulang. Berada di antara semua keanehan ini, membuatnya mual dan merasa ngeri.

Dalam hati ia berbisik, jika ada kesempatan, ia akan kabur dari tempat itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro