BAB 32

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

__


Suara berisik dari luar kamar membuat Sandi terbangun dari tidurnya. Dia melirik jam dinding yang menunjukkan sudah lewat pukul tujuh. Dia berdecak pelan. Sejam lagi jadwal kuliah Fisika Matematika, sedangkan dia masih duduk di atas kasur dengan mata yang masih terpejam.

Dia menghela napas panjang. Lagi-lagi ia mengingat Safa. Terakhir mereka bertemu saat di acara reuni. Terlebih ketika dia melihat Safa pulang bersama Gavin. Dia hanya melihat dari jauh dan membiarkan dua orang itu pulang bersama.

Suara berisik kembali terdengar hingga membuat Sandi segera berdiri. Matanya menyipit saat memandangi kenop pintu yang bergerak turun hingga membuat pintu kamarnya terbuka lebar.

Gavin yang membuka pintu kamarnya.

"Dari mana lo tahu rumah gue?" tanya Sandi bingung.

Sedangkan Gavin yang baru saja membiarkan pintu kamar terbuka lebar, kini berjalan mendekati Sandi yang saat ini berdiri di sisi ranjang. "Gue pengen ngasih hadiah buat lo."

Sebelah alis Sandi terangkat. Diperhatikannya Gavin yang mengambil sesuatu dari dalam saku celananya. "Apa?"

"Hadiah. Menarik. Berkesan." Gavin tertawa pelan menertawakan rencana yang menurutnya gila itu. "Lo nggak bakalan ngelupain ini, Sandi."

Sandi menghela napas saat ia melihat Gavin mengangkat benda yang baru saja ia ambil dari saku celana. Sebuah pisau lipat. Sandi mengernyitkan dahinya. Bingung. "Buat apa?"

Gavin tertawa. Dia melangkah semakin mendekati Sandi yang hanya berdiri dengan santai di tempat tadi. "Gue udah bilang tadi." Lalu, Gavin mengarahkan pisau itu tepat di depan wajah Sandi.

μη

"KAK! SAFA UDAH TELAT NIH! CEPETAN!" teriak Safa dari dalam kamar. Dia segera memasukkan buku-buku beserta kertas-kertas yang akan ia pakai untuk praktikum nanti. Gerakannya terburu-buru. Sesekali dia ke meja belajar, sesekali juga dia ke kasur. Dari wajahnya jelas terlihat bahwa dia diburu waktu.

Tetapi, dia tidak mendengar Ilham menjawab perkataannya. Biasanya dia akan menjawab walau hanya satu kata. Baru saja dia ingin berteriak lagi, ponselnya yang ada di dalam tas kini berdering. Dia mengambil kembali ponsel itu dari dalam tas dan menjawab panggilan dari Nabila.

"Woi!"

Safa menghela napas dan tak menggubris teriakan Nabila. Sesekali dia melihat ke arah jam dinding, takut jika saja jarum panjang sudah melewati angka duabelas. Akhirnya, saat semuanya sudah beres, dia beranjak dari kamar menuju ruang tamu. Ponsel itu masih ia tempelkan di telinga, sedangkan Nabila terus-terusan memanggilnya dari seberang sana.

Langkahnya terhenti saat melihat sebuah kertas berisi tulisan yang tertempel di pintu kamarnya. Bahu Safa terkulai lemas saat membaca sebuah memo dari Ilham yang menyuruhnya untuk menunggu sebentar karena kakaknya itu mengantar Mama ke toko bunga dulu.

"Hallo? Safa! Lo denger gue nggak sih?"

Safa memutar bola matanya dengan kesal. "Iya. Dari tadi gue denger kok," jawab Safa sambil menuruni tangga. Saat ini, dia ingin duduk di sofa ruang tamu. Dia juga akan menunggu Ilham di sana. "Lo kenapa?" tanya Safa saambil memakai sepatu yang baru saja dia ambil dari rak.

"Enggak." Nabila tertawa di sana. "Gue ganggu ya?"

"Iya, tadi lo ganggu banget. Gue buru-buru soalnya. Ada kuliah jam delapan. Tapi ujung-ujungnya Kak Ilham juga nganterin Nyokap dulu ke toko."

"Kenapa lo nggak naik taksi aja?" tanya Nabila.

"Gue juga mau banget. Tapi, lo tahu sendiri kalau Kakak gue itu over banget.."

"Gara-gara?"

"Mana gue tahu? Ya, mungkin karena gue adeknya, kali?" Safa mengangkat bahu. "Nab, udah dulu ya? Gue lagi bete nih. Deg-degan karena takut terlambat," kata Safa setelah tadi melihat kembali jam dinding yang ada di ruang tamu.

"Tapi Kak Ilham belum dateng juga, 'kan? Lagian, ada info penting yang pengen gue kasih tahu. Tentang... Sandi."

Safa terdiam ketika mendengar Nabila menyebut nama Sandi. Dia menyandarkan punggungnya di sofa dan menggeleng pelan. "Nggak usah, gue lagi nggak mood, Nab. Jangan bawa-bawa namanya dulu deh. Lo udah tahu sendiri 'kan gimana hubungan gue dengan dia?"

"Lo yakin nggak mau denger? Sandi deket lho sama cewek di sana. Cewek itu alumni tahun ini dan dia itu cantik buang—"

"STOP!" teriak Safa. Dia mengerjap dan menutup mulutnya spontan. Tetapi, Nabila sudah terlanjur menertawainya di sana. "Udah deh, Nab. Gue beneran nggak minat buat bahas ginian."

"Lo yakin? Soalnya Sandi malam itu cerita kalau dia itu cin—"

Safa mematikan sambungan itu. Beberapa detik berlalu, dia baru tersadar dengan kata yang tidak sempat Safa dengar. Kata itu berulang kali muncul di pikiran Safa.

Cinta.

Sepertinya, Safa tidak salah. Tetapi, sudah terlambat. Dia malu jika kembali menelepon Nabila dan menyuruh sahabatnya itu untuk meneruskan kalimatnya tadi.

Tepat saat dia menyimpan ponsel itu di sebelahnya, terdengar deringan yang berasal dari ponselnya. Cepat-cepat dia mengangkat sambungan itu, berharap Nabila lah yang meneleponnya, tetapi harapannya pupus ketika melihat sebuah nomor baru yang tertera di layar. Apalagi saat dia mengangkat sambungan itu dan mendekatkan ponselnya ke telinga, yang terdengar adalah suara laki-laki.

"Hallo? Ini lo, Safa?"

Safa mengernyit. "Iya. Ini siapa, ya?"

"Gue Michael. Temennya Sandi."

Safa tak mendengar suara dengan nada santai, tetapi justru terdengar serak. Seperti suara seseorang yang sudah menangis. "Lo—lo ada perlu apa?" tanya Safa gugup. Dia takut ketika mendengar suara serak Michael karena di pikiran Safa kini, dia menghubung-hubungkan apa yang terjadi pada Michael sekarang ada hubungannya dengan Sandi.

"Gue... gue nggak tahu mau bilang apa ke elo. Tapi, ini bener-bener kabar yang nggak mengenakan. Gue harap lo nggak kaget setelah—"

"Apa? Cepetan bilang! Ini nggak ada hubungannya dengan Sandi, 'kan?" tanya Safa dengan suara pelan. Hampir saja dia menangis jika dia tidak menahan dirinya.

"Sandi di bunuh. Dia sekarang ada di kamarnya. Dan dia udah—"

Safa sudah tidak mendengar lagi apa yang Michael katakan. Seluruh badannya terasa lemas. Ponsel yang ada di tangannya tadi ia simpan dengan pelan di samping. Air matanya jatuh ke pipi dan mengalir dengan derasnya.

"Bohong! Sandi nggak mungkin pergi!" Safa menangis sesenggukan. Dia melempar dengan asal tasnya juga menaruh di sofa kacamata yang sejak tadi ia pakai. Dia tak membawa apa-apa dan nekat memasuki taksi yang ada di depan rumahnya. Bahkan, saat menyebutkan alamat rumah Sandi, Safa sesenggukan. Dia tidak memikirkan, jika saja taksi itu adalah pesanan orang lain. Tetapi, supir taksi yang ditumpanginya hanya diam dan membawanya menuju rumah Sandi.

Jantung Safa terpacu lebih cepat saat melihat gerbang rumah Sandi yang terbuka. Tanpa mengucapkan kata-kata, Safa keluar dari taksi itu dan berlari menuju rumah Sandi.

Pikirannya kalut. Dia sudah tidak memikirkan sekelilingnya lagi dan satu-satunya tujuannya kali ini adalah kamar Sandi.

Dia tidak tahu di mana, tetapi saat mendengar suara orang-orang, perhatiannya tertuju pada kamar yang dekat dengan tangga. Dia berjalan menuju kamar itu dengan langkah pelan, kepalanya tertunduk, takut dengan apa yang ia lihat nanti.

Tetapi, dia sudah berdiri dan memandang dengan jantung yang berdegup kencang seseorang yang terbaring lemah di sana.

Air mata Safa mengalir lebih deras dari sebelumnya. Dia melangkah mendekati Sandi. "Lo kenapa?" Safa menggoyangkan bahu Sandi. Berharap agar Sandi segera bangun dan mengatakan bahwa lelaki itu baru bangun dari tidurnya, tetapi apa yang Safa lihat tak sesuai harapan. Sandi tak bergerak sama sekali.

"Please, bangun, San! Bangun! Gue nggak pernah kepikiran kalau lo kayak gini akhirnya. Please, bangun! Gue mohon, San. Gue mohon."

Michael yang berdiri di dekat pintu menatap Safa dengan khawatir. "Percuma, Sa. Bagaimana pun, sekarang orang yang udah meninggal udah nggak bisa hidup lagi, kecuali mati suri."

Safa makin menangis dia menatap Sandi yang sejak tadi tak bergerak sama sekali. "San, please, bangun! Lo nggak mau ngulang masa-masa kita dulu? Gue kangen elo. Gue cinta sama lo. San, dengerin gue..." Safa mendekatkan dirinya ke arah Sandi dan menangis di bahu laki-laki itu. "Gue sayang lo. Gue cinta lo. Gue pengen lo di sisi gue terus. Gue cuma pengen lo."

Safa tak sadar, ada banyak orang di kamar itu yang ia belakangi. Ia sama sekali tak peduli mereka, walaupun dia tidak tahu siapa saja yang ada di sana. Yang ia inginkan hanya satu: Sandi bangun dari tidurnya.

"San, gue cinta elo," kata Safa lirih. "Bangun... gue mohon." Safa tahu, apa yang ia ucapkan itu tak mungkin terjadi. Tetapi, dia terus-terusan memohon. Pelan, dia mengusap wajah Sandi. Ingatan-ingatan tentang awal pertemuan mereka kembali terputar di ingatannya. Safa menangis lagi. Air matanya mengalir di pipi dan membasahi baju Sandi.

Safa membenamkan wajahnya di bahu Sandi, lagi. "Gue cinta sama lo."

"Empat kali. Akhirnya..."

Safa melotot kaget dan dia refleks berdiri tegak. Dia memandang laki-laki yang terbaring dengan memasang senyum menawan di bawah sana, sambil menyandarkan kepalanya di atas lengan.

"Sandi?" Safa menatap Sandi dengan tatapan horor. "Lo nggak meninggal?"

Sandi tertawa bersamaan dengan suara tawa lain. Safa yang bingung dengan semua ini segera berbalik dan dia makin terkejut ketika melihat teman-teman Sandi yang terus-terusan tertawa dengan puas. Ada Michael, Darwin, Yudi, Eky, April, dan juga Radit. Tak lupa dengan Rio yang masih menatap keadaan di tempat itu sambil tertawa pelan, juga Gavin tentunya.

"Ini maksudnya apa? Kalian bohongin gue?" tanya Safa dengan kesal.

Sandi mengubah posisinya menjadi duduk. Dia bersandar di kepala ranjang sambil menatap Safa yang masih berdiri di dekatnya. "Sebenarnya gue pengen bangun kalau lo selesai bilang cinta yang ketiga kalinya. Tapi, gue nunggu lo bilang cinta lagi. Dan akhirnya... gue nggak sabar lihat tampang kaget lo."

Safa menatap Sandi dengan kesal. "Maksud lo apa sih, San? Jangan main-main sama kematian deh."

"Bukannya lo suka?" Sandi tertawa. "Tadi aja gue dipeluk-peluk. Berasa nggak ikhlas gue bangun."

Seketika, pipi Safa memerah.

"Modus lo, San," teriak Darwin sambil geleng-geleng kepala. "Hebat nih, rencananya Gavin berhasil."

Mendengar nama Gavin, Safa cepat-cepat mencari orang itu. Dia melihat Gavin berdiri sambil bersandar di dinding dan melemparkan tawa mengejek kepada Safa. "Hukuman buat cewek keras kepala kayak lo."

Safa membuang muka, tetapi dia malah bertatapan langsung dengan Sandi.

"Woi! Asem banget. Baju supir taksinya bau ketek," teriak Yayat sambil memasuki kamar Sandi. Safa yang mendengar itu hanya bisa mengerjapkan matanya.

"Jangan bilang yang taksi tadi.. Yayat yang bawa taksinya?" tanya Safa sambil menunjuk Yayat yang memasang raut tak enak, efek memakai baju supir taksi tadi.

Sandi mengangguk lalu dia menatap Safa lekat. "Gimana? Katanya lo mau kita ngulang semuanya dari awal. Gue udah bangun, nih," kata Sandi sambil beranjak dari ranjang. Dia berdiri dan mendekati Safa yang masih berdiri di tempat tadi. "Katanya lo sayang gue, lo cinta gue, dan lo pengen gue di sisi lo. Ini gue udah di sisi lo."

Safa menunduk, tangannya bergerak memukuli dada Sandi secara bertubi. "Gue nggak suka cara lo yang kayak gini. Lo bikin gue khawatir. Gue benci."

Sandi tertawa pelan. "Ini rencana Gavin. Lagian, gue nggak bakalan ngulangin ini. Tapi, lo harus janji, lo nggak bakalan pergi dari gue."

"Gue.. gue..."

"Sarah lagi?" tanya Sandi pelan. "Lo nggak usah mikirin itu. Karena Sarah udah ngikhlasin lo dan gue. Gue tahu perasaan lo gimana, Sarah juga tahu perasaan lo gimana."

Safa menatap Sandi, ingin membalas perkataan cowok di depannya itu, tetapi dia bingung.

Seketika, terdengar suara tepuk tangan diikuti nyanyian lagu Ulang Tahun. Safa mengerjap. Dia menoleh ke ambang pintu dan melihat Sarah berdiri di sana dengan kue ulang tahun yang di atasnya terdapat angka 19.

"Happy birthday Safa. Happy birthday Safa. Happy birthday. Happy birthday. Happy birthday Safa."

Safa menatap semua yang berdiri tak jauh darinya. Sarah yang memegang kue, Mama, Nenek, Dias, Nabila, Inge, dan Afni.

"Selamat ulang tahun," bisik Sandi sambil merangkul Safa.

Nenek yang melihat itu menatap Sandi dengan tatapan melotot. "Masih kecil udah berani pegang-pegang anak orang."

Semua yang ada di ruangan itu tertawa, kecuali Nenek dan Sandi. sandi menggerutu pelan, "Aku bukan anak kecil lagi, tuh."

"Masih kecil," balas Nenek, tak mau kalah.

"Ih, Nenek sama Sandi jangan berantem dulu. Ini kuenya keburu diembat sama Darwin," kata Dias sambil melirik Darwin dengan kesal.

"Kok gue sih yang dibawa-bawa? Wah, efek jauh dari gue tuh. Gimana, As? Lo sayang 'kan sama gue?" tanya Darwin sambil mengedipkan sebelah matanya.

Sedangkan Dias mendelik, "Najis!"

Semuanya tertawa. Sedangkan Sandi menunduk, membisikkan kata-kata kepada Safa, "Gimana? Jadi, lo mau gue tetep ada di sisi lo?"

Safa tersenyum tipis, perlahan dia menatap Sarah yang memandangnya sambil tersenyum. Seolah mengatakan bahwa dia baik-baik saja jika Safa bersama Sandi. "Ya."

"Apa kisah kita udah happy ending?"

"Kayak cerita aja." Safa tertawa. Dia mendongak, untuk menatap Sandi tepat ke manik matanya. "Belum. Sebelum kita berkeluarga, menurut gue ini belum berakhir."

"Jadi, kita berakhir kalau udah berkeluarga?"

"Ya. Karena kita bakalan meninggal. Jadi—"

"Jadi, kita bakalan berakhir sampai maut memisahkan."

"Kata-kata lo kedengaran menggelikan. Ish."

"SANDI! SAFA! Entar aja pacarannya. Ini gue capek megang kue, ish," teriak Sarah dengan kesal.

"By the way, gue geli denger kalian berdua ngomong tadi. Gue denger, lho," kata Dias sambil memutar bola matanya.

Sandi dan Safa saling pandang, kemudian tertawa bersama.

Hari ini, tak akan Safa lupakan.

μη


thanks for reading!

love,

sirhayani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro