Membungkuk

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Imron menyantap sarapan paginya dengan lahap. Kebetulan pagi ini Ibunya--Jian menyiapkan makanan kesukaan Imron.

"Gimana kamu suka sama masakan Ibu? " tanya Jian.

Imron mengangguk sembari terus mengunyah makanannya sampai habis.

Sedari tadi jujur Jihan memperhatikan badan anaknya yang semakin membungkuk. Ada yang aneh dengan tubuh anaknya itu. Tadi malam, tubuh Imron belum membungkuk seperti sekarang ini.

"Ron, kamu nggak apa, kan? " tanya Jihan menyelidik, sambil terus memandangi bentuk punggung anaknya itu.

"Ada apa, Bu? " Imron menaikkan sebelah alis, bingung dengan maksud perkataan Ibunya yang tiba-tiba berkata demikian.

Jihan menghampiri Imron dan melihat punggung anaknya dari dekat. Benar saja, tubuh Imron membungkuk tidak seperti biasanya. "Kok badan kamu jadi bungkuk gini, Ron? " tanyanya.

Imron segera memegangi punggungnya. Benar kata Ibunya kalau badannya agak membungkuk. Tak mau membuat khawatir Ibunya, Imron mengelak perkataan Ibunya. "Itu perasaan ibu aja. Aku ora opo-opo."

Jihan memandang anaknya tidak percaya dan menggeleng. "Opo sik mbok sembunyike nang ibu, Le? " tanya Jihan kembali ke tempat duduk. (Apa yang kamu sembunyikan dari Ibu, Nak)

Imron berdiri dan menenteng tasnya keluar dari rumah. Imron enggan menanggapi perkataan Jihan--Ibunya, lebih baik Imron segera berangkat kuliah.

"Kamu mau kuliah, Nak? " tanya Jihan.

Imron menghela napas dan membalikkan badan. "Iya, Bu."

Untuk menghindari perkataan Ibunya lagi, Imron langsung menuju motor dan berlalu saja meninggalkan Ibunya yang masih termangu di depan pintu. Imron terus melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi. Imron merasa badannya semakin berat, tapi masih berusaha dia tahan.

"Badan gue kenapa tambah berat, ya? " Imron mengangkat bahu ke atas. Tak berselang lama, Imron sampai kampus dan cowok itu memarkirkan motor di parkiran. Imron segera menuju kelas yang tak jauh dari parkiran. Saat Imron masuk kelas, Rival sudah menghadangnya.

"Badan lo kenapa Ron, bungkuk gitu?" tanya Rival menyelidik.

Imron hanya mengangkat bahu acuh dan duduk di tempat duduk. Tak berhenti sampai di situ, Rival membuntuti cowok itu di tempat duduk. Lagi-lagi Imron hanya bisa menghela napas kasar dan berkata. "Lo mau ngapain?"

"Nggak, Ron, gue nanya serius, badan lo kenapa bungkuk gitu?" tanya Rival.

"Gue juga nggak tahu, Val," jawabnya. "Bener ya badan gue bungkuk nggak seperti biasanya? Ibu gue tadi juga bilang gitu."

Rival mengangguk. "Gue nggak bohong, Ron. Badan lo berasa berat gitu, nggak?"

Imron menggerakkan pinggulnya dan mengangkatnya ke atas. Ya, badannya terasa semakin berat. Imron menganggukkan kepala pada Rival.

"Jangan-jangan arwah temen lo ngegendongin badan lo." Rival menjentikkan jari.

"Asal bicara lo!" seru Imron tak terima dengan perkataan Rival. "Buktinya apa?"

"Ya gue nggak ada bukti, Ron. Kalau menurut gue sih, gitu, ya. Gue udah nggak pernah digangguin arwah temen lo lagi, semenjak gue pakai kalung dari Mbah Dukun itu. Lo nggak mau ke dukun biar lo terbebas dari arwah temen lo itu?"

"Namanya Vega bukan temen lo!"

"Ya, itu sama aja, Ron." Rival melayangkan tangan kanannya ke udara dan menepuk bahu Imron erat. "Kenapa dia gangguin kita semua, Ron?"

"Gue nggak tahu." Imron berbohong, padahal dia tahu penyebabnya adalah dirinya. "Dia gangguin kita semua karena mungkin dia mau ngajak mati salah satu dari kita kali."

Rival tak percaya dengan perkataan Imron. Rival yakin semua yang terjadi setelah kematian Vega pasti ada sebabnya. Tidak mungkin kalau Vega gentayangan tidak ada maksud tertentu. Rival mengangguk, dan dia harus segera tahu penyebabnya. "Barang kali gitu, Ron."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro