Terkejut

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

  Rival dan Sakti kembali mengunjungi rumah Vega untuk menguak apa yang sebenarnya terjadi. Sakti mengetuk pintu rumah Vega dan beberapa saat Ratu, ibu Vega membuka pintu itu.

   "Ada apa, ya?" tanyanya ramah.

Rival dan Sakti beradu pandang, memikirkan cara yang tepat supaya bisa masuk ke kamar Vega untuk mencari info yang dapat dijadikan alasan kenapa selama ini teman-temannya selalu dihantui arwah Vega.

 "Maaf sebelumnya, Bu. Saya dan Rival mau mengambil buku catatan yang pernah Vega pinjam, tapi belum dikembalikan," ucap Sakti berbohong.

 Jujur sebenarnya cowok itu tidak mau membohongi seorang wanita paruh baya temannya itu, tapi apa daya, tidak ada alasan klasik lain yang bisa dilakukan oleh Rival.

 Ratu mengangguk dan mempersilakan kedua orang itu masuk.

  "Itu kamar Vega," tunjuk Ratu, menunjuk sebuah kamar yang berada di samping ruang tamu.

 "Kami boleh masuk?" tanya Rival, berusaha untuk tetap tenang supaya ucapan Sakti yang berbohong tidak terbongkar.

Ratu mengangguk. "Silakan saja."

 Rival sedikit mendorong tubuh Sakti menuju kamar Vega. Sakti sedikir ragu, aura merinding sudah dirasakan oleh cowok itu.

    "Ayo masuk, tunggu apalagi?"

Sakti menghela napas panjang, berusaha menormalkan pikiran yang mulai kacau. Dengan mantap, Sakti dan  Rival memasuki kamar Vega.

Sakti menuju ke meja belajar Vega yang di meja itu tersusun buku-buku yang masih ditumpuk rapi. Sakti mulai mencari bukti-bukti apa saja yang bisa mengungkap sebab kematian Vega sebenarnya. Saat Sakti memilah-milah buku yang di atas meja, Sakti tidak sengaja menemukan buku diary milik Vega. Segera, Sakti memanggil Rival dan Rival langsung menghampiri Sakti.

  "Itu apa, Sak?" tanya Rival, penasaran.

Tanpa berkata, Sakti membuka buku diary itu dengan kunci yang memang ada di buku diary itu.

Satu persatu halaman buku itu dibuka. Mulai dari halaman awal sampai halaman terakhir buku itu ditulis.

 Tertulis tanggal 17 Juni 2018 tepat satu hari  sebelum kematian Vega. Vega menuliskan:

Gue harap persahabatan kita selamanya. Sehidup dan semati. Lo udah janji sama gue, Ron, kalau misalnya gue meninggal duluan, gue bakal jemput lo buat nyusul gue, biar kita tetap sama-sama.

Rival dan Sakti yang membaca diary itu langsung kaget bukan main. Akhirnya mereka paham kenapa selama ini arwah Vega selalu menghantui mereka semua. Ternyata Vega hanya mengajak mati Imron selama ini.

 "Jadi?" Sakti sudah mulai paham dengan apa yang terjadi.

Rival mengangguk dan terlihat shock dengan apa yang ditulis Vega di dalam buku diarynya.

 "Kita harus bawa buku ini ke Imron, Sak!" seru Rival sambil memasukkan buku itu ke dalam tas yang dibawanya.

 Sakti mengangguk. "Kita harus cepat pergi dari sini, Val, perasaan gue nggak enak."

Sesudah Sakti berucap, entah apa yang terjadi, barang-barang di kamar Vega terbang ke atas dan jatuh ke lantai membuat kamar itu menjadi berantakan. Tak berselang lama, muncul arwah Vega dengan wajah yang lebih menyeramkan lagi dari biasanya. Terlihat wajah Vega semakin rusak, dan berjalannya terseok-seok.

   "Mau lo apa, Ga?" tanya Rival dengan perasaan takut.

  "Gue mau Imron mati!" arwah Vega tetap berjalan dengan kondisi kaki terseret.

 "Imron itu sahabat lo, biarin dia tetap hidup, Ga! seru  Sakti.

 "Janji tetaplah janji." 

Setelah berkata, Vega hilang begitu saja.

 "Sekarang kita harus gimana, Val?"  tanya Sakti. Dia merasa kasihan dengan Imron yang nyawanya terancam karena janji terhadap sahabatnya itu.

  "Kita harus cari cara buat mutusin janji semati itu, Sak!"

 "Gimana caranya?"

  "Nanti gue pikirin, yang penting kita sekarang keluar dari kamar ini."

Sakti dan Rival akhirnya keluar dari kamar Vega dan berpamitan dengan ibu Vega.

   "Bu, saya pamit," ucap Sakti dan Rival bersamaan.

  "Sudah ketemu bukunya, Nak?"

Keduanya mengangguk dan menjabat tangan Ratu, berlalu meninggalkan rumah Vega yang mencekam.

 
 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro