Bab 8 - Rencana Melarikan Diri

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Lexa tak tahan dengan penyesalan yang terus menderanya. Ia terlalu mudah menarik kesimpulan dan merumuskannya sendiri. Padahal ia bisa saja bertanya dan memperjelas maksud Chris di taman. Sekarang, ia bahkan tak berani menatap langsung mata anak laki-laki itu. Memang, Chris tidak tahu kenapa Lexa pingsan. Namun, tetap saja Lexa merasa tidak nyaman.

“Kalau capek, istirahat aja, Xa. Jangan maksain kerjain semua,” ujar Chris mengingatkan. Lexa bersandar ke tembok. Kakinya terbungkus selimut tipis sementara jubahnya masih membungkus tubuhnya. Suhu di tempat itu tetap dingin meski sudah siang. “Cleo pasti ngerti, kok.”

Lexa menunduk. “Maaf, ya. Aku ngerepotin kamu.”

Chris duduk di samping ranjang. Meski tak nyaman, Lexa berusaha mengenyahkan perasaan tak beralasan itu. Dalam hati ia berkeras untuk tetap bersikap sewajarnya setiap dekat Chris.

“Gak usah minta maaf, Xa. Yang penting kamu udah di sini sekarang,” ucap Chris.

Sejenak hening mengisi ruang kosong di antara mereka. Lexa membuka suara untuk mengurangi kecanggungan.

“Tadi kamu mau ngomong apa?”

Chris teringat tujuannya keluar dari kelas.

“Neo ngomong apa sama kamu tadi malam?”

Lexa mengernyit. Benaknya mencari ingatan tentang pertemuannya dengan Neo. ia meringis saat kepalanya mendadak nyeri.

“Kami berkenalan. Itu saja.”

“Oh, baguslah.”

“Lalu kenapa kamu tiba-tiba pergi malam itu?”

Chris terdiam. Kali ini, ia yang dibuat tak berkutik.

“Aku kebelet,” jawab Chris berkilah. “Oh, ya, ada hal yang lebih serius yang ingin kubahas denganmu.”

Lexa mengerutkan dahi. Kali ini, ia tak bisa menahan detak jantung yang membuat dadanya sesak.

“Apa?”

Chris memalingkan wajah. “Tidak sekarang,” ucapnya. “Kau punya waktu nanti malam? Sehabis makan malam.”

Lexa bergumam, kemudian mengiyakan. Chris pergi meninggalkan Lexa berisirahat. Masih ada waktu setengah jam sebelum jam makan siang. Mau tidak mau Chris harus kembali ke kelas dan menghadapi pertanyaan dari gurunya.

Setelah Chris pergi, Lexa didera banyak pertanyaan. apakah ucapan Chris di taman ada kaitannya dengan masalah yang akan mereka bahas nanti malam? Hal itu membuat Lexa resah. Perasaan apa yang dimaksud Chris? Mungkinkah ia juga berpikir bahwa mereka dijebak di tempat itu?

Ya, tentu. Chris tampak kurang nyaman di sana. Seharusnya Lexa memahami itu saat Chris menemuinya di taman. Lexa membulatkan tekad, ia harus berbicara dengan Chris malam ini.


***


Lexa berjalan sendirian menuju ruang makan. Di sana murid-murid lain sudah berbaris mengambil makan siang mereka. Lexa ikut mengantre. Ia melihat beberapa murid yang duduk, tetapi tidak mendapati ketiga temannya di sana.

“Air putih saja,” ucap Lexa saat murid yang bertugas di sana menawarkan teh.

Lexa membawa makanannya ke meja. Namun, ia tidak menyentuh makanannya. Ia hanya meneguk setengah gelas air, kemudian termenung.

“Kamu kenapa, Xa?”

Lexa menoleh pada seorang murid yang duduk di sebelahnya. Lexa bernapas Lega karena Lena ada di sana.

“Gak apa-apa, Na. Cuma gak enak aja makan sendirian di sini.”

Lena mengernyit. “Kan, itu ada banyak orang.”

“Tapi aku gak kenal.”

Lena ingin memprotes, tetapi teringat bahwa Lexa cenderung tertutup dan tidak begitu suka interaksi dengan orang asing.

“Oh, ya, gimana rasanya jadi asisten Cleo?”

Lexa memain-mainkan makanannya dengan sendok. “Kenapa? Pengen jadi asisten juga?”

“Boleh aja kalau di sana ada cowok ganteng.”

Lexa tertawa kecil. “Mana ada, Na. Di sana cuma ada Cleo dan tumpukan buku dan kertas.”

“Gak apa-apa, sih. Cleo, kan, cakep.”

Lexa bergidik. “Astaga, Na. Seleramu kok abang-abang, sih.”

“Emang kenapa? Kan, Cleo cakep, berwibawa. Apalagi kalo senyum,” ucap Lena mendeskripsikan Cleo. “Bohong kalo kamu gak suka senyumnya.”

Dalam hati Lexa membenarkan ucapan Lena. “Tapi, ya, gak sampai tertarik juga, Na. Emang kamu tahu dia umurnya berapa? Tahu-tahu dia punya istri gimana?”

Lena menyuapkan sesendok nasi ke mulut. “Ya, aku cari yang lain. Di kelasku banyak yang cakep juga.”

Lexa teringat pada pembagian kelas sebelumnya.

“Cerita, dong, gimana tadi kamu belajar di kelas Lux?”

Lena mengedikkan bahu. Wajahnya tampak biasa saja. Tidak begitu tertarik membahas kelas itu.

“Gak terlalu asyik, sih. Mungkin karena aku murid baru, jadi agak bingung dengan penjelasan gurunya. Lagian, aku gak paham apa kaitannya belajar cahaya dengan olimpiade nanti. Kita, kan, juara olimpiade kimia, bukan fisika.”

Sejenak Lexa merasakan adanya harapan. Ternyata temannya yang lain juga merasakan adanya kejanggalan. Ia masih punya kesempatan untuk berdiskusi dan membuat rencana melarikan diri.

“Nanti malam kita ketemu sehabis makan malam,” ucapnya. Sorot matanya penuh maksud. “Jangan lupa ajak Reka.”

“Ngapain?”

“Ada yang harus kita bahas.”

***


Mereka berempat berjalan mengendap-endap keluar asrama. Angin meniup wajah mereka dan menyusupkan hawa dingin yang membuat tubuh menggigil. Malam ini terasa lebih dingin dari malam sebelumnya. Saat makan malam, banyak murid yang mengenakan jaket.

Dalam hati Lexa berterima kasih pada ayahnya yang bekeras memasukkan jaket, celana panjang, dan kaos kaki ke tasnya sebelum pergi. Lexa menolak karena rasanya sia-sia membawa benda semacam itu. Namun, Dion memaksanya dengan alasan berjaga-jaga. Naluri orang tua tak pernah salah, batin gadis itu.

“Kurasa di sini aman,” ucap Chris begitu mereka berada cukup jauh dari asrama. Ada beberapa bangunan di sekitar jalan. Namun, semua tampak gelap kecuali atapnya yang memancarkan cahaya.

“Sebenarnnya kita ngapain ke sini?” keluh Reka. “Seharusnya aku menemui Anila dan menembaknya. Tapi Lena malah menarik paksa kerah jaketku.”

Lena menatap bengis pada Reka. Jika bukan karena permintaan Lexa, ia juga enggan berurusan dengan Reka.

“Sudah. kalian bisa membahas itu nanti,” ucap Chris menegaskan. “Kita tidak punya banyak waktu. Seseorang bisa saja melihat kita keluar dari asrama dan membuntuti kita ke sini.”

Lexa mengamati sekitar. Cahaya temaram dari atap bangunan memberi sedikit penerangan bagi mereka.

“Langsung ke intinya aja,” ujar Reka tak sabar. Ia tampak tidak menyukai pertemuan itu.

“Kalian sadar gak kalau tempat ini aneh?” ucap Chris memulai. “Cleo bilang dia membawa kita untuk ikut olimpiade. Tapi, kita malah dibawa ke tempat aneh ini.”

Reka menguap. Wajahnya menununjukkan kebosanan. Lexa dan Lena menyimak setiap ucapan Chris.

“Aku juga mikir gitu, sih. Apalagi kita kan juara olimpiade kimia. Kenapa kita belajar cahaya.”

“Nah, itu dia. Sejak awal aku udah curiga. Apalagi saat kita pemindaian bakat tadi pagi. Aku merasa kita sudah ditipu sama Cleo.”

“Maksudnya ditipu gimana?” tanya Reka.

“Ya, kita tidak benar-benar akan ikut olimpiade. Kita dijebak di tempat ini dan akan dijadikan murid mereka.”

“Chris benar,” ucap Lexa. “Tempat ini terlalu aneh dan membuatku tidak nyaman. Tidak ada tumbuhan apa pun selain jamur di sini.”

“Ya, mungkin saja tempat ini memang hanya ditumbuhi jamur,” ucap Reka. Ia semakin bosan dengan pembahasan itu. “Lagi pula, kalau kita dijebak apa yang akan kita lakukan? Berusaha melawan?” Reka tertawa mengejek.

“Tapi kita gak bisa diam aja,” ucap Lexa geram. Ia tidak habis pikir dengan Reka yang tampak begitu santai. “Bisa saja mereka merencanakan sesuatu yang buruk pada kita.”

“Hal buruk apa?” Reka meninggikan suara. “Udah, deh. Jangan buang-buang waktu sama semua hal bodoh ini. Sebenarnya aku malas sama kamu, Xa. Imajinasi kamu berlebihan banget.”

“Reka, jaga omoganmu!” bentak Chris.

“Emang gitu kenyataanya, kan?”

Chris mengepalkan kedua tangan di sisi tubuhnya. Giginya gemeletuk menahan amarah.

“Udahlah. Kalian udah ngancurin kesempatanku dekat sama Alina.”

Reka bergegas pergi. Keheningan menyusup di antara mereka bertiga. Lena memandangi Chris dan Lexa secara bergantian.

“Aku ngerti perasaan kamu, Xa,” ucap Lena. Ia mengusap punggung Lexa. “Tapi Reka benar. Kita gak bisa ke mana-mana. Di mana pun kita berada sekarang, kita tidak bisa kembali.”

Lexa tidak menjawab. Kepalanya tertunduk saat air mata mulai membasahi pipinya. Lena berdeham, ia mengalihkan pandangan pada Chris yang berjongkok.

“Chris, aku balik duluan, ya. Aku takut ada yang lihat kita di sini.”

Chris tidak menjawab. Lena pergi dalam diam, menjauh dari mereka berdua. Lexa mulai terisak. Dadanya perih mendapat perlakuan tak terduga dari kedua temannya. Di satu sisi mereka benar. Di mana pun mereka berada sekarang, nyaris mustasil untuk kembali. Lexa juga tidak tahu orang-orang seperti apa yang mereka hadapi di sana.

“Xa.”

Lexa berhenti terisak. Sejenak ia diam, kemudian sadar itu suara Chris. Anak laki-laki itu bangkit berdiri. Kedua tangannya terangkat, tetapi kembali jatuh mengantung ke sisi tubuhnya.

“Gak usah pikirin omongan mereka,” ucap Chris. “Aku juga gak nyangka kalau Reka bakal ngomong gitu.”

Tidak ada jawaban. Lexa masih tertunduk memandangi kakinya.

“Kamu jangan khawatir, ya. Nanti kita cari cara buat kabur dari sini,” ujar Chris menenangkan. “Untuk sekarang, kita harus ikut aturan yang ada di sini. Jangan sampai mereka curiga kalau kita bermaksud kabur.”

Lexa mengusap wajah. Rambutnya dikibaskan ke belakang. Ia memaksakan diri untuk tersenyum.

“Iya, Chris. Makasih udah percaya samaku.”

“Gak perlu merasa bersalah, ya, Xa. Kamu berhak atas semua yang kamu rasakan. Takut, khawatir, marah. Itu normal, kok.”

Lexa mengangguk.

“Sekarang kamu balik ke kamar. Usahakan bersikap biasa saja supaya tidak ada yang curiga.”

“Ya. Kamu juga.”

“Oh, ya, sebisa mungkin kamu kumpulin informasi mengenai tempat ini. Aku yakin ada sesuatu di ruangan itu yang bisa membantu kita.”

Lexa mengangguk. “Ya, tentu.”

Mereka berpamitan dan kembali ke kamar masing-masing. Di ujung lain jalan, tempat yang tidak terjangkau lampu dari atap bangunan, seseorang berdiri. Mantel bulunya bergerak-gerak ditiup angin.

“Dia sudah kembali,” ucapnya lirih.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro