🏩 | Bagian Tiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bagian Tiga
~~~🏩🏥~~~

Sore itu Medan memang ramai seperti biasanya, lumayan macet karena jam pulang kantor, untung saja mereka masih bisa melewati padatnya lautan kendaraan.

Tidak terasa, langit sudah berubah warna menjadi lebih gelap, lampu-lampu di sekitar jalan dan kendaraan yang berlalu lalang telah dinyalakan. Setelah menempuh waktu kurang dari sepuluh menit, akhirnya Gibran menghentikan mobilnya di sebuah Kafe box Palang Merah.

Keduanya kemudian berjalan masuk ke dalam bangunan mirip ruko tersebut dengan posisi Gibran setengah langkah di belakang Azkiya, tatapan pria itu terlihat sayu saat memandang punggung Azkiya.

Suasana di dalam kafe cukup ramai, beberapa orang memakai seragam PNS dan pakaian kasual yang memenuhi tempat itu, ada juga segerombolan remaja dan anak-anak muda yang mengobrol seru dan saling melemparkan umpatan candaan.

Gibran membawa Azkiya duduk di sisi kanan dari sudut ruangan itu. Selanjutnya mereka memesan minuman dan beberapa cemilan yang tersedia di sana.

"Mau ngomong apa, Dog?" tanya Azkiya-karena Gibran adalah tipikal orang yang lebih praktis dibandingkan kreatif-sambil menyeruput minuman yang baru saja diantar oleh pramusaji. Ia menatap penuh tanda tanya dengan pria di depannya. Mengabaikan bahwa ia baru saja menyebut kata ganti nama Gibran dengan 'Dog' alih-alih Dok.

"Ayok nikah." Dua kata itu mengudara dengan lugas, tanpa hambatan dari bibir Gibran, tatapan pria itu menunjukkan kesungguhan dalam ucapannya.

"Uhuk! Uhuk! Uhuk!" Tanpa sengaja Azkiya menelan es batu di mulutnya. Sungguh, demi Tuhan, ucapan Gibran sangat diluar ekspektasi wanita itu.

"Ck! Hati-hati, Kiya," tegur Gibran sembari menarik tissue yang ada di atas meja lalu memberikan kepada Azkiya yang menepuk-nepuk dadanya.

"Hati-hati gimana kalo ucapan kamu udah kayak ngajak anak orang main aja!" kesal Azkiya, menatap tajam Gibran yang biasa-biasa saja. Bisa-bisa Azkiya mati konyol karena ucapan Gibran. Untung saja es yang tadi ia telan sebesar bisul, jadi masih aman.

Huft!

Gibran mengangkat tangannya. "Denger dulu," jedanya sambil menarik napas. "Saya nawarin kamu nikah resmi, tapi nikah pakai batasan waktu. Gimana?"

Kedua bola mata Adziya memutar, mendengkus tidak percaya dengan ide pria di depannya itu. "Sepupus itu kamu sekarang, Bran? Ini nggak lagi main drama kan? Sinetron gitu?" Azkiya masih tetap mau main aman saja, tidak baik terlalu melibatkan hal-hal serius seperti pernikahan bersama sahabat sendiri.

Kepala Gibran menggeleng pelan, bahunya terangkat. "Bukan gitu, Kiya. Kamu tau sendiri saya paling nggak suka kalo dijodohkan. Bunda sudah kukuh bakal nikahin saya sama wanita pilihannya kalo saya nggak bawa-bawa calon."

"Kamu juga kan?" lanjut Gibran. Mata pria menatap lekat Azkiya, memberi keyakinan bahwa ide yang ia tawarkan adalah hal terbaik.

"Hmm." Azkiya mengangguk, tidak membantah pernyataan yang menyakitkan hatinya itu.

"Anggap saja saya lagi ngajak kamu simbiosis mutualisme. Saya butuh pernikahan ini supaya nggak dijodohkan sama Mitha itu. Kalau kamu, kan Anya mau nikah, kamu juga udah cerita ke saya kalo kamu lagi cari suami kan? Ya, sudah, sama-sama impas. Memang kamu udah ketemu laki-laki lain?" Gibran kembali memberikan bahan pertimbangan untuk Azkiya, terlihat dari wajah wanita itu yang awalnya kesal, namun berubah menjadi sendu, lalu kesal.

"Dih, bahasa kamu ketemu laki-laki lain. Terus selama ini ketemu siapa aja aku kalo bukan ada lakinya?" Azkiya berdecak kesal, sedangkan jantung di tubuhnya bertalu-talu di dalam sana seperti berlomba-lomba mengirim darah ke seluruh tubuh.

Menarik napas dalam-dalam, Azkiya mengakui ucapan Gibran memang ada betulnya. Tapi, masa iya, ia harus menikah sama sahabat sendiri? Tidak ada pilihan lain lagi kah dari semua itu? Azkiya merinding memikirkan tentang pernikahan dan hal-hal lainnya ketika mereka menikah nanti, spontan sekujur rambut di tubuh wanita itu bereaksi aneh.

"Jadi gimana?" tegur Gibran karena Azkiya terdiam, terlalu larut dalam pikirannya.

"Pelan dulu abang. Kasih waktu aku buat mikir. Pipis kalo kebelet, bukan nikah!" seru Azkiya masih kesal. Sontak hal itu membuat tawa kecil lolos dari bibi Gibran.

"Besok baru jawab aku, ya." Azkiya kembali menyeruput capuccino dengan canggung. Sejenak ia tidak berani menatap balik Giban.

"Hmm. Okay." Gibran mengangguk kecil, ia kemudian mengeluarkan kaset dan walkman dari saku hoodie yang ia pakai, hendak memasangkan earphone di telinganya.

"Cuma itu?" tanya Azkiya, mencomot cookies yang ada di atas meja, lalu memakannya dengan lahap, maklumlah, ia. belum makan sejak tadi siang karena malas.

Kepala Gibran mengangguk pelan, tanpa membalas pertanyaan Azkiya. Pria itu kemudian larut dalam dunianya, musik yang dihasilkan oleh kaset.

Azkiya melupakan satu hal yang tidak bisa lepas dari sosok Gibran, walkman dan kaset-kaset kesayangannya. Jika orang-orang sekarang menyimpan banyak lagu di ikon musik ponsel mereka, berbeda dengan Gibran yang selalu membawa benda-benda itu di saku hoodie, celana, atau tasnya. Pernah wanita itu bertanya-tanya, mengapa Gibran suka sekali membawa walkman dan kaset yang sangat bertolak belakang dengan sifat efisiennya, dan jawaban Gibran hanya, "Saya menyukai suara pita kaset, dan itu tidak merepotkan sama sekali."

Tiba-tiba aliran listrik di kafe padam, lampu di seluruh sudut penjuru ruangan itu mati total, suasana menjadi gelap. Beberapa pelanggan refleks memekik terkejut. Spontan Azkiya mencari ponselnya dalam tas dan menyalakan Flashlight.

Saat itulah cahaya ponsel Azkiya sendiri yang merambat cepat ke dalam netra cokelat tuanya, membuat wanita itu  memejamkan mata, lalu diikuti dengan suara. "Ah–Achoo! Ahhh!"

Azkiya bersin berkali-kali dengan suara yang lumayan kencang. Ponsel yang ada di  genggamannya terlepas, jatuh di atas lantai marmer kafe hingga menghasilkan suara benda jatuh.

Bersamaan dengan itu, lampu di dalam ruangan itu satu persatu kembali menyala dan reaksi Azkiya masih sama, bersin-bersin hingga menarik beberapa pasang mata yang terganggu dan bingung dengan keadaannya.

"Ini ... pakai." Gibran menyematkan kacamata hitam pada wajah Azkiya. Pria itu berdiri di samping Azkiya dengan tatapan khawatir bercampur gemas. Ia kemudian menunduk, memungut ponsel Azkiya yang untungnya tidak rusak karena tadi suara dentingan benda tersebut saat jatuh lumayan besar.

Sejak dulu Gibran sudah mewanti-wanti agar Azkiya selalu membawa kacamata hitam, atau tidak topi-intinya benda yang membantunya untuk tidak bersin-bersin saat berserobok dengan cahaya.

Perlahan bersin Azkiya mulai mereda. "Thanks," serunya, sangat lega karena berhenti bersin.

"Lain kali bawa kacamata kemana-mana, udah saya ingetin kan? Atau bawa topi," seru Gibran, terdengar pelan namun penuh penekanan.

"Iya, masa mau kerja bawa-bawa kacamata sama topi?" Azkiya cemberut sendiri.

Semua ini, tolong salahkan lampu yang memasuki mata Azkiya tanpa aba-aba. Demi apapun, ini memang aneh dan tidak masuk akal dibenak Adzkiya, namun ia memang sama sekali intoleransi dengan cahaya yang sangat terang benderang, ia langsung bersin berkali-kali saat cahaya masuk ke dalam maniknya.

Azkiya melirik Gibran yang sudah kembali duduk di bangkunya. Ia gelisah sejak tadi, masih tidak yakin dengan tawaran pria itu.

"Ini beneran? Mau ngajak menikah aku?" tanya Azkiya kembali, memastikan bahwa Gibran tidak ragu dan menyesal mengajaknya menikah, walaupun sekedar kontrak, namun tetap saja harus dipastikan bahwa mereka sama-sama nyaman, dan pastinya saja hidup dengan tenang.

"Iya, ada yang salah sama kamu?" Gibran balik bertanya dengan nada pelan namun tegas, membalas tatapan Adzkiya yang kalut.

"Jujur, aku kesal dengerin kata-kata kamu dog, tapi yah nggak salah, sih," akuh Azkiya dengan mimik cemberut. "Cuma, maksud aku, banyak cewek cantik di luar sana, yah, mending sama mereka aja kan?"

Gibran mendengkus kesal. "Kata siapa kamu nggak cantik? Kalo ada yang bilang orang lain jelek, tanyakan sama dia, 'sudut dari mana dia terlihat bagus banget? Sampai-sampai bisa bilang orang jelek?'"

Azkiya tertawa pelan mendengar ujaran pria itu. Tidak bisa dipungkiri bahwa ia senang dengan kata-kata Gibran yang seakan memujinya cantik.

"Makanya, kamu jangan terlalu ngambil sensasi terlalu berlebihan, nggak semua asumsi orang baik untuk diambil, mungkin saja mereka mikir sebaliknya?" Lanjut Gibran.

Kening Azkiya mengernyit bingung. "Sensasi?"

"Hmm. Kamu terlalu ngambil, meresapi semua hal dari luar yang kamu tangkap dari panca indera kamu. Apa yang kamu dapatkan dari itu semua, bakal mengirimkan sinyal ke otak untuk memberikan makna, itu namanya persepsi. Persepsi itu dipengaruhi banyak hal, lingkungan dan patokan masyarakat kita sih lebih menonjol sekarang, mendorong kamu buat memberikan respon. Contoh responnya yah, kek kamu sekarang, hopeless, " papar Gibran panjang lebar.

"Idih! Memangnya anda gak hopeless?" seru Azkiya tidak terima dengan kalimat terakhir pria itu.

"Biasa aja, cuma malas dijodohkan, makanya saya ngajak kamu nikah, bagus kan respon yang aku kasih ke kamu?" bantah Gibran, tersenyum kecil.

"Iyain deh ah, pusing dog," seru Azkiya pasrah dengan kebenaran kata-kata Gibran.

Inilah yang membuat Adzkiya suka dengan Gibran, ia berbeda dari banyak laki-laki yang pernah didekatinya. Gibran adalah Gibran yang selalu mematahkan dan menyembuhkan semangatnya di waktu yang bersamaan.

"Hmm, respect," sahut Gibran tiba-tiba setelah keheningan terjadi diantara mereka. Mengangkat topik yang tadi ditanyakan Azkiya. "Saya respect sama diri sendiri, saya nggak mau menikah sama orang yang nggak saya kenal. Saya peduli sama anak-anak saya nanti kalo menikah sama orang yang nggak bener-bener saya cinta. Yang nggak asal saya nikahi karena kepepet. Terus kamu nggak buruk untuk jadi istri saya," lanjutnya sambil melepaskan earphone dan memasukkan ke dalam saku hoodie.

Adzkiya gelagapan mendengar jawaban Gibran yang kalemnya pas menjawab pertanyaan. "Istri pake batasan waktu!" imbuh wanita itu cepat.

"Beneran juga nggak masalah sih," timpal pria itu dengan santai, ia pun melirik ke arah Azkiya yang memerah pipinya. "Bercanda," tambah Gibran datar.

"Aku tendang juga kau keluar dari bumi!"

To Be Continued

A.n:

Seperti biasa jangan lupa untuk vote komen dan share cerita ini ke teman-teman kalian ya.

Ada salah kata? Belibet? G runtut? Komen aja Beb. ^^

Btw happy day yaw.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro