BAB 33

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


__

"Buat apa?"

Gavin tertawa. Dia melangkah semakin mendekati Sandi yang hanya berdiri dengan santai di tempat tadi. "Gue udah bilang tadi." Lalu, Gavin mengarahkan pisau itu tepat di depan wajah Sandi.

Sandi mengacak rambut belakangnya, kemudian menatap Gavin dengan malas. "To the point! Lagian, ini kenapa lo bawa-bawa pisau lipat segala?"

"Pufttt..." Gavin menahan tawa, sedangkan Sandi makin kesal menatap Gavin yang menurutnya kurang kerjaan. Gavin menepuk bahu Sandi. "Gue pikir, lo bakalan berpikir kalau gue bakal bunuh lo dengan pisau ini," kata Gavin sambil memutar pisau lipat yang dipegangnya. Dia meringis pelan saat tak sengaja pisau itu menggores jarinya.

"Makanya jangan main pisau." Sandi tertawa mengejek melihat itu. Dia menurunkan tangan Gavin dari bahunya. "Lo ambil obat di dalam lemari itu. Ambil sendiri, gue mau mandi," kata Sandi setelah menunjuk lemari yang berada tak jauh darinya.

Gavin tak menghiraukan itu. Dia menatap Sandi yang baru saja akan memasuki kamar mandi. "Ada yang pengen gue bahas. Tentang rencana buat mancing Safa ngungkapin perasaannya ke elo."

Sandi yang baru saja membuka pintu, segera berbalik untuk menatap Gavin. "Caranya?"

"Lo pura-pura mati. Dan Michael bakalan nelepon Safa buat ke sini. Ini bukannya ulang tahun Safa, 'kan?"

Sandi mengerjap. "Astaga!" Diusapnya wajahnya pelan. "Gue lupa."

"Bukannya lo juga udah nyerah buat dapetin dia? Bego!"

Sandi mengangkat kepalanya, tertawa sambil menatap langit-langit kamar. "Iya juga. Tapi, ide lo boleh dicoba tuh."

"Sarah yang ngasih ide buat kejutan ulang tahun ke Safa."

Sandi tartawa membayangkan kejadian pagi tadi. Tanpa dia sangka, tiba-tiba rencana demi rencana Gavin berlangsung begitu saja. Tetapi, dia bersyukur dengan semua rencana sahabatnya itu. Saat Gavin dengan kemisteriusannya ingin masuk ke dalam hidup Safa dan Sandi, Sandi pikir Gavin punya rencana busuk yang justru memperparah keadaan. Ternyata tidak.

Saat ini, Sandi bersandar di pintu balkon sambil menatap langit malam. Sedangkan Rio dan Gavin bersandar di pagar balkon. Ketiganya masih diam, belum ada yang saling bicara semenjak Sandi memilih untuk bersantai di sana. Darwin dan yang lainnya sedang memainkan PS4 Sandi, seperti biasa, mereka berebutan.

Malam ini, Darwin dan yang lainnya akan tinggal di rumah Sandi. Gavin dan Rio memilih untuk pulang jika malam sudah larut. Rio sendiri bingung, kenapa dia bisa ada di sini, sedangkan urusannya dengan Sandi sebenarnya tak ada sama sekali.

Kecuali tentang perasaan terhadap satu orang.

Dan di sini, dia yang menjadi pihak yang menyerah.

"Gue pikir, lo beneran pengen bunuh gue."

Perkataan Sandi membuat Gavin merasa tersindir. Dia tertawa, lalu menatap Sandi yang juga sedang tertawa. "Gue masih punya hati. Lagian, lo masih berstatus sahabat gue."

Mendengar itu, membuat Rio menatap keduanya bergantian. Dia mendengus setelahnya sambil menatap entah apa saja yang menurutnya menarik untuk dilihat.

"Apa lo masih sayang sama Mawar?"

Gavin menghela napas pelan. "Sayang. Tapi, nggak mungkin juga 'kan gue fokusnya ke cewek yang nyatanya udah nggak ada?" tanya Gavin, tanpa melihat Sandi sama sekali.

Benar kata Gavin, Sandi membenarkan itu dalam hati.

Sedangkan Rio kini menegakkan tubuhnya. Sedikit meregangkan otot lehernya, dia menatap Gavin dan Sandi bergantian. "Kayaknya gue udah harus pulang."

"Oh, oke," Sandi menghampiri Rio lalu menepuk pundaknya pelan. "Thanks, lo selama ini yang jagain Safa ternyata."

Rio menghela napas panjang. "Nggak masalah. Gue pergi, San, Vin."

Gavin mengangguk, begitupun dengan Sandi. "Hati-hati," teriak Sandi setelah melihat Rio keluar dari kamarnya.

Sarah sudah bercerita tadi, ketika keduanya menghindar dari keramaian. Safa bercerita tentang Rio. Bagaimana laki-laki itu menjaga Safa dari laki-laki lain yang mendekatinya di kampus, bagaimana laki-laki itu menjaga Safa dari jauh, memberi perhatian lebih layaknya seorang kekasih, tetapi justru Sandi merasa sangat berterimakasih kepada Rio, jika bukan karena Rio, mungkin Safa akan dekat dengan laki-laki lain. Tetapi tak sampai di situ yang diceritakan Sarah, Sarah juga bercerita mengenai Safa yang tidak ingin dekat dengan laki-laki manapun. Dan itu artinya, Safa memang selalu menunggu Sandi.

"Jadi, siapa cewek pengganti Mawar?" tanya Sandi sambil menyandar di pagar balkon, tepat di samping Gavin. Keduanya menatap langit.

Gavin hanya mengangkat bahunya. "Mana gue tahu?" Dia kemudian tertawa. "Ngomong-ngomong, dia lucu kalau lagi marah."

Refleks, Sandi menatap Gavin dengan mata menyipit. Kalau yang dimaksud Gavin adalah Safa, Sandi tak akan tanggung-tanggung menjitak kepala Gavin. "Dia siapa?"

"Sarah."

Satu nama itu nyaris membuat Sandi terbahak. Laki-laki itu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tertawa pelan. "Ternyata Sarah...," kata Sandi dengan intonasi lambat.

Gavin yang mendengar itu hanya terkekeh pelan. "Kalau cowok suka lihat cewek marah, belum tentu dia suka sama cewek itu."

"Iya, iya, gue tahu," balas Sandi sambil mengetikkan sebuah pesan di layar ponselnya.

Woi! Salamnya Gavin, katanya.

"ASTAGA!" teriakan itu membuat Gavin dan Sandi menoleh ke belakang. Mereka melihat Yayat berdiri dengan tangan kiri yang menarik rambut dan tangan kanan yang memegang ponsel.

"Lo kenapa?" tanya Sandi bingung.

Sedangkan Yayat berdecak kesal. Dia menatap Gavin dengan wajah sangarnya. "Eh! Gara-gara lo yang maksa gue ke sini, dosen killer gue tadi ngadain kuliah mendadak. Dan lo tahu apa? Dosen killer itu bikin kontrak kuliah di awal, kalau sampai ada satu SKS aja yang mahasiswa lewati tanpa keterangan, itu artinya harus mengulang tahun depan."

"Bagus dong!" teriak Gavin. "Lo bakalan sekelas sama junior, terus bisa lo pedekatein tuh cewek yang cantik."

"DIEM LO!" teriak Yayat kesal.

Gavin dan Sandi tertawa. Keduanya beradu tos ria.

μη

Woi! Salamnya Gavin, katanya.

"Ish."

"Lo kenapa?" tanya Safa bingung sambil memandang ponsel yang ada di tangan Sarah.

"Cowok lo ngeselin parah," jawab Sarah dengan muka bete.

Safa tersenyum tipis. Karena bosan suasana hening kembali terasa, Safa kembali menghitung bintang di langit. Hanya untuk mengisi waktu dari keterdiaman di antaranya dan Sarah. Dua gadis itu saat ini memang berada di balkon kamar Safa. Malam ini Sarah memang berniat untuk bermalam di rumah Safa. Sebenarnya, Safa juga yang menahannya untuk tidak pulang, sekaligus mengisi waktu dengan Nabila, Inge, Dias, dan juga Afni. Sayangnya, Dias dan Afni sudah tidur duluan, sedangkan Nabila saat ini mengintrogasi Inge habis-habisan. Tentunya tentang Ilham.

"Gimana keadaan Papa?" tanya Safa dengan suara pelan.

Mendengar pertanyaan Safa tadi membuat Sarah tersenyum tipis. "Baik kok. Dia selalu nanyain keadaan lo juga," kata Sarah pelan. Dari rautnya, dia merasa cemburu setiap kali mengingat Papa menanyakan keberadaan Safa. Tapi, dia selalu menguatkan hatinya, dengan selalu mengucapkan kalimat dalam hatinya bahwa semua orang berhak bahagia. "Oh iya, Papa juga bilang kalau Papa bakalan pelan-pelan datengin Nyokap lo. Papa udah ada rencana setelah bicara dengan Nyokap gue. Tapi, Papa belum mau kasih tahu kita."

"Mungkin masih rahasia. Atau enggak, ini urusan orangtua."

"Mungkin."

Setelah itu, Safa dan Sarah kembali diam. Mereka sibuk dengan pemikiran masing-masing. Pelan, Safa menatap langit lagi dan mencari bintang yang paling terang di sana.

Safa ingin membidik langit dengan kamera ponselnya, tetapi sebuah pesan masuk membuat Safa mengurungkan niat itu. Dia membaca pesan itu sambil tersenyum tipis.

Lo lihat bulan nggak?

Dengan lincah, Safa membalasnya.

Enggak, nih. Udah ya, gue mau tidur. Bye.

Safa sengaja. Dia pikir, mengerjai Sandi rasanya lucu juga.

Sa? Jangan dooong! Padahal gue pengen ngegombal nih.

"Basi!"

"Apa, Sa?" tanya Sarah bingung. Safa menggeleng pelan sambil tersenyum. Sarah tahu Safa tersenyum karena apa. "Yey, dasar! Bagi-bagi kebahagiaan lo kek," kata Sarah sambil menyenggol bahu Safa pelan. "Nggak berasa ya, semua udah lewat. Rasanya singkat banget." Sarah menghela napas panjang.

Safa ikut menghela napas. "Iya, rasanya udah lewat gitu aja. Kalau misalkan kejadian tadi nggak ada, mungkin sekarang gue masih kayak kemarin-kemarin. Pasrah sama keadaan."

"Iya, lo malah suka pasrah sama keadaan. Sekali-kali cewek yang berjuang, itu kayaknya lebih menarik deh."

Safa menaikkan kedua alisnya. "Berjuang untuk apa?"

"Berjuang buat dapetin cinta dari orang yang dicintai."

Bibir Safa maju sesenti. "Yakali. Tapi... boleh juga tuh. Ngomong-ngomong, gue ngantuk nih. Gue ke kamar Nyokap gue dulu, ya? Ada yang pengen gue bahas sama Nyokap.

"Tentang Papa?" tanya Sarah sebelum Safa beranjak dari sana.

Safa mengangguk. "Iya," jawabnya yang membuat Sarah tersenyum semringah. Dia menatap kepergian Safa dari balkon, kemudian menatap langit malam untu yang kesekian kalinya.

Rasanya baru kemarin dia dan Safa bertemu, dan sekarang sudah banyak kejadian yang mereka lewati. Sarah menunduk, mengingat kembali semua itu membuatnya selalu dibayangi oleh kedekatannya dengan Sandi.

Kalau boleh jujur, dia masih mempunyai rasa terhadap Sandi. Tetapi, dia tahu, siapa yang pantas mengalah dan siapa yang pantas bertahan.

Kali ini, dia merasa bahwa yang pantas untuk mengalah adalah dirinya sendiri.

μη

"Ma?" panggilan dari Safa membuat wanita paruh baya yang baru saja berusaha memejamkan mata kini menatap anaknya dengan tatapan lembut. Kedua tangannya terbuka, bersiap menerima Safa masuk ke dalam pelukannya. Dan ketika anaknya itu sudah masuk ke dalam pelukannya, dia akan memeluk dengan sayang. Memberikan kasih sayang layaknya seorang Ibu terhadap anaknya.

"Kenapa?" tanya Mama sambil mengusap rambut Safa pelan. "Ada masalah?"

Safa menggeleng. Dia makin mendekat dan menyandarkan kepalanya di bahu Mama. "Ada yang pengen aku bilang."

"Apa?"

Safa menggigit bibir. Dia tahu pembahasan kali ini akan membuat Mama sakit hati. Tetapi, Safa belum tahu dengan reaksi Mama ketika dia menyuruh Mama untuk menuruti keinginannya.

"Kalau misalkan Papa ke rumah dan pengen balik ke keluarga ini, Mama ikhlas?"

Safa tak mendengar perkataan Mama. Tetapi, elusan di rambutnya masih terasa. "Mama nggak bisa."

Safa mendongak, ia menatap mata Mama lekat. "Kalau misalkan ini demi Safa, Mama mau?"

Mama masih diam. Pembahasan kali ini memang tak bisa Mama bahas.

"Ma, jawab yang jujur." Safa menatap tepat ke manik mata Mama. "Apa Mama masih sayang sama Papa?"

Mama seperti tersentak akan pertanyaan itu, tetapi kali ini dia membiarkan dirinya untuk menjawab pertanyaan Safa sesuai dengan apa yang dirasakannya hingga saat ini. "Kalau misalkan Mama bilang kalau Mama masih sayang sama papamu, kamu percaya?"

Safa menahan tangis harunya. Safa tak menyangka ini. "Percaya, Ma. Percaya banget," jawabnya sambil menangis. "Safa sayang Mama sama Papa."

Dipeluknya sang Mama erat-erat. Malam ini, Safaingin mencurahkan semua isi hatinya yang selama ini hanya dia pendam selamabertahun–tahun, hanya seorang diri.

μη


thanks for reading!

love,

sirhayani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro