Jendral

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dosen fisika tarapan bertanya pada kami, "Kalian datang ke kampus untuk apa? Ingin kuliah atau ingin hidup sukses?"

"Ingin hidup sukses pak," jawab kami serentak.

"Sukses seperti apa? Punya rumah dan mobil," tanya sang dosen, tapi kami tidak tahu, kami masih meraba-raba.

Disebuah malam aku bermimpi duduk bersama Dewi disebuah lapangan yang penuh rumput dan di depan kami terdapat air terjun, kami berdua hanya terdiam sambil melihat ke arah air terjun yang jatuh kesungai di depan kami, sungai itu mengalir kengarai dan parit, ada banyak buih dibawa menuju jalur aliran air yang berkelok-kelok seperti ular. Aku ingin mengatakan sesuatu tapi sebuah suara benda jatuh membangunkanku, suara itu muncul dari kamar sebelah, kamar itu adalah kamar Edo, aku kesana dan mengetuk pintu, Edo membuka pintu dan berkata tidak apa-apa, dia hanya jatuh dari ranjang.

Hari ke-delapan demontrasi anti pemerintah, beberapa orang berbadan besar dan tegap bermunculan didekat para mahasiswa, didekat gedung MPR ada seseorang yang tidak kami kenal sedang berorasi, "Ini sudah menjadi pilihan kita, kita semua menginginkan kebebasan dan keadilan yang layak. Dengan rasa banga, kita mengapdi kepada Tuhan dan negara, berjuang demi kemakmuran rakyat yang sesungguhnya, tanpa semua itu Indonesia baru tidak akan terwujud. Kita harus memperjuangkan perjuangan dan keyakinan kita, kalau bukan kita siapa lagi," kata-kata has orang sayap kanan.

Seorang polisi berjaket kulit di dalam area halaman gedung MPR mengintip di balik pagar, kemudia sang polisi berteriak kearah anak buahnya, "Bangsat itu provokator! Tangkap!" teriak sang polisi sambil menujuk kearah orang itu, puluhan polisi langusng keluar dari pagar membawa pentungan dan perisai bergerak dengan cepat kearah orang itu.

Namun gerakan para polisi itu mulai ragu-ragu dan tiba-tiba berhenti, orang itu meperlihatkan tanda pengenalnya, dia adalahg seorang Jendral di kemileteran, "Siapa yang ingin kalian tangkap? hah!" Balas sang Jendral.

"Bodoh, tangkap!" Teriak Polisi berjaket kulit, namun seorang polisi mendatanginya dan berbisik pada si polisi pemakai jaket kulit, lalu si polisi berjaket kulit memerintahkan anak buahnya masuk kedalam.

"Pancasila sakti! Pancasila sakti! Revolusi!" Teriak para Mahasiswa.

Di sebuah malam menjelang malam paling penghabisan, pagar gudng MPR di jebol, kekuatan mahasiswa dan ormas pendukung sudah mencapai klimaks, para polisi kalah dan mereka hanya diberi dua pilihan, bertahan atau pergi? Mereka memilih pergi, percuma pentungan dan peluru karet itu, gas air mata juga sudah tidak berguna, kekuatan pancasila sakti adalah kekuatan rakyat, dan kekuatan rakyat adalah pancasila sakti.

"Selamat malam pak polisi, pulanglah anda kerumah dengan selamat, selamat malam pak Presiden, tolong Pak Presiden kalau keadaan kacau seperti ini, tolong kawinkan saja kami dengan kakak polwan yang manis-manis itu."

Seorang mahasiswi berteriak kearah polisi yang mulai meninggalkan area gedung MPR, "Luluskan kami tanpa sekripsi, maka semua akan aman!"

"Tanpa sekripsi mau jadi apa kau! Kami polisi bukan dosen bangsatmu gembel!" Balas seorang Polisi dengan marah.

Polisi kini meninggalkan gedung MPR dengan berjalan kaki ditengah kerumbunan masa mahasiswa, polisi berjaket kulit itu berbalik kebelakang ke arah kami dan melambaikan tangannya, "Selamat tinggal," katanya dengat hitmat dan tersenyum sedih, "Terimakasih," lalu dia berbalik dan pergi.

Seorang Mahasiswa berteriak ke arahnya, "Pergilah ke neraka! Kapten!"

Muncul para politikus yang tidak kami kenal, mereka juga ikut melambai-lambaikan tangan kearah kami para mahasiwa, para politisi itu dimata kami seperti pasukan NICA[1]. Rombongan kami langsung menjauh, kami tidak suka dengan mereka, mereka sebentar lagi akan naik jadi orang di pemerintahan. Saat Jepang kalah perang dan pergi, Belanda dan para antek-antek-nya datang dari belakang.

Pernah melihat badai, terlihat bergemuruh dari jauh, namun tiba-tiba sudah ada di halaman rumah. Saat fasisme dan sosialisme tumbang, kapitalisme menyusul datang dari belakang seperti badai.

Seorang mahasiswi terlihat mengenakan sel bertuliskan AC Milan sambil memeluk boneka beruang, Mahasiswi itu juga mengenakan gelang kabel yang dianyam di tangan kirinya.

Hidup AC Milan! (Forza Milan), hidup mahasiswa, hidup kaum non-blok.

[1]NICA atau Nederlandsch Indische Civiele Administratie atau Netherlands Indies Civil Administration yang merupakan organisasi semi militer yang dibentuk pada 3 April 1944 yang bertugas mengembalikan pemerintahan kolonia Belanda.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro