🏩 | Bagian Empat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bagian Empat
~~~🏩🏥~~~

Setelah pulang dari kafe Azkiya langsung membersihkan tubuh yang kegerahan akibat berkerja seharian. Sungguh, bekerja di Suittelova bukanlah hal yang mudah, ia harus selalu tersenyum ramah, berperilaku sebaik-baik mungkin, menahan rasa kesal jika bertemu dengan guest yang keras kepala atau yang sombongnya bikin Azkiya banyak-banyak meningkat dosa.

Tentu saja hidup di dunia perhotelan membuat Azkiya banyak belajar hal, dari mengontrol emosi, saling beramah tamah, menghargai, respect, dan hal-hal baik hingga menjengkelkan. Pelajaran hidup yang belum bisa ia temukan selama hidup jika tidak bekerja di hotel.

Lima belas menit di dalam kamar mandi, wanita bergelar S.A.P alias sarjana Administrasi Perkantoran itu menggosok rambut dengan handuk kecil setelah memakai pakaian tidur bergambar boneka beruang, dan keluar dari sana.

Kamar mandi di rumah keluarga Azkiya memang hanya ada satu, dan dipakai untuk semua penghuni rumah ini, atau setiap orang datang ke rumah mereka, letaknya berada sedikit di depan rumah.

Azkiya melirik seorang pria berambut sepanjang leher yang berjalan keluar dari dapur, wajah yang lebih tirus dibandingkan Azkiya, bibir tipis dan mata yang mirip seperti burung hantu dengan tinggi badan yang menjulang tinggi. Namanya Wahyu, adik bungsu Azkiya yang masih duduk di bangku perkuliahan semester akhir dan mengambil jurusan teknik mesin. Beberapa Minggu ini, Wahyu memang jarang di rumah karena sibuk di indekos bersama bahan-bahan skripsinya.

“Udah ketemu calon belum? Adikmu itu udah mau nikah, kasian dia,” seru Wahyu yang sibuk di depan kompor, memasukkan bumbu mie ke dalam panci yang sudah terisi mie dan sosis.

Azkiya menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk tidak darah tinggi dan melemparkan kata-kata mutiara. Inilah benefit yang Azkiya dapatkan setelah bekerja di hotel, memiliki kesabaran. “Ini lagi dicari abang.”

Wanita itu berjalan ke arah kulkas, membuka benda itu dan mencari-cari botol yang berisikan air dingin, ia butuh sesuatu yang sehat agar menetralkan panas dalam dirinya.

“Jangan lama-lama, Kak. Kami tunggu kabar baik dari kau.” Wahyu menyahut beberapa saat setelah mereka sama-sama terdiam. Ekor mata Azkiya bisa dengan jelas melihat Wahyu tengah menuangkan mie dalam mangkok. Ia sama sekali tidak ingin membalas ucapan Wahyu. Kemudian Wahyu berlalu dari hadapan sang kakak, masuk ke dalam kamarnya bersama semangkok mie instan dan kopi susu.

Terdengar kembali suara dengkusan kesal yang keluar dari bibir Azkiya. Tidak terhitung sudah berapa ratus kali ia menghembuskan napas selama beberapa hari belakangan ini. Semua orang seakan memaksakan terus menerus untuk mendapatkan suami, mendorong Azkiya seakan-akan tahun depan wanita itu monopouse sehingga tidak bisa menghasilkan banyak keturunan layaknya tim sepakbola! Sedangkan ia sendiri belum punya dan belum siap membina rumah tangga bersama pria, Azkiya masih nyaman dengan statusnya yang yang sekarang.

Ck! Manusia dengan peraturan yang menyiksa kaumnya sendiri. Aneh!

Jika Azkiya adalah wanita yang tidak menyayangi keluarganya, sudah dipastikan Azkiya akan minggat dari rumah sejak satu tahun yang lalu atau lima tahun yang lalu sejak pertama kali kata-kata laknat itu dilontarkan orang-orang. Namun wanita itu masih mencintai semua anggota keluarganya. Jadilah ia cuma bisa bersabar sembari menaati peraturan serta perintah para tertua di keluarga ini, seperti sekarang.

Langkah gontai membawa Azkiya berjalan masuk ke kamar, tidak lupa menutup dan mengunci pintu dengan perasaan campur aduk.

Apa lebih baik Azkiya mengambil tawaran Gibran? Jika dipikir-pikir lagi, tidak ada kekurangan yang dimiliki pria itu di depan keluarganya, atau di depan orang-orang yang hobinya mengatai ia perawan tua. Padahal Azkiya sudah tahu, sangat mengenal Gibran dengan segala kekurangannya. Mana ada orang sempurna di dunia ini?

Masalahnya kini adalah, Azkiya takut jika nantinya ia benar-benar jatuh cinta lagi kepada Gibran. Demi Tuhan! Azkiya sekarang pun tidak tahu apakah ia tidak mencintai Gibran!

Namun tidak ada pilihan lain, jikalau ada, memilih Gibran sebagai suaminya adalah hal terbaik yang bisa dilakukan Azkiya, dibandingkan bersama pria random yang tidak dikenal.

Maaf-maaf saja, Azkiya tidak mau menambah masalah di kehidupannya lagi. Sudah cukup ia hidup penuh dengan drama, jangan ditambah lagi dengan hal-hal yang berkemungkinan besar membuat ia berubah menjadi Ghoul atau monster.

🏩🏥🏩

Aktivitas Azkiya masih sama seperti hari sebelumnya, ia datang ke hotel jam 6 pagi lewat 15 dengan pakaian casual. Setibanya di hotel, ia langsung menaruh tas di loker, kemudian pergi linen untuk mengambil uniform yang telah diberi nama pada bagian belakang kerah baju. Di linen ia menyapa ramah para pekerja yang semuanya adalah pria perkasa merunut Azkiya. Kemudian kembali lagi ke loker untuk membenahi diri sebelum pergi ke tempat tugas.

Maka di sinilah Azkiya yang sudah rapi dengan setelan kerjanya; seragam model sederhana dan simpel. Motif yang digunakan polos saja dan menambahkan sedikit kombinasi motif di penutup kancing. Meskipun sederhana, seragam ini menggunakan kombinasi di bagian kera yang menambah elegan karyawan yang menggunakannya.

Azkiya mendapatkan shift pagi untuk hari Selasa dan Rabu, lalu Shift malam untuk hari Senin, Sabtu, dan Minggu, dan Rabu untuk malam. Setibanya di sana, ia saling bertukar sapa dengan petugas sebelumnya, lalu singkat cerita sekarang wanita itu sedang membaca dan memeriksa log book.

Satu, ada keluhan dari kamar 205 untuk membenarkan AC di kamarnya yang sedikit berisik. Dua, guest yang meminta pindah kamar dari lantai 302 menjadi 201. Di shift sebelumnya juga terdapat beberapa guest baru yang datang, dan juga akan ada gerombolan tamu yang akan datang dari kota seberang, dan masih banyak lagi.

Drtttt Drtttt Drtttt.

Azkiya melirik ponselnya yang berada di samping meja tempatnya bekerja.

Pack DogTear:
Mau saya jemput
lagi pas pulang?

Azkiya Sara:
Boleh. Sekalian kita bahasa
tawaran kemarin.

Setelah itu ada lagi obrolan yang terjadi diantara keduanya karena kesibukan yang harus mereka jalani. Lagi pula di Suittelova para pekerja tidak boleh lama-lama memegang ponsel, jika melanggar maka ada sangsi SP 1, dan Azkiya sama sekali tidak tertarik dengan apapun yang membuat karirnya ini hancur, ia masih butuh uang untuk makan dan membeli beberapa hal yang memanjakan diri. Sedangkan Azkiya yakin, saat ini Gibran sedang merawat pasien-pasien di RS.

🏩🏥🏩

Gibran baru saja menyelesaikan tugas pertamanya di hari ini, yaitu visite pasien-pasiennya di kamar ruang inap di rumah sakit Hospitalova.

Beberapa pasien yang ditangani memang tidak jauh dari Diabetes Melitus, TBC, Malnutrisi dan masih ada beberapa lagi.

Sehabis visite, Gibran lanjut bekerja lagi di instalasi rawat jalan yaitu poliklinik penyakit dalam atau yang lebih tepat adalah ia bekerja di klinik Penyakit Dalam Umum. Di sana ia kembali mendapatkan beberapa pasien yang sebagian ia rujuk ke Dokter Bedah, dan beberapa ke Dokter Konsultan atau yang memiliki profesi sub spesialisasi yang lebih spesifik lagi dalam menangani kasus pasien.

Gibran sedang berada di dalam ruang kerjanya. Ia termenung untuk sesaat, mengingat bahwa menjadi dokter adalah pilihan kedua orang tua Gibran. Jika bisa diibaratkan, ia adalah darah murni dari dua orang dokter yang ingin anaknya melanjutkan karir mereka. Namun walaupun Dokter bukanlah impiannya yang sesungguhnya, Gibran tetap bahagia menjalani tugas dan tanggung jawab dalam merawat pasien-pasien.

Ada rasa bahagia yang tidak bisa diutarakan dengan kata-kata saat melihat satu persatu orang yang ada di ruang inap mulai dipulangkan karena keadaan mereka yang membaik, mendengar kabar bahwa mereka sembah, dan menjalani kehidupan dengan lebih baik dan bijaksana. Terutama dari itu semua, ia senang jika dengan kehadirannya, bisa membuat dampak positif bagi banyak orang.

Satu-satunya impian yang bisa Gibran wujudkan sekarang adalah menjadikan Azkiya sebagai istrinya—meskipun pria ini masih ragu-ragu apa tawaran diterima atau tidak oleh Azkiya.

Tidak jadi masalah jika awal pernikahan mereka dimulai dengan perjanjian pernikahan, asalkan wanita itu setidaknya bisa menganggapnya lebih dari sekedar sahabat, akan Gibran lakukan.

Gibran memang sengaja menggunakan keadaan saat ini sebagai peluang untuk mendekati Azkiya dalam tanda kutip hubungan lebih dari yang mereka miliki sekarang.

Iya, Gibran memiliki perasaan yang lebih dari sekadar itu. Ia mencintai sahabatnya sendiri, bahkan Gibran berasumsi, selama ini dirinya bukan tidak tertarik dengan perempuan di sekitarnya karena pusat pikiran pria itu sudah dipenuhi dengan sosok Azkiya.

Sudah lima tahun Gibran mengetahui perasaan keterikatan dengan Azkiya. Semua berawal saat Azkiya tiba-tiba mengatakan bahwa ia memiliki seorang kekasih. Saat itu—sama seperti pengakuan wanita itu seperti sebelum-sebelumnya, bahwa ia memiliki kekasih—Gibran merasa tidak suka, ia kesal dan mood-nya terjun bebas selama berhari-hari, bawaannya selalu jengkel jika mendengar cerita Azkiya dan pacarnya itu, apalagi saat mereka saling berpapasan atau sengaja dipertemukan oleh wanita itu. Saat itulah pria yang masih menempuh masa-masa perjuangan di dunia koas itu menyadari bahwa ia telah mencintai sahabatnya sendiri.

Memang Gibran tidak bisa mematahkan fakta bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah hubungan yang benar-benar murni tanpa campuran ketertarikan.

Gibran benar-benar tulus, sangat mencintai Azkiya, walaupun terkadang tingkahnya membuat wanita itu kesal dan ingin memutilasi Gibran secara hidup-hidup karena perkataannya.

Azkiya itu, wanita yang menarik di mata Gibran, ia selalu menunjukkan sisi cerianya dibalik kekesalan yang tanpa sadar membuat tampang dewasanya hilang, menyisakan keimutan yang membuat ide gila Gibran bermunculan, seperti ..., Melumat bibir mungilnya itu.

Memikirkan, tanpa sadar Gibran tersenyum kecil.

Jika Azkiya menerima pernikahan yang diajukannya, maka ingatkan Gibran untuk sungguh-sungguh menjalankan misi untuk membuat Azkiya benar-benar menjadi istrinya.

“Permisi Dokter?” Seorang wanita paruh baya bersama gadis yang lebih muda masuk ke dalam ruang Kerjanya.

Wajah datar Gibran seketika berubah menjadi berseri-seri. “Selamat siang, Bu, Kak,” sapa Gibran ramah. Mata pria itu meneliti gadis berusia sekitar 20 tahunan yang memakai jilbab pashmina, sedangkan sang ibu yang memakai jilbab biasa saja.

“Ganteng kali kau, dokter. Udah menikah kau?” celetuk si ibu-ibu dengan senang, mengabaikan sapaan Gibran karena terkesima.

Gibran hanya bisa tersenyum kecil menanggapi ucapan sang ibu, sedangkan si anak menggaruk tengkuk dengan kaku, malu dengan tindakan ibunya.

To be Continued

Halu kawans Halu!
Ahaha. Seperti biasa, jangan lupa untuk vote komen dan share cerita ini ke teman-teman kalian ya.

Aku selalu menunggu komen kalian, apalagi kalo kalian bantuin aku menemukan typo atau hal-hal aneh di dalam ceritaku. Wkwkwk.

Happy birthday buat yang lagi ulang tahun. 😭🎉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro