Bab 7 - Gineo Laetus

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Lexa tidak begitu memikirkan penyebab dirinya tidak memiliki bakat apa pun. Sebagian dirinya bersyukur dan berharap itu artinya ia akan dipulangkan karena tidak akan ada artinya ia berada di sana. Namun, ia salah. Cleo memintanya menjadi asisten di ruangannya yang berlantai dua.

Lexa ingin memprotes, tetapi Cleo langsung menaiki anak tangga tanpa menoleh sekali pun. Gadis itu menggerutu di depan meja yang dipenuhi tumpukan kertas. Tidak ada bakat, tidak ada kelas untuk dimasuki. Lexa menjadi asisten pribadi untuk membantu Cleo merapikan kekacuan di ruangan itu.

Lexa mengutip lembaran demi lembaran, menyatukannya menjadi tumpukan yang lebih tertata. Setelah semua kertas di meja tersusun rapi, ia bergerak ke rak-rak di sudut ruangan. Ada tiga rak kayu berisi puluhan buku. Beberapa di antaranya tampak kusam dan kekuningan. Debu menempel di atasnya.

Gadis itu mengambil lap di meja, kemudian menutup hidung dengan bajunya sebelum melibaskan kain di tangannya ke buku-buku berdebu itu. Ia memejam saat debu masuk ke matanya. Lexa menjauh dari sana sejenak sampai debu yang beterbangan hilang.

Ia menilik ke arah tangga, tidak ada tanda-tanda kehadiran Cleo. Sebelumnya pria itu hanya memintanya membereskan meja. Namun, Lexa jenuh jika harus duduk di sana sendirian dan mengamati ruangan itu berulang kali.

Satu per satu buku ia bersihkan, kemudian disusun kembali ke rak sesuai ukurannya. Satu rak sudah beres. Ia beralih ke rak lainnya. Saat membersihkan buku, ia tertarik pada salah satu buku bersampul merah maroon dengan tulisan berwarna emas. Ada gambar sepasang mata di bagian depan sampulnya. Lexa membaliknya, tetapi tidak ada apa-apa di sana selain noda hitam yang menempel. Lexa menepikan buku itu, kemudian lanjut membersihkan buku yang lain.

Lexa memasukkan buku terakhir saat ia mendengar ketukan sepatu di tangga. Lexa mengibaskan jubahnya dan meraih buku bersampul merah itu. Cleo tampak kaget saat melihat Lexa berdiri di dekat rak dan buku-buku di sana sudah bersih.

“Wah, tidak salah aku memintamu bekerja di sini,” ucap Cleo. Senyum di wajahnya membuat Lexa sedikit mengendorkan rasa curiganya pada Cleo. Bagaimana pun, pria itu tidak pernah bertindak di luar batas kecuali membawa mereka ke tempat asing itu. “Kau sudah selesai merapikan buku-buku itu?”

Lexa menoleh pada rak di belakangnya. “Sudah. Bolehkah aku istirahat sebentar?”

Cleo mengedikkan bahu. “Tentu saja. Aku belum punya pekerjaan baru untukmu.”

Lexa mengangkat buku di tangannya. “Boleh aku pinjam?”

Cleo mengernyit, kemudian tersenyum. “Tentu saja. Itu salah satu buku favoritku.”

Lexa tampak antusias. Mungkin Cleo bisa menjadi teman diskusi yang menyenangkan mengenai buku. Selama ini ia kesulitan menemukan rekan diskusi.

“Terima kasih,” ucap Lexa.

“Baiklah. Aku ada pekerjaan di ruangan lain. Jika kau butuh sesuatu, silakan ambil saja.”

Cleo mengambil beberapa dokumen di meja, kemudian beranjak pergi. Lexa memeluk buku di tangannya. Ia hendak berlari menaiki anak tangga saat Cleo berbalik.

“Jangan naik ke atas jika aku tidak ada di sini.”

Lexa terdiam di tempat. Ia mengangguk. Mendadak jantungnya berdebar dan ia mengingatkan diri sendiri agar menjauhi tangga itu. Setelah Cleo pergi, Lexa keluar dari ruangan itu. Ia menutup pintu, kemudian terdiam sesaat mengamati sekitar. Di mana ia akan membaca buku itu?

Gadis itu melangkah menyusuri jalan berbatu, kemudian berbelok ke kanan dan berjalan beberapa puluh meter. Di kejauhan ia melihat sesuatu berbentuk jamur menjulang tinggi. Sepertinya itu bukan bangunan. Lebih seperti jamur raksasa dengan batang yang ramping.

Saat tiba di sana, benar saja. Itu tanaman jamur raksasa yang tumbuh menjulang setinggi dua meter. Jamur itu mekar menaungi batu ceper di bawahnya. Tempat yang nyaman untuk berteduh dan membaca buku. Di sini tidak ada orang yang lewat sehingga Lexa bisa menikmati waktu sampai Cleo memberinya tugas baru.

Sejenak Lexa meraba sampul buku itu. Dadanya terasa nyeri, seolah-olah buku itu menyengat ujung jemarinya. Namun, perasaan ganjil itu membuatnya semakin tertarik. Pada halaman pertama terdapat gambar seorang pria tua berjubah merah. Wajahnya dipenuhi janggut putih. Rambutnya yang panjang beruban teruntai di kedua sisi bahu.

Di bawahnya terdapat tulisan, Gineo Laetus.

Lexa teringat pada hari mereka tiba di sana. Cleo menjelaskan bahwa mereka ada di Akademi Laetus. Apakah dia pendiri akademi ini? Lexa mengamati gambar itu lebih jelas dan melihat ada tongkat kecil di saku jubah pria itu. Di bagian atasnya terdapat bola kristal berwarna ungu. Di sepanjang batang tongkat terdapat bola yang lebih kecil berwarna merah, putih, biru, dan hijau.

Lexa tidak tahu siapa dan apa makna gambar itu. Di sampulnya tidak ada judul buku. Ia membuka halaman berikutnya dan mendapati nama yang sama di sana. Pada halaman berikutnya, Lexa mengerti bahwa buku itu semacam buku harian yang ditulis lebih formal. Barangkali pria itu yang menulisnya.

Buku itu tidak terlalu tebal. Isinya hanya menjelaskan tentang pengalaman pria bernama Gineo saat ia mendapat kemampuan untuk melihat masa lalu. Namun, tidak dijelaskan lebih jauh bagaimana ia mendapat kemampuan itu dan hal apa yang ia alami sehingga begitu yakin bahwa ia benar-benar bisa melihat masa lalu. Halaman terakhir berisi tentang biografi singkat orang yang menulis buku itu. Lexa akhirnya tahu buku itu tidak ditulis oleh Gineo sendiri. Buku itu ditulis oleh Levian Aventus.

Lexa menyukai buku itu, tetapi tidak begitu terkesan. Awalnya ia berharap bisa menemukan informasi yang lebih penting dari sekadar penjelasan bahwa bakat itu ada. Terlebih buku itu ditulis oleh orang lain. Barangkali orang bernama Levian itu mengagumi sosok Gineo dan mengabadikannya dalam sebuah buku.

Gadis itu menutup buku, kemudian mengamati sekitar. Ada banyak jamur tumbuh liar di sekitarnya. Namun, tidak ada yang sebesar jamur tempatnya berteduh sekarang. Gadis itu bertanya-tanya berapa lama jamur itu bisa bertahan hidup?

Angin berembus rendah, meniupkan aroma khas yang sulit ia jelaskan. Ia ingat pernah mencium aroma itu di kamarnya. Namun, saat itu baunya tidak begitu jelas karena bercampur dengan bau apak dari kamar yang sudah lama kosong. Sepertinya kamar itu sudah lama dibiarkan berdebu dan baru dibersihkan saat mereka akan dibawa ke sana.

Seekor burung tiba-tiba bercicit. Lexa mengedarkan pandangan mencari sumber suara. Awalnya ia berpikir tidak ada burung di sini. Ia tidak bisa melihat adanya pepohohan atau bunga. Seekor burung kecil berwarna keemasan melompat-lompat di atas jamur. Ekornya yang berkilau diterpa cahaya bergoyang-goyang saat ia melompat dari satu jamur ke jamur lain.

Lexa terpesona melihat kecantikannya. Burung itu terus bersenandung dan mendekat pada Lexa. Burung itu berhenti saat jarak mereka semakin dekat. Ia memandangi Lexa yang tersenyum ke arahnya.

“Kemarilah burung kecil,” ucap gadis itu sembari menjulurkan tangan.

Burung itu bercicit, tetapi masih bergeming. Lexa bangkit berdiri, mencoba mendekati secara perlahan. Namun, tiba-tiba saja burung itu terbang. Lexa mencelus karena belum sempat menyentuhnya.

“Kau membuatku khawatir.”

Lexa berbalik, terkejut mendapati sosok Chris di belakangnya.

“Aku hanya duduk di bawah jamur ini dan membaca buku,” ucap Lexa seraya mengacungkan buku di tangannya. “Kenapa harus khawatir? Apakah ada penjahat di sekitar sini?”

Chris tertawa renyah. “Tidak. Cleo kembali ke ruangannya dan tidak menemukanmu. Dia bilang kau meminjam buku. Aku memintanya untuk tidak khawatir sementara aku pergi mencarimu.”

Lexa mengernyit. “Bagaimana kamu bisa bertemu Cleo? Bukankah kamu seharusnya ada di kelas?”

Chris tampak kikuk. Ia menggaruk tengkuk seraya bergumam.

“Aku tadi izin ke toilet.”

Lexa melipat kedua tangan di dada. “Tapi tidak ada toilet di ruangan Cleo.”

Chris mengembuskan napas. “Ya, sebenarnya aku berbohong. Aku ingin menemuimu.”

Lexa mendadak gugup. Sejak tadi ia berusaha tenang dan menutupi detak jantung yang membuatnya sesak.

“Kenapa tidak menunggu sampai jam makan siang?”

“Tadinya kupikir begitu. Tapi, aku tidak bisa konsentrasi. Jadi, aku pergi saja dari sana.”

Lexa mengamati wajah Chris. Anak laki-laki itu tampak serius dengan ucapannya.

“Kurasa aku harus segera kembali. Mau bicara sekarang?”

Chris mengangguk. “Apa kamu merasakan apa yang aku rasakan juga?”

Lexa terdiam. Pertahanannya runtuh. Tangannya terlipat di dada, tetapi tetap saja terlihat gemetaran. Benarkah selama ini Chris menyukainya? Lexa tidak siap untuk itu. Mereka ada di suatu tempat yang aneh dan Lexa tidak tahu bagaimana caranya kembali. Jika situasinya berbeda, mungkin Lexa akan mengangguk. Namun, berada di tempat ini membuatnya sulit untuk mengontrol perasaan.

Gadis itu meneguk ludah. Ia ingin menjawab, tetapi tenggorokannya tersekat. Sesaat kemudian, tubuhnya limbung ke bebatuan di jalan. Buku di tangannya berdebum. Sesaat ia masih melihat sosok Chris berlari ke arahnya. Suara anak laki-laki itu terdengar samar. Kemudian, semua berubah gelap.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro