8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Hal penting apa yang mau kau bicarakan?"

Athena mengambil tempat duduk di atas sofa empuk berwarna biru di ruang keluarga. Bantal sofa dipangku dan dia buat posisinya nyaman.

Arthur sendiri duduk tidak jauh dari Athena di single couch. Punggungnya disenderkan dengan kedua lengan diletakkan di lengan sofa. Tubuhnya dibuat rileks dengan mata yang fokus kepada Athena.

Hening semakin menambah ketegangan semakin pekat di udara. Athena bahkan bisa mendengar napasnya sendiri.

"Arthur?" Melihat Arthur melamun, membuat Athena jadi penasaran.

Arthur bereaksi dengan mengerjapkan matanya, tersentak karena panggilan Athena.

"Athena. Bagaimana pendapatmu mengenai ibuku?" Arthur bertanya dengan intonasi datar. Ternyata, dia memilih untuk membukanya dengan basa-basi.

Gadis berambut lurus sepunggung itu mengangkat kedua alisnya. "Tentu aku menyukai beliau. Ah, apa Mom sehat? Sudah seminggu beliau tidak meneleponku."

Arthur mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Mendadak, membicarakan mengenai ibunya sendiri membuat dia agak gugup.

"Dia sehat. Dia dan Dad rindu denganmu. Makanya, mungkin akhir pekan ini kita bisa ke rumahnya."

Athena menyilangkan tungkainya. Dia selipkan rambut ke belakang telinga seraya mengamati Arthur yang belum mengubah posisi duduk.

"Katakan. Apa sebenarnya yang ingin kau bilang." Athena melempar pertanyaan karena Arthur membisu lumayan lama.

Arthur memejamkan matanya, menarik napas dalam, lalu kembali membuka mata. "Mom ingin agar kau melahirkan anakku."

Athena membelalakkan matanya. Sudah barang tentu dia kaget mendengar informasi ini. Belum pernah sekali pun dia memikirkan untuk memiliki anak. Bayi bukan prioritas hidupnya saat ini. Tidak sekarang, tidak untuk lima tahun ke depan.

"Tidak, Arthur," tolak Athena dengan tenang.

Dia tidak mau sampai kehilangan kendali atas emosinya kendati tengah terkejut bukan kepalang. Padahal, jantungnya berdetak beberapa kali lebih cepat dari normal saat ini.

"Ini tidak ada dalam perjanjian kita. Aku tidak pernah menuntut macam-macam kepadamu. Aku tidak minta hartamu, aku tidak minta kesetiaanmu. Aku hanya inginkan tempat bernaung di kediamanmu. Sebagai gantinya, aku akan berperan sebagai istrimu di depan Mom.

"Dan bila batas waktu dua tahun telah habis, maka kita akan bercerai tanpa aku menerima sepeser pun darimu. Mengandung anakmu bukan bagian dari kesepakatan kita."

Athena kembali mengingatkan mengenai kondisi pernikahan mereka.

"Akan kuberi kau uang seperempat juta Dollar. Bagaimana?" Arthur memberi penawaran.

Athena menyipitkan mata kepada Arthur. Kepalanya lalu digelengkan. "Maaf, Arthur. Membiarkan bentuk tubuhku rusak demi mengandung anak yang nantinya tidak akan kutemui lagi? Kau bisa cari wanita lain."

Arthur, meski mulai gusar, dia tidak mau menampakkannya. Pembawaannya tetap tenang meski emosinya tengah bergejolak.

"Dengan uang sebanyak itu, kau bisa membiayai kuliah adikmu nanti. Bukankah ibumu banting tulang menabung untuk biaya dia kuliah? Sementara kau sendiri mengandalkan beasiswa."

Athena diam.

Memang, keluarganya yang tinggal di kota kecil di negara bagian Georgia selalu mengalami kesulitan ekonomi. Ibunya hanya bekerja serabutan sementara ayahnya ... ayahnya telah lama meninggalkan dunia.

Tawaran dari Arthur ini tentu menggiurkan. Belum pernah keluarganya memiliki uang sebanyak itu.

"Aku tetap menolak, Arthur. Aku tidak menginginkan seorang anak. Tidak sekarang." Athena mengelap keringat di dahinya.

Arthur mengernyitkan kening, menyadari Athena yang tiba-tiba gelisah. Apa sebegitu tidak inginnya dia mengandung anakku, Arthur membatin.

"Apa hanya itu yang ingin kau katakan? Maaf, tapi aku ingin istirahat. Permisi."

Arthur tidak melakukan apa pun untuk menahan Athena lebih lama. Gadis itu sudah dengan jelas memberikan jawabannya. Dan bagi Arthur, memaksakan kehendaknya kepada Athena dalam hal ini adalah sesuatu yang salah.

Makanya, tanpa berlama lagi, dia pun kembali ke tempat kerjanya. Dengan lembur malam ini, dia berharap akan mengalihkan pikirannya.

Sementara itu, di kamar, Athena berbaring telentang di kamarnya dengan lengan menutupi mata. Pikirannya melanglang buana. Jauh meninggalkan dirinya yang bertafakur dalam sepi.

Lama diam dalam posisi tadi, Athena bangun dari pembaringan. Matanya tiba-tiba berair.

"Sial! Sial!" rutuknya seraya mengucek-ngucek indra penglihatannya tersebut supaya tidak menangis.

Tepat tengah malam, di tempat lain, Arthur duduk di booth yang sama di bar yang sama dengan malam sebelumnya. Seorang wanita muda duduk di hadapannya. Belahan dada pakaiannya cukup rendah, memamerkan asetnya yang lumayan besar.

"Hey, Handsome." Suaranya terdengar manis.

Di malam-malam lain, Arthur tentu tidak akan menyiakan kesempatan seperti ini. Namun, malam ini, pikirannya sedang kalut. Jadi, dia akan melewatkan peluang untuk membawa pulang wanita di depannya.

"Apa kau sendiri?" tanya wanita itu.

"Aku bersama temanku," sahut Arthur malas-malasan. Matanya memandangi bartender yang sibuk menyajikan minum untuk para pelanggan.

Merasa tidak diperhatikan, wanita pirang tadi menjulurkan tangannya. Dia sentuh lembut punggung tangan Arthur untuk menggoda.

"Aku tidak melihat temanmu itu," bisiknya dibuat-dibuat agar kedengaran seksi.

Arthur menggerutu dalam hati karena si perempuan kelihatan tidak mengerti kalau kehadirannya tidak diinginkan. Dia lalu mengeluarkan ponselnya untuk melakukan panggilan. "Ford, datanglah ke bar yang biasanya. Sepuluh menit dari sekarang, kau sudah harus di sini!"

Arthur memasukkan kembali ponselnya ke saku dalam jas yang dia kenakan. "Temanku tidak lama lagi akan datang. Dan dia alergi dengan wanita murahan."

Bahkan saat mengatakan ini pun, Arthur masih menolak memandangi wanita tadi.

"Apa kau bilang?!" geram si perempuan.

"Apanya?" Arthur pura-pura tidak tahu maksud si wanita.

"Kau menyebutku murahan!" Wajah wanita itu memerah menahan emosi yang meledak-ledak.

Tanpa mengacuhkan kemarahan si wanita, Arthur menyesap kembali birnya.

Setengah menit kemudian, Arthur pura-pura kaget melihat wanita pirang tersebut. "Lho? Kau masih di sini? Bukankah kubilang temanku mau datang?"

"Dasar bajingan!" Perempuan itu berniat mengambil minuman Arthur untuk disiramkan, tetapi dia kalah cepat.

"Maaf, Nona. Tapi bukan kau yang membayar minuman ini."

Ini karuan semakin menyulut emosi wanita tersebut. Dia menjerit histeris. "Awas kau nanti!"

Arthur hanya memutar bola mata menyaksikan penggodanya pergi meninggalkan meja. Tidak berselang lama, Ford masuk ke dalam bar.

"You son of a ...." Ford menghentikan kalimatnya karena dia mengenal Carmen. Dan wanita itu jelas bukan seorang "b*tch'.

"Kau beruntung, aku memang hanya dua blok dari sini. Mau apa lagi kali ini?" Kawannya itu duduk di tempat yang tadi diduduki oleh si pirang.

Arthur menyesap minumannya. "Tidak. Hanya .... Temani saja aku malam ini."

"Pesan saja. Malam ini, aku yang traktir." Arthur melanjutkan, dia abaikan tatapan menyelidik dari temannya.

Ford yang sudah mengenal Arthur lama, tentu tahu apa sebab temannya ini melamun. "Pembicaraanmu dengan Athena tidak berjalan lancar? Sudah kuduga."

"Dia menolak mentah-mentah. Hey, memangnya apa kurangnya aku ini?" tanya Arthur kepada temannya.

"Kenapa kau tanya begitu?"

Arthur menghela napas, mengingat kembali ekspresi tidak suka Athena sore tadi. "Sepertinya, dia benar-benar benci dengan gagasan mengandung anakku."

Ford memesan burger dan bir kepada pelayan sebelum mengembalikan perhatiannya kepada Arthur.

"Kalau begitu, kenapa tidak kau paksa saja dia? Toh kalau dia sudah terlanjur mengandung anakmu, bisa apa gadis sepertinya?"

Mata Arthur langsung terbelalak. Keningnya mengernyit membuat kedua alis tebalnya nyaris menyatu. Bibirnya terkatup rapat dengan napas yang dihela kasar dari hidung.

Dia tidak suka dengan saran Ford.

"Apa kau sudah kehilangan akal sehatmu?" Ford tahu, meski terdengar tenang, temannya ini sedang marah.

"Aku tidak akan pernah memaksakan kehendakku kepada perempuan. Apalagi gadis baik-baik seperti Athena. Apa bedanya aku dengan binatang kalau aku memperkosa gadis itu?"

Ford memutar bola mata. "Tidak ada yang bilang soal memperkosa. Dia istrimu, sudah kewajibannya untuk melayani kemauanmu."

Arthur menyipitkan mata. "When a woman says no, it means no. And I respect that."

Senyuman lebar tersungging di wajah pucat Ford.

"Good answer. Kalau kau tadi sampai mengiyakan saran gilaku, aku pastikan tinjuku ini sudah bersarang di wajahmu." Sahabatnya itu terkekeh.

Arthur rupanya tidak terhibur dengan jawaban dari Ford. "Jangan pernah menyarankan hal gila semacam itu. Orang lain bisa saja menganggapmu serius dan benar-benar melakukannya."

"Aku tahu kau tidak begitu. Jadi, apa yang akan kau lakukan soal ini?"

"Tidak ada. Aku hanya terpaksa mengatakan kepada Mom kalau kami menunda punya anak sampai Athena lulus kuliah. Saat itu tiba, aku dan dia sudah bercerai."

Usai mengatakan itu, Arthur memutuskan untuk menyudahi pembicaraan mengenai anak dan Athena. Dia memilih menghabiskan minumannya sebelum gelas berikutnya datang.

Di waktu yang sama, Athena tengah duduk di atas ranjangnya. Dia duduk memeluk lutut dengan tubuh gemetar. Matanya menatap nyalang ke arah pintu kamar, seperti takut seseorang akan menerobos masuk.

"No ... no ... no .... Dia sudah pergi. Aku sudah aman sekarang," bisiknya kepada diri sendiri.

Keringat mengalir deras dari seluruh tubuhnya, menjadikan pakaian tidur yang dia kenakan basah.

"Aku baik-baik saja. Aku baik-baik saja. Aku baik ...." Athena berulang merapalkan mantra tadi. Seakan kalimat itu bisa menyelamatkannya.

Oh, who am I kidding? Aku jelas tidak baik-baik saja, batin Athena mengkhianati.
.
.
.
Kalian suka cerita ini? Kalau kalian suka, tolong bantu promosikan dan rekomendasikan ke yang lain ya :)

Terima kasiih 😚😚

10 Januari 2017
2,13K views 438 votes
#88 in GenFic

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro