5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terima kasih masih berkenan baca cerita ini.

Anyhoe ... enjoy!

.
.
.

Bukankah kau juga merasakannya terhadap Arthur?

Pertanyaan Zara terus terngiang di telinga Athena. Makan malam sebelumnya merupakan pertemuan ketiga dua gadis tersebut, tetapi Zara sudah berhasil membuat Athena bicara lebih banyak dibandingkan dengan gadis-gadis di kelasnya.

Athena tidak begitu mengenal Ezra maupun Zara. Yang dia tahu, Ezra adalah sahabat Arthur sejak SMP. Keduanya kemudian berpisah ketika Arthur meninggalkan New York untuk membantu bisnis properti kakeknya di Portland saat kuliah.

Sekarang, di bawah kendali Arthur perusahaan yang nyaris bangkrut di bawah kepemimpinan ayahnya itu telah berkembang, bahkan memiliki cabang di beberapa negara bagian lain.

Sementara Arthur mengelola perusahaan kakeknya, Ezra meneruskan sekolah hukum kemudian menjadi pengacara di New York setelah lulus bar examination. Merasa telah cukup lama berkecimpung di dunia hukum, Ezra merambah dunia pendidikan dengan mengajar mahasiswa di bidang yang sama.

Meski terpisah, dua sahabat itu tetap saling menghubungi. Biar bagaimanapun juga, bagi Ezra Arthur sudah seperti saudaranya. Begitu juga sebaliknya.

Setahun lalu, Zara dan Ezra menikah meski ditentang oleh keluarga. Athena mendengar kabar kalau sebenarnya Ezra merupakan paman dari Zara.

"Apa yang kau pikirkan?" Suara Arthur membuyarkan lamunan Athena

Arthur duduk di sofa. Hari ini Minggu, jadi dia bisa bersantai di rumah.

Athena memeluk bantal sofa sambil memelototi tokoh kartun yang berputar-putar mengejar ekornya sendiri. "Zara," jawabnya singkat.

Arthur mengambil satu bantal sofa dan meletakkan di bawah kepalanya. Sementara kakinya direntangkan ke sepanjang sofa. Karena sofa yang dia tiduri tidak cukup panjang untuk tubuh setinggi enam kaki empat inci milik pria itu, maka sebagian kakinya menggantung di udara.

"Kenapa dengan gadis itu?" Mata Arthur kini ikut menyaksikan kekonyolan tokoh kartun tadi.

"Dia kira aku mencintaimu," aku Athena jujur. Pikirnya, ini bukan obrolan serius.

Arthur sendiri menanggapi dengan biasa saja. "Anak itu terlalu banyak menonton drama percintaan."

Athena mengangguk setuju meski dia sendiri tidak tahu apakah Zara benar-benar terlalu banyak menonton. Yang jelas, menurut Athena, cinta seperti yang digambarkan oleh Zara malam itu hanya ada dalam film-film yang dibuat untuk gadis-gadis yang menghabiskan malam-malamnya sendirian.

"Kalau ada yang kucintai darimu, yakni rumah ini. Aku benar-benar kerasan tinggal di sini." Athena menyilangkan kakinya dan menyandarkan kepalanya di sofa.

"Tentu saja. Aku sendiri yang merancang rumah ini." Arthur menyombongkan rumah dua lantai dengan halaman luas miliknya.

Athena memejamkan matanya. Entah kenapa, dia tiba-tiba merasa mengantuk. Menyadari kalau posisinya ini kurang nyaman untuk dibawa tidur, Athena kembali membuka matanya. Dia sedikit terkejut saat melihat Arthur tengah memperhatikannya.

"Ada apa?" tanya Athena datar.

Arthur tanpa mengubah ekspresinya cuma memandangi Athena selama beberapa saat sebelum akhirnya menjawab. "Tidak. Aku hanya memikirkan kata-kata Ezra tempo hari."

"Apa katanya?"

Dengan suara tenang, Arthur menjawab, " Dia bilang kau cantik. Dia benar. Kau memang cantik."

Athena menatap Arthur dengan kedua alis terangkat. Aneh sekali baginya, Arthur tiba-tiba berkata seperti ini. "Terima kasih untuk pujiannya," sahut Athena akhirnya.

Suaminya menggeleng. "Aku tidak sedang memujimu. Aku hanya mengemukakan fakta."

Athena memutar bola matanya. "Anyway, terima kasih. Aku mengantuk, jadi aku akan ke kamarku untuk istirahat."

"Bagaimana dengan makan siang?" tanya Arthur.

Athena mengedikkan bahu kemudian berbalik. "Kau bisa meminta Selena untuk memasak."

Arthur berdecak. "Kalau kau tidak menyiapkan makan, tidak akan ada makan untukmu," ancamnya sambil mengubah posisinya yang kini duduk. Arthur sebenarnya tidak ingin memakai cara kotor begini, tetapi demi bisa menikmati masakan istrinya, apa pun akan dia lakukan.

Athena yang masih memunggungi Arthur memejamkan mata, kemudian menarik napas dalam untuk menenangkan dirinya. Dengan senyum termanis---palsu---yang bisa dia berikan, Athena kembali berbalik menghadap Arthur.

"As you wish, Sir."

Rupanya benar kata orang-orang. Dia ini tidak berperasaan! Athena membatin.

Arthur kemudian kembali menyandarkan punggungnya di sofa, sementara Athena menuju ke dapur.

Dengan hati yang jengkel, Athena mulai menyiapkan makan siang untuknya dan Arthur tanpa mengatakan apa-apa. Gadis ini sudah terbiasa memendam sendiri emosi yang dia rasa.

Mulut Athena terkesiap tatkala Arthur sudah berada di sebelahnya. "Aku akan membantu. Dengan begini, makan siang bisa siap lebih cepat dan kau bisa beristirahat setelahnya."

Athena tidak menyangka kalau Arthur mau repot-repot membantunya di dapur. Padahal, dia kira, Arthur hanya ingin menjadikan Athena pesuruhnya kali ini.

"Aku sangat suka masakanmu." Arthur berujar secara random. "Makanya, aku sampai mengancammu supaya bisa memakan masakanmu."

Athena menatap Arthur tidak percaya. Tawa kecil kemudian terdengar dari bibirnya yang merah. "Astaga! Seharusnya kau bilang saja begitu. Tentu aku akan dengan senang hati membuatkan."

Arthur menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Entah untuk alasan apa, tiba-tiba dirinya salah tingkah karena ditertawakan oleh sang istri. "Ya sudah. Lain kali, kupastikan aku meminta langsung. Sekarang, katakan apa yang bisa aku bantu?"

Athena menyerahkan mentimun kepada Arthur. "Potong-potong ini."

Arthur memandangi benda berwarna hijau yang diserahkan oleh istrinya. Dia mengangkat bahunya, merasa tugas yang diserahi kepadanya terlalu mudah. Pria itu kemudian mengambil pisau dan mulai melakukan tugasnya.

"Well ... tidak begitu buruk. " Athena melihat hasil kerja Arthur yang cukup rapi meski ada beberapa potongan yang beda ukuran. "Sekarang, campurkan mayones, mentimun tadi ke dalam mangkuk ini." Athena menyerahkan mangkuk beling besar kepada Arthur.

"Cukup." Athena memberi aba-aba ketika Arthur memasukkan mayones. "Selanjutnya, masukkan satu sendok makan madu, setengah sendok teh cayenne pepper, dan black pepper."

Dengan bantuan Arthur, akhirnya sweet and spicy chicken wraps yang menjadi menu makan siang mereka tersaji lebih cepat.

"Kemampuan memasakmu tidak begitu buruk." Athena memuji.

Arthur menelan makanan di mulutnya kemudian menjawab. "Aku sempat tinggal sendiri ketika di New York, jadi terkadang, aku memasak untuk menghemat pengeluaran."

Pasangan tersebut lalu melanjutkan makan mereka dalam diam.

"Nah, sekarang kau bisa istirahat. Masih mengantuk?" Arthur menyarankan setelah makan.

Mulut Athena memberikan kuap kecil sebagai jawaban. Dara jelita itu lantas menuju ke kamarnya yang berada di lantai dua, di seberang kamar Arthur.

Athena menghempas tubuhnya ke atas ranjangnya. Kelopak mata gadis tadi menutupi iris kelabunya. Hanya sejenak, Athena sudah berada di alam mimpi.

Satu jam kemudian, Athena terlonjak bangun dari mimpinya. Napasnya terengah-engah karena bunga tidur yang barusan dia alami. Tubuhnya pun gemetar dan dibanjiri keringat dingin.

Tangan Athena mengusap dahinya yang basah. Matanya mengerjap-ngerjap untuk memastikan dia sudah betul-betul meninggalkan mimpi buruk tadi. Adapun napas yang tadi tersengal, kini berhasil dia atur sehingga lebih lambat. Kendati demikian, detak jantungnya masih berkejaran.

"Gila! Bagaimana bisa aku memimpikannya siang-siang begini?" Athena mendapati jam di ponselnya masih pukul dua siang kurang lima belas menit.

Bukannya membuat dia lebih segar, istirahat siangnya ini justru membuat Athena lebih lelah.

Athena keluar dari kamarnya untuk mengambil minum. Kedua alisnya terangkat ketika pintu kamar Arthur terbuka dan menujukkan pria itu yang sedang berdiri bertelanjang dada dengan six pack di perutnya.

"My eyes are up here." Arthur menyindir Athena yang lama memandangi tubuhnya.

Athena yang masih memasang ekspresi datar seperti biasa, mengangkat wajahnya hingga pandangannya dan Arthur bertemu.

"Nice body."

Mendengar kata-kata istrinya, Arthur menyeringai. Bukan pertama kalinya wanita memuji tubuhnya. Sudah tidak terhitung berapa kali dia mendengarnya.

"Why, thanks," sahut Arthur yang kini bersandar di bibir pintu.

Athena menggeleng. "Aku tidak sedang memujimu. Aku hanya mengemukakan fakta."

Melihat raut Athena yang biasa saja, berbeda dengan para wanita yang biasanya melihatnya dengan tatapan bernafsu, Arthur terkekeh. "I know."

"Kenapa kau berkeringat sekali?" Arthur akhirnya menanyai hal yang sedari tadi dia perhatikan dari Athena.

"Aku mimpi aneh." Athena mengusap-usap wajahnya untuk mengusir rasa letih.

Suaminya mengangkat satu alis. "Siang-siang begini?"

Athena mengabaikan pertanyaan Arthur dan melanjutkan perjalanannya menuju ke dapur untuk mengambil minum dingin. Kerongkongannya terasa kering sejak terjaga tadi.

Athena menggerung kala mengingat mimpinya. Dia tidak menyangka kalau ingatan yang sudah lama terkubur itu masih berani menampakkan diri dalam bunga tidurnya.

8 Januari 2017
894 views 147 votes
#108 in GenFic

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro