BAB 31

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

__

Suara sendok makan beradu dengan piring di ruangan itu. Seperti biasa, ketika tiga orang itu tidak begitu banyak bicara saat makan malam berlangsung. Safa melirik Ilham yang makan dengan tenang. Makanan kakaknya itu sudah hampir habis, sedangkan makanan Safa masih lumayan banyak.

Ilham meletakkan sendok di atas piring, lalu tangannya beralih mengambil gelas yang berisi air mineral dan meminumnya. Kali ini, Safa mulai berani bicara. "Kak?"

Ilham menatapnya. "Apa?"

"Kakak mau ke reuni nanti?"

Kakaknya menggeleng. "Enggak. Gue ada urusan," jawab Ilham sambil berdiri dan segera berjalan ke arah Mama yang duduk di seberang. "Ma, aku pergi dulu." Ilham mencium pipi Mama yang membaut Mama menghela napas.

"Kamu itu, masih suka aja cium pipi Mama. Kenapa nggak duduk-duduk dulu, kamu itu baru selesai makan," kata Mama kesal, tetapi Ilham tetap beranjak dari sana. "Ya udah, hati-hati di jalan!"

"Iya, Ma."

Selama Ilham berjalan dari ruang makan, selama itu juga Safa memerhatikan Ilham sambil berpikir bahwa dia benar-benar akan menerima tawaran Gavin. Lalu, Safa beralih menatap mamanya yang baru selesai minum. "Ma, Gavin ngajakin aku ke reuni bareng. Mama ngizinin nggak?"

"Oh itu. Gavin udah izin ke Mama. Iya, nggak apa-apa. Mama udah kasih tahu dia buat jagain kamu." Mama berdiri dan membereskan piring-piring kotor. "Kamu udah selesai makan tidak?"

Safa menghela napas. "Aku nggak nafsu lagi, Ma."

Mama menggeleng-geleng. Piring yang tadi Safa gunakan Mama ambil. "Nanti Mama makan. Ini, kamu bantu Mama bawa piringnya."

Safa mengangguk. Dia mengambil piring-piring lain, lalu membawanya menuju wastafel.

Terkadang, Safa bertanya-tanya, kapan terakhir Mama menanyakan keberadaan ataupun keadaan Sandi bagaimana. Tetapi, sepertinya Mama tak pernah bertanya mengenai Sandi. Safa lupa, apa mungkin pertama kali Mama dan Sandi bertemu, itu juga menjadi akhir pertemuan mereka? Safa takut, Mama sudah lupa dengan Sandi.

Diliriknya Mama yang sibuk mencuci piring, sedangkan Safa menunggu piring yang sudah selesai Mama sabuni untuk ia bilas. Baru saja Safa membuka mulut, ingin mengobrol apa saja tentang Sandi, tetapi mulutnya kembali tertutup.

"Ma?" Safa menggigit bibir. Dia menatap gelas yang ia bilas sekarang.

"Hem?" Mama berdehem dan meliriknya sekilas. "Kenapa?"

Safa menggeleng-geleng. Dia rasanya malu untuk membahas ini. "Nggak apa-apa kok, Ma."

μη

"Yes, ajeb ajeb.. ajeb ajeb..."

"DIEM NGGAK LO!"

Sebuah bantal telempar tepat mengenai Yayat. Cowok yang sejak tadi mengangguk-angguk sambil mendengarkan musik DJ itu menatap Darwin dengan malas. "Kenapa lo lempar gue? Sewot?"

"Kalian kayak cewek aja. Dikit-dikit teriak-teriak, dikit-dikit lempar-lemparan."

"DIEM!" Darwin dan Yayat bersamaan berteriak menanggapi perkataan Eky.

"Oh Tuhan..." Eky meremas rambutnya jengkel. Tak ingin menatap keduanya, akhirnya dia berpindah tempat sambil membawa laptop dan stik lalu melanjutkan aktivitas bermain playstation.

Tujuh orang itu berkumpul di rumah Yayat. Beberapa saat lalu, Sandi memang datang dari Bandung untuk mengunjungi teman-temannya yang ternyata sedang berkumpul di rumah Yayat. Saat ini Sandi duduk di sofa, memikirkan kapan waktu yang tepat untuk dia mendekati Safa lagi.

Berbeda dari Sandi, yang lain sibuk dengan aktivitas yang mereka suka. Yudi dan Eky bermain PS, Yayat menyetel musik dengan volume keras, Darwin menggambar sebuah bangunan rumah—salah satu tugas kuliahnya yang memang ia sukai—, Radit dan April sesekali mengganggu Darwin yang begitu serius menggambar.

"San?" panggil Radit yang baru saja menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. "Bukannya lo satu kampus sama Gavin? Lo nggak tahu?"

Sandi diam. Tak ingin membahas hal tentang Gavin. Dia masih ingat perkataan Gavin dipertemuan terakhir kali mereka, yang sampai sekarang membuat Sandi penasaran dengan maksud Gavin apa.

Merasa suasana canggung, Yudi mencoba mencari obrolan. "Eh, di kampus gue cewek-ceweknya cantik-cantik, lho," katanya sambil nyengir. "Kalian gimana?"

Darwin mencelutuk, pensil yang tadi ada di tangannya segera ia simpan di atas kasur. "Kalau gue, menor-menor semua. Lipstiknya tebel banget, gilak. Gue nggak suka cewek menor."

"Kalau gue, bajunya ketat-ketat," kata Eky sambil memiringkan badannya, mengikuti arah mobil yang ada di layar laptop. Yudi yang melihat itu terus memberunggut, pasalnya, jarak mereka sangat dekat. Jika saja Eky miring ke kiri dengan semangat, maka kepalanya dan kepala Eky akan berbenturan.

Radit yang mendengar semua itu mengerutkan keningnya. "Masa ciri-ciri cewek yang kalian sebutin, semuanya ada di kampus gue? Ah, nggak bener tuh. Pasti kalian semua bakalan dapetin semua ciri-ciri cewek yang kalian sebutin tadi."

"Iyain aja deh," balas April dengan malas. "San? Dari tadi kok lo diem? Masa gara-gara cewek aja jadi galau gitu."

Sandi menatap April dengan pandangan kesal. "Diem lo!"

"Menurut gue ya, kalau Safa nggak mau diganggu berarti dia udah nggak sayang lagi sama lo," Yudi menambahkan dengan asal. "Setahu gue sih gitu. Cewek mah gitu pokoknya. Nggak tahu kalau Safa gimana orangnya."

"Kalian putus aja," kata Eky, memanas-manasi.

Sedangkan Sandi memutar bola matanya. "Gue juga udah putus kali, udah lama."

Eky menatap Sandi dengan mata menyipit. "Jadi, kalian nggak balikan?"

"Perasaan gue nggak pernah bilang gue balikan sama dia."

"YES! GOL..." teriak Yudi, dia lalu menatap Eky sambil tersenyum semringah. "Mampus lo, Ky. Lo kalah taruhan, ayam goreng jangan lupa traktir gue, ya?"

"Itu tadi gue lagi bicara sama Sandi," balas Eky malas. "Permainannya gagal."

Semuanya kembali berjalan seperti rutinitas sebelumnya. Tak ada lagi pembicaraan tentang cewek maupun tentang Safa dan Sandi. Sandi menatap layar ponselnya yang sudah tertera nama kontak yang masih sama dengan tiga tahun lalu, dengan nomor yang berbeda, tetapi masih dengan pemilik nomor yang sama.

"Udah, kalau mau nelepon dia nggak usah mikir dua kali." Yayat menceletuk, membuat Sandi menurunkan kembali ponselnya itu. "Kalau kangen langsung datengin ke rumahnya aja. Kalau lo udah kangen banget, lo mending telepon dia sekarang." Sayangnya, Sandi tidak mengikuti kedua saran itu.

"Kalau misalkan Safa beneran nggak mau lagi sama lo? Misalnya, nih, dia suka sama cowok lain. Apa yang bakalan lo lakuin? Mundur?" tanya Darwin yang baru saja bosan dengan aktivitas menggambarnya dan memilih untuk mengganggu Sandi.

"Kalau dia memang cinta sama orang lain, ngapain gue harus maksa dia buat jadi milik gue?" tanya Sandi. Dia menghela napas panjang. "Gue bakalan nyerah kalau dia beneran udah berpaling. Kalau dia memang nggak ditakdirin buat gue, ya udah, nggak apa-apa."

"Gue setuju." Yayat tertawa tipis. Dia kemudian menatap Sandi yang membelakanginya. "Lagian, Tuhan udah punya rencana untuk nentuin dengan siapa lo akhirnya nanti," tambahnya.

Sandi mengakui hal itu dalam hati. Jika memang Safa tidak ditakdirkan untuknya, maka dia akan menyerah dan memilih untuk mundur. Dia akan membiarkan Safa mencari kebahagiaannya sendiri. Dan jika Safa benar-benar menemukan kebahagiaannya, barulah Sandi akan mencari kebahagiannya yang lain. Yang jelasnya, kebahagiaannya itu bukanlah Safa lagi, melainkan gadis lain. Jika Safa benar-benar akan melupakannya, sebagai seseorang yang pernah ia cintai.

μη

Sudah terhitung beberapa hari terlewati, tibalah saatnya acara Reuni Akbar SMA Angkasa. Keadaan di mana kendaraan-kendaraan memadati bagian depan maupun parkiran sekolah, sudah menjadi hal lumrah ketika ada acara besar-besaran. Walaupun nyatanya ini adalah acara reuni akbar, tetapi alumni yang tidak datang ke acara itu justru lebih banyak dibanding alumni yang datang.

Safa dan Gavin masih berada di loby. Safa menahan Gavin dulu untuk tidak masuk. Sesaat, ia mencari-cari keberadaan Dias, Afni, maupun Nabila. Tak ada tanda-tanda keberadaan tiga orang itu di sana.

"Ayo, Sa!" Gavin menatap Safa yang masih menoleh ke kanan kiri. "Lo nyariin siapa?" tanyanya bingung.

Safa mencari sekali lagi. Pasalnya, dia dan Nabila sudah janjian di tempat itu. Melihat Gavin yang sepertinya sudah ingin kembali melangkahkan kakinya, Safa memilih mengikut. Sambil berjalan di samping Gavin, dia mengambil ponselnya dari dalam tas dan segera mengirimkan Nabila pesan.

Gue ada di halaman.

Beberapa saat setelah pesan itu terkirim, dia dan Gavin berhenti di antara ramainya orang di halaman itu. Safa merutuki orang-orang yang mengatur acara ini di malam hari dan di tempat terbuka, sudah seperti pesta saja. Walaupun tempat itu sangat terang untuk ukuran tempat di outdoor, tetap saja ini malam.

"Eh, gue ke temen-temen gue dulu. Lo mau ikut?" tanya Gavin sambil menunjuk teman-teman yang dia maksud. Saat itu juga Safa mengikuti arah telunjuk Gavin. Di balik kacamata minusnya, Safa menyipitkan mata. Dia bisa melihat dengan jelas sekumpulan laki-laki yang berada tak jauh darinya. Dia kenal mereka, terlebih saat arah pandang Safa tertuju pada satu orang yang membuat jantungnya berdegup kencang. Bukan karena dia kaget saat melihat Sandi, tetapi dia gugup karena berada dekat dengan Sandi lagi. Besar kemungkinan mereka akan saling pandang.

Safa sadar, Gavin tadi menunjuk ke arah gerombolan itu. "Lo..." Safa menggantungkan kalimatnya, membuat Gavin yang memang sejak tadi menatapnya—menunggu jawaban—kini mengangkat sebelah alis. "Lo barusan nunjuk mereka? Itu ada Sandi. Lo dan Sandi... temen?"

Gavin tersenyum miring. Dia mengangkat bahu dengan cueknya. Lalu berjalan meninggalkan Safa sendiri.

Safa tak mengikut. Dia hanya melihat Gavin yang terus berjalan ke arah Sandi dan teman-temannya yang lain. Saat Gavin berada di antara mereka, Safa bisa melihat Sandi dan Gavin bertatapan. Gavin mengangkat tengannya dan beberapa detik saat tangan Gavin tak dibalas oleh Sandi, akhirnya Sandi membalas salam itu. Keduanya berangkulan, walaupun sepertinya Sandi malas melakukan hal itu.

Safa tak menduga ini, ternyata Sandi dan Gavin adalah teman akrab.

"Ya ampun, Safa..."

Teriakan itu membuat Safa tersenyum. Tepat saat ia berbalik, Nabila segera memeluknya dengan erat. "Ah, gue kangen," kata Safa sambil membalas pelukan Nabila sama eratnya.

Di belakang Nabila, Dias mencibir pelan. Ada juga Afni yang menatap ke tangan Dias yang sibuk menurunkan dress yang Dias gunakan. "Makanya, kalau pergi ke acara sekolahan jangan pake yang seksi. Salah kostum 'kan lo di sini," kata Afni lalu tertawa pelan.

Safa menatap Dias dan Afni bergantian. "Ih, lo tambah gede aja, As."

"Iya, iya. Gue gede." Dias maju selangkah dan memeluk Safa. "Ahh. Gue kangen. Kangen bangeeet." Dia melepas pelukannya dan menatap Safa. "Masa gue ngajakin Nabila ke rumah lo, dianya malah nggak mau. Kan nyebelin. Padahal lo deket, Nabila aja yang sok bilang jauh. Seminggu sekali ketemuan juga nggak apa-apa."

Safa tertawa pelan. diliriknya Afni yang hanya diam memandangnya dengan Dias. "Lo! Nggak mau peluk nih?"

Afni cemberut. Dia melangkah maju dan segera memeluk Safa dengan erat. "Dari tadi kek," katanya lalu segera melepaskan pelukan.

Safa menatap tiga sahabatnya itu satu per satu. Lalu perhatiannya tertuju pada Dias yang berusaha menurunkan dressnya. Dress yang Dias gunakan begitu pendek, dengan batas hanya pertengahan paha. "Lo kenapa?"

Dias melirik ke kiri dan kanannya. "Risih. Gue awalnya nggak pengen pake ini, tapi setelah gue pikir-pikir, rasanya keren gitu. Tapi, ini kok banyak Bapak-Bapak yang ngelihatin? Gue nggak ikhlas..."

Nabila cekikikan. "Makanya... tapi, banyak sih yang kayak lo. Itu ada gengnya Kak Putri, ada Nadia, ada Novi, pakaiannya seksi."

Dias memutar bola matanya. Dia mendapati Sandi dan yang lainnya sedang berkumpul tak jauh darinya. Dia cemberut melihat laki-laki itu. "Sa? Lo bareng siapa sih ke sini?" tanya Dias heran. "Sama Sandi, ya? Kata Nabila, lo satu kampus dengan Sandi dan belakangan ini deket lagi." Dias senyum-senyum setelah selesai berkata, terlebih dengan kata-kata terakhirnya tadi.

Safa menggeleng pelan. "Enggak. Gue nggak bareng Sandi." Lalu, Safa mengambil napas dan menghembuskannya panjang. "Tapi, bareng Gavin."

"Gavin? Lo bareng Gavin? Kok?" tanya Nabila cepat.

Safa sudah tahu yang lain akan bertanya lebih. Dia memilih untuk bungkam. Sesekali dia melirik ke arah Sandi, tetapi justru dia terperangkap pada tatapan Sandi.

Sandi menatapnya dari sana.

Safa hanya diam ketika melihat Sandi berjalan ke arahnya. Nabila, Dias, maupun Afni ikut menatap arah pandang Safa. Nabila tersenyum kecil, lalu ia memberikan kode kepada Dias dan Afni untuk pergi dari sana.

"Kalian mau ke mana?" tanya Safa cepat. Dia ingin ikut, tetapi Nabila menahannya.

"Kayaknya, Sandi butuh lo. Dia mungkin pengen ngobrol?"

Safa diam. Detik berikutnya Nabila pergi dari sana, begitupun dengan Dias dan Afni.

μη

Gavin tersenyum miring ketika melihat Sandi sudah berjalan ke arah Safa. Ponsel yang ada di saku celananya dia ambil saat terasa bergetar. Dia menatap Darwin dan yang lain sambil mengangkat ponselnya. "Gue ada telepon. Gue angkat dulu," katanya dan mulai melangkah menjauh, tanpa menunggu jawaban dari teman-temannya itu.

"Hallo?" Suara Sarah terdengar di seberang sana. Gavin saat ini menjauh dari keramaian. Dan sedikit merutuki Sarah, kenapa gadis itu harus mengubunginya di waktu seperti ini?

"Kenapa?" tanya Gavin datar.

"Gimana dengan rencana lo? Udah ada waktu? Soalnya, gue mau kasih saran. Ini pas banget buat Safa. Jadi, lo laksanain rencana lo lusa. Gimana?" tanya Sarah. Seperti perkataan Gavin waktu itu, mereka akan melaksanakan rencana itu di saat semuanya sudah lumayan normal. Intinya, tak ada permasalahan yang akan mengganggu suasana nantinya. Sarah juga memikirkan rencana itu mengingat Safa dan Papa sudah bertemu.

"Oke. Boleh, sih. Gimana dengan Rio?"

Sarah menghela napas. Tangannya yang satu mengusap rambut Sintia yang tertidur di pangkuannya. "Gue bakalan minta tolong sama dia."

Gavin tersenyum tipis. "Oke. Setuju. Jadi, fix-nya lusa?"

"Iya, lusa. Ya udah, gue tutup sambungannya."

Gavin menjauhkan ponselnya dari telinga. Dia menatap Sandi yang sudah berdiri di depan Safa, kepalanya lalu menggeleng-geleng pelan sambil menunduk. Tawanya terdengar pelan. "Dasar!"

μη

"Lo bareng Gavin?" tanya Sandi langsung saat ia sudah berdiri di depan Safa.

Safa yang langsung mendapatkan pertanyaan itu hanya bisa diam. Tak ingin berbicara, tetapi kepalanya mengangguk dengan pelan.

"Oh," Sandi menghela napas. Padahal, semalam dia mengirimkan Safa pesan berisi ajakan untuk ke acara ini bersama. Tetapi sayangnya, Safa tak membalas pesannya. Sandi juga sudah mencoba untuk menjauhi Safa, agar memberi ketenangan kepada gadis itu. Tetapi, satu kenyataan yang sepele ini justru membuatnya berpikiran bahwa Safa benar-benar sudah tidak ingin bersamanya lagi.

Safa diam. Dan ketika Safa diam, Sandi akan berpikir bahwa gadis di depannya ini sedang gugup. "Kenapa lo mau aja dianter sama Gavin? Padahal gue bisa bareng lo, Sa. Kita udah lama kenal," kata Sandi. Dia benar-benar kecewa dengan Safa yang memilih untuk pergi dengan laki-laki lain dibanding dirinya. "Kenapa lo nggak bareng Kak Ilham aja?" tanya Sandi lagi.

Safa mengusap lehernya yang terasa kaku karena menunduk sejak tadi. Dipandanginya Sandi dengan raut penuh penyesalan, selain karena Gavin, pesan Sandi yang tidak ia balas tadi malam juga menambah sumber penyesalannya. "Maaf," kata Safa pelan. "Tapi, Kak Ilham nggak ke sini."

Sebenarnya, Sandi percaya Gavin. Tetapi, semenjak pertemuannya lagi dengan Gavin di perpustakaan itu, yang jelas-jelas menunjukkan keinginan untuk mendekati Safa, membuat Sandi merasa Safa harus jauh-jauh dari Gavin. Tetapi, nyatanya dia tidak memastikan hal itu. Gavin justru dekat dengan Safa.

"Apa gue nggak berarti lagi di mata lo?" tanya Sandi pelan. "Gue emang udah ngasih waktu buat lo untuk tenangin diri, tapi sekarang gue butuh penjelasan. Gue butuh kepastian."

Safa hanya diam karena tidak tahu harus mengatakan apa.

"Safa?" panggil Sandi lembut. Dia tahu, sekarang bukan waktu yang tepat untuk membicarakan hal ini. Tetapi dia benar-benar membutuhkan kepastian itu untuk sekarang. Dia tidak suka melihat Safa dekat dengan Gavin. "Lo ada perasaan sama gue?"

Adakalanya, ketika Safa ingin menjawab 'iya', dia malah teringat dengan perasaan Sarah nantinya. Safa menatap tepat ke manik mata Sandi. "Gue... gue belum tahu."

Sandi mendengus pelan. Sesaat mengusap wajahnya, lalu menatap Safa dengan helaan napas panjang. "Gue nyerah. Cuma milikin lo itu rasanya susah, Sa. Lo keras kepala. Sekarang gue nggak tahu isi hati lo yang sebenarnya, tapi kalau lo emang nggak ada perasaan lagi sama gue, oke, gue nggak bisa maksa." Sandi tediam sebentar, kepalanya bergerak mencari teman-teman Safa. Lalu, saat dia menatap Dias, dia menunjuk Safa dengan dagu, seolah-olah memberikan petunjuk agar Dias mendatangi Safa sekarang.

Sandi menatap Safa. Tangannya bergerak menepuk dua kali puncak kepala gadis di depannya itu. "Gue ke yang lain. Sekarang, kalau emang lo nggak punya rasa lagi sama gue, anggap sekarang kita itu temen. Jangan jauhi gue cuma karena status kita udah mantan." Senyum Sandi terukir tipis.

Lalu, Sandi pergi. Meninggalkan Safa yang terdiam mematung. Perkataan Gavin saat di mobil membuatnya menatap Sandi dengan raut penuh penyesalan.

"Percaya atau enggak, lo bakalan nyesel saat orang yang selama ini ngejar lo akhirnya menyerah buat dapetin cinta lo.

Kalau lo bener-bener cinta sama dia, ngapain lo mikir dua kali buat nerima dia?

Kehidupan emang nggak selalu membahas tentang cinta, tapi cinta yang selalu membahas tentang kehidupan. Sekarang dan nanti."

μη


thanks for reading!

love,

sirhayani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro