hasra la vista peresidenta

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari terakhir rombonganku memasuki gedung MPR, halam gedung dipenuhi para mahasiswa, mereka melambaikan tangan dan tertawa, bahkan ada yang masih tertidur. Dewi melihat ke arah mereka dan berbisik kepadaku, "Apa para mahasiswa itu sudah mandi?"

Aku menggeleng sambil memajukan bibir bawah, mereka dan kami semua sama-sama belum mandi, sebenarnya kami sedikit malu berdekatan dengan para wanita, takut bau keringat kami tercium.

Kami mendekati gedung MPR, aku duduk di salah satu tangga dengan sedih sambil menundukan kepala di tengah wajah-wajah ceria para mahasiswa yang begitu gembira seperti baru saja merayakan lebaran dan natal secara bersamaan, mereka tambah gembira saat membicarakan pengunduran diri Presiden.

Dewi duduk di sebalahku, dia bertanya mengapa aku murung? Sambil menatap matanya di balik kaca mata hitam itu, aku jawab dengan jujur bahwa aku sedih karena setelah ini pasti akan sulit berjalan dan mengobrol bersamanya, setelah aku menjawab pertanyaan itu kami terdiam, Dewi adalah wanita cerdas, dia tahu maksutku, seandainya aku mengutarakan ini pada wanita biasa dia akan cerewet dan menanyakan soal-soal yang sudah jelas, tapi Dewi bukan wanita biasa, dia adalah sahabataku, dia seorang mahasiswi cerdas dan sempurna.

Dewi tersenyum dan mengajakku masuk ke gedung MPR, padahal tadi aku sudah ketakutan, aku sangat bodoh mengutarakan itu padanya, aku takut persahabatan kami rusak, cinta memang tidak pernah salah, tapi cinta juga suka merusak hubungan persahabatan dan menjadi bencana sebuah ikatan, cinta itu seperti gunting diacara peresmian monumen nasional saat sesi acara pemotongan pita, gunting-nya tumpul, sehinga diperlukan tenaga ekstra dan sumpah serapah saat memotong pitanya.

Aku masuk ke gedung MPR, aku tidak yakin kami bisa masuk lama-lama, didalam banyak orang-orang, didalam sana kami melihat Husain, rupanya dia masuk lebih dulu, "Hidup demokrasi Amerika!" Bisik Husain dengan gembira kearah kami, dia benar-benar bocah peliharan CIA, setelah semua kejadian ini, semoga dia kena diare!

Aku dan Dewi memilih keluar karena di dalam sana sesak penuh orang tidak berkepentingan, orang-orang di dalam sana seperti turis dari Amerika yang hanya ingin berkeliling melihat-lihat. Kami berjalan dan aku tidak berani membuka obrolan, maafkan aku sahabatku, aku sudah jatuh cinta padamu. Dewi akhirnya mengalah dan membuka obrolan.

"Apa rencanamu setelah ini?"

"Tidak ada."

"Sudah pernah pacaran?" Tanya Dewi sambil menyimpan kacamata hitamnya di saku.

Aku mengeleng, "Banyak."

"Banyak mengapa mengeleng? Apa maksutmu? Kau ini sering ditolak?"

Kami tertawa seperti dua ekor hyena, padahal tidak ada yang lucu dipembicaraan kami, entah kenapa kami tertawa begitu senang, mungkin karena hari ini persahabatan kami akan berubah kelevel yang lebih tinggi.

"Semester depan aku akan diyudisium dan diwisuda, kalau tidak sibuk kauharus datang." Katanya.

Rombongan kami akhirnya pulang dan meninggalkan gedung MPR saat pengumuman resmi penguduruan diri Presiden disiarkan secara nasional.

Rombongan kami melihat kebelakang kearah gedung MPR sambil melambaikan tangan, "Jaga dirimu kawan, jangan sampai kami turun mendemomu lagi."

Seorang wartawan dari televise swasta mengarakan kameranya kearah rombongan kami, semua terkejut dan lari tunggang-langgang, semua mahasiswa tidak ingin wajahnya disorot di televise, keluarga kami di daerah sangat memuja dan mendukung pemerintah, bila mereka tahu anak cucu mereka terlibat demo, mereka akan kecewa dan merasa sudah dikhianati anak-anak mereka sendiri. Pemerintah tidak pernah sendirian, selain militer, kaum tua dari kubu konservatif juga menjadi pendukung utama, namun kubu konservatif saat ini sudah tua dan renta dimakan zaman, seandainya mereka masih muda mungkin mereka akan memakan kami seperti udang memakan anak udang.

Seperti pasukan Mongol yang berpisah dengan Eropha, mereka melihat Perancis Selatan dengan penuh kesedihan di belakang rombongan, saat itu waktu sudah menjelang senja dan angin musim dingin menuntun mereka pergi, begitulah kami berpisah, ayo kita pulang wahai Khan. Dewi sempat bertanya kepadaku, "Aku inikan urakan, mengapa kausuka denganku?"

Aku jawab, aku menyukai semua tentang dia, gaya bicaranya, gaya berjalannya, gaya pakaiannya, karakternya, kacamata dan topi hitamnnya, tapi saat aku bilang dulu aku sangat membencinya tiba-tiba dia terdiam lama sekali, itu membuatku sangat gugup, apa aku harus berlutut dan meminta ampun karena sudah lancang kepadanya.

Bulan Mei seorang Jendral berjalan sedih sambil memasukan kedua tanganya di saku celananya, saat itu sang Jendral berpapasan dengan sang Presiden, sang Jendral melirik Presiden dan tersenyum licik, dia berkata dengan jujur dan jelas, "Hasta la vista Mr.Presiden. Kami tidak menginginkan bapak lagi."

Presiden dengan gagah mengeluarkan rokok dan menyalakannya, lalu dia berkata sambil menghembuskan asap rokok, "sialan benarkau Jendral! Semoga kaukena diare."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro