Bab 14. Ujian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

*Selamat membaca*

*Jangan lupa krisarnya*

redaksisalam_ped
trinaya_123


"Banyak orang yang akan masuk dan keluar dalam hidup kita, silih berganti satu dengan yang lainnya, tetapi hanya teman sejati yang meninggalkan jejak di hatimu."

Seminggu berlalu, saatnya diri pergi ke rumah Narsih. Diri sudah janji akan pergi ke warnet bersama. Tak lupa membawa buku promosi produk yang dijual. 

Setelah berkemas-kemas membawa semua yang diperlukan, saatnya mengayuh sepeda dari rumah menuju rumah Narsih. Seperti biasa, sembari bersepeda menikmati indahnya pemandangan sekitar jalan yang aku lalui. Melihat gedung berbaris, sepeda motor berjejer rapi. 


Terkadang ada pemandangan yang membuat mengelus dada. Diri beristighfar karena melihat yang tak pantas mata melihatnya. 


Berdendang sepanjang jalan itulah kebiasaanku. Sembari tengok kanan dan kiri jalan. Alhamdulillah perjalanan lancar, diri meneruskan perjalanan setelah menyeberang. Tibalah di perempatan menuju rumah Narsih. 

Tiba-tiba…

Glubrak

Diri terlempar mencium aspal jalan dengan posisi tertelungkup, astaghfirullah. Kondisi sepeda penyot. Aku segera kirim pesan ke Narsih.

[Narsih, aku keserempet motor.]

[Dimana Mbak?]

[Di perempatan jalan landak.]


Beberapa menit kemudian Narsih datang. Kami berdua dengan jalan tertatih menuju bengkel sepeda, ternyata sedikit jauh dari lokasi kecelakaan. Setelah menaruh sepeda di bengkel, kami segera menuju warnet sesuai rencana awal. Menahan rasa linu dan perih di beberapa bagian tubuh, menikmati rasa sakit akibat mencium aspal tadi.


Hiburan tersendiri, bisa membuka akun media sosial. Dua jam berlalu, kami menuju ke bengkel lagi. Sepeda belum selesai diperbaiki. Langkah kami berlanjut pulang ke rumah Narsih. 

"Mbak Ningsih, jangan pulang dulu ya. Nunggu agak sore."

"Iya,"

"Oya, Mbak pernah kecelakaan ya?"

"Iya, dulu waktu sekolah menengah pertama."

"Cerita dong, Mbak."

"Gimana ya?"

"Ayo dong cerita."

"Baiklah."




                                                 

Pada suatu hari, tepatnya hari sabtu waktu itu bertepatan dengan hari pramuka. Aku bersama Bapak mengendarai sepeda menuju pasar gede.

Kami berencana membetulkan arloji yang rusak, konon jangan beli jam tangan baru jika jam lama masih bisa diperbaiki. Kami pun bersepeda mengelilingi kota Cilacap, sembari menikmati suasana jalan sekitar alun-alun Kota. Selama ini aku sering bersepeda mengelilingi kota Cilacap, dan tentunya yang yang namanya kota pasti melewati jalan raya.

"Narsih, kamu tahu 'kan perempatan Jalan sutomo?"

"Iya tahu, Mbak. Tentunya ramai,"

"Iya, tahu di sana banyak sekolahan."

"Ya, Mbak. Ada tujuh sekolah. Empat sekolah menengah pertama dan tiga sekolah menengah atas."

Jadi waktu itu, sepulang dari pasar gede. Aku dan bapak memilih untuk lewat jalur itu. Melalui jalan sutomo, karena berpikir sudah sepi, tidak ada anak sekolah lagi. Pada waktu itu hanya upacara pramuka saja. 


Tanpa berpikir keadaan jalan yang dilalui  sedang ramai, Bapak yang mengayuh sepeda dengan santai. Sembari bercakap-cakap denganku tiba-tiba di tengah perjalanan tepatnya di depan Sekolah tempatku menimba ilmu. Di sisi lain ada pengendara motor yang sedang berjalan dengan kecepatan yang sangat cepat.

Duar… 

Kecelakaan  tidak dapat terelakan lagi. Aku tertabrak oleh motor itu dari arah belakang dan keadaannya langsung tidak sadarkan diri. Kata bapak, aku kejang-kejang di tengah jalan. Ketika aku terbangun, diri sudah ada di Rumah Sakit.


"Apa hubungannya dengan bakso, Mbak?"

"Oya, waktu kecelakaan aku baru beli bakso."

"Terus?"

"Tubuhku penuh mie dan saos. Baju berubah merah karena saus." kataku, "coba bayangkan, bakso besar-besar bermekaran di tengah jalan. Di tambah jadi tontonan teman-teman satu sekolah dan para guru." imbuhku.

"Malu banget lah pastinya." 

"Sudahlah jangan dibahas lagi." 

Kami pun bercerita sembari menunggu sepeda yang  penyok di ambil dari bengkel. Setelah dirasa cukup enakan badanku, aku pun pamit undur diri untuk pulang.  


Malam pun bercerita tentang rembulan malam. Bersinar sangat  indah malam ini, bermandikan cahaya bintang. Setelah puas menikmatinya diri segera pulang ke kandang untuk menulis apa yang dirasakan dalam jiwa. 


Ku buka lembaran usang yang penuh coretan, entah curahan hati tentang seorang laki-laki, untaian aksara berisi kata mutiara. Membaca satu per satu apa yang tertulis di sana, banyak kutipan penyemangat untuk diri yang rapuh ini. Apalagi saat diri teringat cemoohan orang lain. 


Bulir-bulir air mata menetes di pipi, saat sayatan di hati terbuka sendiri. Entah sampai kapan diri akan melupakan hal buruk yang pernah terjadi. 


Lembar demi lembar aku lalui, di sana tertulis pertebal iman, tingkatkan lagi ketakwaan kepada Allah SWT. Cara yang dapat kita lakukan adalah  keteguhan hati, bahwa hanya Allah semata tempat kita mengadu. Minta tolonglah kepada-Nya, rezeki, kekuatan, maupun ketenangan hati hanya kepada Sang Maha Kuasa.

Di samping mempertebal iman, tingkatkan lagi ketakwaan kepada Allah SWT. Yakni dengan melaksanakan apa yang menjadi perintah-Nya semampu kita.

Sebagai insan manusia kita hanya mampu berikhtiar, sedangkan keputusan terakhir ada di tangan Allah SWT. Selain itu perbanyaklah  doa dan bertawakal.

Diri ini pun tersadar, insan yang lemah ini hanya mampu berusaha. Melakukan apa yang seharusnya diri lakukan. Akan tetapi, apa yang akan terjadi selanjutnya hanya Sang Maha Kuasa  yang mengetahuinya.


Seperti tadi siang, diri yang bersepeda santai, di pinggir jalan bisa tertabrak motor. Itulah sudah takdir Tuhan untukku hari ini. Rasa kantuk menyerang, saatnya diri mengistirahatkan badan yang  penuh luka.





Pagi menyapa, tak secerah hari lalu. Mendung menguasai menandakan sang rinai akan turun membasahi bumi. Diri yang sudah bersiap ke pasar mengurungkan niatnya, kembali bercengkerama dengan buku yang semalam di bacanya. Sebuah buku memikat diri, segera ku buka dan membacanya sembari menunggu sang hujan berhenti menitikkan airnya. Rencana hari itu pun tak bisa dilaksanakan, karena cuaca tak mau bersahabat dengan diri. 

Beberapa hari kemudian, Ibu mengajakku ke pasaraya untuk berbelanja kebutuhan warung. Kami pun membeli semua yang biasa ada di warung, di tambah beberapa barang baru. Setelah puas berkeliling kota, kami pulang dan mengemasi barang dagangan. 


Sore harinya, Bapak membantuku menyiapkan sepeda untukku gunakan besok karena akan ada acara di kampus dulu. Setelah di rasa sudah siap, sepeda di masukkan kembali ke tempatnya. 


Malam ini, kebetulan ada acara yang  aku dan Mbakku sukai, di salah satu stasiun televisi. Kami berdua menonton sampai larut malam, walaupun tak begitu jelas mendengarkan suara televisi karena bersaing dengan suara rinai di atas atap. 


Keesokan paginya…

"Pak, pak." ucap salah satu jamaah di masjid.

"Iya, ada apa?" tanya Bapak.

"Pintu warung terbuka." jelas jamaah tersebut. 

"Terbuka!" 

"Iya, Pak." 

"Sepeda di warung masih ada tidak?" tanya Bapak.

"Sepeda ada dua, Pak." 

"Oh, berarti masih utuh." sahut Bapak.

Ibu yang  mendengar lalu mendekat ke arah suara di depan rumah. 

"Utuh apa? sepeda kurang satu." 

Aku sontak berlari ke depan rumah.

"Sepedaku tidak ada." ucapku.

"Iya kah?" tanya Bapak yang masih tidak percaya.

"Emm, malingnya suka ini. Bisa buka warung tanpa modal." sahut Mbak.

"Iya, bener." balasku.




Di dunia ini, setiap orang tentu akan dihadapkan dengan suatu masalah yang datang silih berganti. Saat menghadapi permasalahan, sebaiknya seseorang bersikap tenang sembari mencari jalan keluar dari setiap permasalahan. Bersabar dan ikhlas dalam menghadapi cobaan memang tak mudah. Akan tetapi , semuanya pasti bisa dilalui asal ada niat yang kuat.


Saat diri merasakan bahagia, warung yang mulai banyak pelanggan. Harus berjuang lagi dari awal, karena ulah tangan orang tidak bertanggungjawab. Mengambil apa yang bukan haknya. 



Saat musibah menerpa hidup kita, tak jarang seseorang membutuhkan kata-kata sabar agar tetap kuat menghadapi cobaan yang menghampirinya. Kata-kata sabar memang tak menyelesaikan masalah, namun terkadang mampu memberikan semangat agar kamu bisa menghadapi masalah dengan lebih bijaksana.


"Alhamdulillah, di uji lagi." kata Bapak.

"Iya, Pak. Mulai dari nol lagi." jawabku  yang masih tak percaya dengan apa yang sudah terjadi.

"Kamu, kabari Narsih atau Tika kalau  tidak bisa hadir ke kampus." sahut Ibu.

"Astaghfirullah, oya acara di kampus pagi ini."

Aku segera mengambil gawai, lalu memberi kabar kepada Narsih bahwa tidak bisa ke kampus. Diri tidak bisa mengikuti acara yang di selenggarakan oleh pihak kampus untuk para alumni pada hari itu.



" Sebuah masalah merupakan tamu yang tak diundang didalam kehidupan kita, dan kita harus perlakukan dia sebaik mungkin, maka kita juga akan diperlakukan dengan baik olehnya."


















Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro