6. Damien & Dunia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Irawati pernah mendengar kisah-kisah kuno dari orang tua, kakek, dan buyutnya.

"Sekala, segala yang tampak. Niskala, segala yang tidak tampak."

Mereka bercerita bahwa dahulu dunia ini masih jadi satu. Dewa dan Bhuta tinggal bersama Manusia. Jika ingin meminta, tinggal datang ke kuil pada Dewa. Di sana, para Dewa telah menanti sambil melantunkan puja dan puji ke hadapan Hyang Widhi. Di sanalah, para Manusia meminta segala hal dan akan diberi. Mereka bisa bicara langsung kepada Dewa-Dewi.

"Bak uang dengan dua sisi. Saling retak, saling mengisi. Tidak sempurna, di dalam satu Mandala."

Sayang, bersatunya dunia membuat satu Bhuta yang tidak kenal ampun masuk dan membawa pasukannya untuk memporak porandakan Marcapada. Titah Hyang Widhi turun bersama dengan munculnya Tirta Amerta sebagai kompensasi kepada para Bhuta. Itulah peristiwa Pengadukan Samudera. Itulah Pergolakan Pertama.

Sejak saat itu dunia terpisah. Mayapada untuk Dewa dan Dewi serta makhluk kahyangan. Madyapada untuk Bhuta. Marcapada untuk manusia. Dewa-dewi puas dengan Mayapada. Para Manusia bersyukur akan tentramnya Marcapada. Namun Bhuta tidak puas dengan Madyapada.

Melalui batas Dunia yang tidak dibangun secara sempurna, para Bhuta memasuki Marcapada dari delapan celah yang terbuka.

Delapan Gerbang Senja.

Irawati sepenuhnya percaya semua cerita-cerita kuno itu benar, walaupun sekarang tidak banyak orang yang percaya di tengah semua kemajuan teknologi ini.

Kaum Londo mengontrol semua media massa dan kurikulum pendidikan sejak dini. Sementara kaum rakyat tertinggal karena hanya berpegang pada kisah-kisah leluhur tanpa tahu ilmu yang lebih luas, kaum Priyayi dan Nigrat yang menjadi tumpuan seakan lumpuh karena mereka berpuas hati dan merasa tidak perlu melakukan apa pun selain hidup aman dan nyaman di dalam lindungan Pelindung Kota yang rapuh seperti kaca.

Memang ada warisan leluhur yang diwariskan secara lisan, tapi para Londo itu memanipulasi pengetahuan dengan mengubah semua bahasa menjadi bahasa yang tidak rakyat kenal. Mereka memaksa semua orang kembali menjadi buta huruf kendati para pande fasih berbicara lima bahasa dari lima negara berbeda. Lima negara yang bukan Nederland.

Sejak kedatangan Londo, penggunaan dan eksploitasi terhadap Rakta ditingkatkan ke level yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kemudian, entah apakah ada hubungannya atau tidak, semenjak penggunaan Rakta ditingkatkan, keberadaan para manusia yang memiliki anggota tubuh Bhuta semakin sering dilihat.

Dan sebutan untuk mereka pun semakin sering digaungkan: Siluman.

"Siluman itu apa, Ibu?" Irawati mengingat pertanyaannya sendiri kepada sang Ibu ketika masih kecil. Pertanyaan itu ia ajukan tatkala belum memahami apa itu Siluman. Mata kecilnya memerhatikan perbedaan yang terlihat jelas, tapi benaknya yang naif belum bisa memahami.

"Mereka kotor!" Irawati ingat ibunya bicara dengan ketus. "Jangan dekati mereka. Mereka berbahaya. Jika kamu melihat mereka di jalan, lempari saja mereka dengan batu!"

Namun neneknya memiliki pendapat berbeda saat mengajak Irawati ke hutan dan diam-diam merawat seorang Siluman perempuan yang memiliki telinga dan ekor persis seperti seekor kucing. Warnanya putih bersih, seperti kabut dan awan di langit.

"Mereka sama seperti Manusia lainnya, Neng Geulis." Neneknya berkata dengan lembut sembari mengoleskan ulekan daun binahong ke luka gores di tangan Siluman perempuan itu. "Hanya saja mereka terikat lebih dalam dengan Dunia ... karena itulah mereka berbeda."

Irawati tidak mengerti apa arti kata-kata itu bahkan hingga ia dewasa berpuluh-puluh tahun kemudian. Hanya saja, saat itu Irawati memerhatikan mimik kesakitan sang siluman dan memahami sesuatu.

Siluman itu meringis, menitikkan air mata, dan mengaduh. Sama seperti Manusia. Dia terluka, terbaring, dan lemah, seperti manusia. Ia tersenyum, murung, dan bicara, seperti Manusia. Siluman itu berbaik hati dan memberi. Menerima dan mengasihi, seperti manusia.

Saat itulah Irawati mengambil kesimpulan bahwa ibunya salah dan neneknya benar. Siluman tidak ada bedanya dengan Manusia.

"Mereka adalah kita."

Sejak saat itu, Irawati hidup dengan jalan yang sama seperti neneknya. Ia mengasihi Siluman. Dan ketika tiba saatnya ia memahami bahwa Londo bukanlah berhak atas negeri ini dan segala isinya seperti yang selama ini ditanamkan ke benak Irawati, tibalah saatnya wanita itu untuk bergabung ke Laskar Pejuang, sebuah perkumpulan pemuda dan pemudi pejuang yang dibentuk oleh para pengasingan Kesultanan Banten di masa lalu.

Pada saatnya, perjuangan Laskar Pejuang jugalah yang mempertemukan Anjani dengan Damien.

"Namaku Damien. Hanya Damien. Dan aku seorang Siluman."

Pertemuan pertama Damien dan Irawati terjadi ketika pria itu membantu Markandra setelah sang suami menyelamatkan dirinya sebelum diperkosa beramai-ramai oleh serdadu Londo yang berhasil menangkap dan berusaha menginterogasinya.

Damien tidak ragu menunjukkan cakar dan taringnya. Dia tidak segan meraung untuk menunjukkan identitas sebagai Siluman, bahkan di depan para Londo yang bisa saja menyerahkannya ke pasar Budak.

"Aku orang Spanyol. Atau setidaknya itulah yang tertulis di dokumen Imigrasi-ku. Aku tidak begitu ingat karena sudah lama sekali. Tapi aku ingat harus pergi ke Tumasik bersama ibuku untuk mencari tahu kabar soal Andalusia."

Sebagai seorang pemuda yang tidak memiliki nama keluarga, Damien hidup seorang diri di sebuah gubuk di tengah desa yang terpencil di tepian hutan. Damien menyembunyikan suami istri itu di kediamannya, membahayakan dirinya dan segenap desanya. Desa yang mungkin menjadi satu dari sedikit desa yang bisa menerimanya dan menjadi tempat tinggalnya.

"Jangan khawatir. Semua orang di desa ini berjuang bersama kalian."

Meski bukan anggota laskar mana pun, Damien rela merawatnya dan Markandra tanpa bayaran. Orang-orang desa pun selaras dengan Damien dalam membantu mereka berdua. Semua orang bergerak tanpa pamrih dan tak kenal takut. Sejak saat itu, Irawati menganggap Damien saudaranya.

"Aku percaya negeri ini pantas menggenggam takdirnya sendiri!" Damien berkata pada suatu hari dengan semangat berapi-api. "Akan aku sebarkan perjuangan kalian agar kita semua bersatu! Dan kelak seluruh pulau di negeri ini bersatu dalam panji perjuangan yang sama!"

Itu terdengar seperti visi yang mustahil dan sebatas angan. Ada ribuan Bhuta berkeliaran di luar Pelindung pulau Jawa. Langit dan lautan dikuasai Bhuta. Jika ingin bepergian, pesawat atau kapal laut itu harus dilengkapi persenjataan lengkap. Jarak yang ditempuh pun tidak boleh lebih dari seratus lima puluh kilometer. Sementara semua maskapai dimiliki oleh Londo. Jika ada yang curiga Irawati adalah pejuang, alih-alih diperbolehkan menumpang, Irawati akan langsung dilemparkan ke lautan penuh Bhuta.

Kemudian, sekalipun entah bagaimana mereka bisa menggemakan perjuangan melintasi laut dan langit, semua moda transportasi melarang adanya Siluman di atas armada mereka. Sekalipun kami bisa bersatu, Damien mungkin tidak akan bisa melihatnya.

Namun rupanya Damien bukannya buta akan kenyataan dan kemungkinan pahit itu.

"Tidak apa-apa," Damien berkata pada suatu hari. "Jika tidak bisa pergi, aku akan bicara. Jika tidak bisa bicara, aku akan melihat. Jika tidak bisa melihat, aku akan mendengar. Jika tidak bisa mendengar, aku bisa merasakan. Dan ketika aku merasakan kebebasan itu, aku akan menyampaikan kabar kemenangan kalian sejauh yang aku bisa."

Irawati percaya padanya. Pada kekuatan keajaiban yang dimiliki Damien.

***

Malam itu pilar cahaya membelah langit

Beberapa hari kemudian, baru Irawati menyadari datangnya pilar itu adalah dari Batavia. Suara ledakannya menggelegar membangunkan mereka yang tertidur dan membunuh mereka yang lemah dalam lelap. Anginnya menerbangkan rumah-rumah yang tidak cukup kuat dan menghanyutkan mereka yang terombang-ambing di laut.

Saat itu Irawati berani bersumpah langit memerah darah. Kemudian puuhan Bhuta memaksa masuk ke dalam Pelindung Kota. Barisan Pejuang mereka kehilangan banyak orang baik malam itu.

Ketika Irawati datang ke Batavia untuk menyelidiki, ia benar-benar dibuat tidak bisa berkata-kata karena hampanya kota yang sebelumnya gemerlap padat oleh teknologi itu.

Semua orang dan bangunan lenyap. Hanya ada tanah rata tanpa apa pun sejauh mata memandang. Markandra kehilangan kontak dengan markas yang berada di sana. Semua orang tewas tanpa ada yang tersisa. Mereka pun kehilangan kontak dari Damien yang memutuskan pindah ke Batavia sejak dua tahun lalu.

"Itu kecelakaan mengerikan di laboratorium Rakta."

Sepenggal kalimat itulah yang menyebar dan dipercayai di seluruh Jayagiri, kota terdekat yang selamat dari tragedi yang menimpa Batavia. Aneh memang, tapi Jayagiri tidak terkena dampak ledakan yang begitu besar. Kawasan kumuh menderita paling banyak, tapi seperti kota-kota lain di dunia, tidak peduli berapa banyak pun korban berjatuhan di distrik penuh orang-orang miskin yang hanya ditakdirkan untuk hidup dan mati sebagai budak, simpanan, atau pekerja paksa, tidak akan ada yang memerhatikan mereka.

"Itu sebuah kecelakaan."

Entah bagaimana, semua orang memercayai itu. Seolah mereka sering melihat Pilar cahaya raksasa terbang membelah langit setiap harinya. Mereka dengan cepat lupa dan Batavia pun terisolasi hanya untuk Pemerintahan dan para Londo penyelidik yang bertugas entah untuk apa.

"Jika memang semua itu hanya kecelakaan, kenapa mereka mengisolasi kota itu?"

"Kenapa tidak langsung membangunnya kembali?"

Pertanyaan itu keluar dari mulut Markandra. Sama bingungnya seperti Irawati. Kemudian, seolah alam menjawab kebingungan mereka, petunjuk-petunjuk bersama dengan keanehan pun bermunculan. Dimulai dari kabut yang sering turun dari wilayah bekas Batavia, suara serta penampakan yang seperti sosok Bhuta keluar dari balik kabut tanpa ada bukti maupun jejak kaki terlihat, serta laporan misi yang sering kali tersendat karena banyaknya tentara yang hilir mudik di luar batas kewajaran di sekitar bekas Batavia.

"Mereka sedang menyelidiki sesuatu," Markandra menyimpulkan. "Kenapa? Bukankah sudah jelas itu kecelakaan? Apa lagi yang perlu diselidiki? Kecuali ... itu bukan kecelakaan."

Aneh, aneh, dan aneh. Irawati dan Markandra kebingungan, tapi tidak bisa berbuat banyak. Mereka punya tujuan lain. Mereka punya misi hidup dan mengurus kota mati bukan bagian dari misi itu.

Sampai malam itu tiba, ketika Damien tiba-tiba muncul di depan pintu rumah Markandra dan Irawati.

"Maaf...." Pria itu berada dalam kondisi yang tidak pernah dilihat Irawati sebelumnya. Tubuhnya penuh bilur dan luka, mongering maupun baru. Beberapa memar tampak di tubuhnya. Kaus asing yang kebesaran dua ukuran membungkus tubuhnya dengan asal-asalan, membiarkan malam menggigit sisa kulitnya yang tidak terlindung. "Maafkan aku, tapi ... bolehkah aku menginap? Satu malam ... saja?"

Saat itu, Irawati ingat tubuh Damien berbau aneh. Ada aroma yang mirip asap dan darah. Tubuh pemuda itu juga tampak seolah habis melewati pertempuran panjang. Namun di atas semua itu, ada wangi aneh yang tidak bisa Irawati kenali dari tubuh Damien.

Wangi yang entah kenapa membuat sekujur tubuh Irawati bergidik ketakutan.

Meski demikian, keduanya tidak pernah bertanya. Keduanya tidak pernah mengusik Damien.

***

Seiring hari demi hari yang berlalu, Irawati menyadari sesuatu.

Sikap Damien berbeda. Damien yang biasanya berapi-api, justru lebih sering tampak murung dan terdiam. Ia lebih banyak menghabiskan waku berdiam diri di halaman belakang, mencorat-coret sesuatu. Irawati menyadari hal itu setiap kali kebagian tugas menjaga Damien.

"Aku pun merasa demikian," Rupanya hal itu juga diperhatikan Markandra. "Aku melihat tulisannya. Tidakkah kamu melihat tulisannya juga? Tulisannya tidak bisa kubaca. Bukan perkara tulisannya jelek. Tapi tulisan itu seringnya ditulis dalam tulisan lain yang tidak bisa aku baca."

Jika Markandra tidak bisa membacanya, Irawati pun pasti tidak bisa. Bahasa yang dikuasainya tidak sebanyak Markandra.

Sang suami bilang akan menyempatkan waktu untuk menyelidiki tulisan-tulisan itu sementara Irawati mengawasi Damien. Kali itu ia memergokinya menggambar sebuah peta berupa gugusan-gugusan pulau yang tidak ia kenali. Pulau-pulau besar.

"Peta apa ini?" Irawati memberanikan diri bertanya saat ia melihat Damien tidak bermaksud menyembunyikan peta itu dari mata Irawati. "Apa ini pulau-pulau?"

"Ini Nuswantara."

Jawaban Damien itu membuat Anjani mencelus. Bukan karena benar atau tidaknya jawaban itu. Sejak disatukan dalam Pergolakan Kedua, pulau-pulau di negeri ini memang disebut Nuswantara.

Tapi Nuswantara yang Damien gambar berbeda dari peta Nuswantara yang ada di buku-buku maupun peta Laskar. Itu Nuswantara yang tidak seorang pun kenali, kecuali Damien. Nuswantara yang mungkin hanya ada di kepala Damien.

Suara dan sorot mata Damien saat mengatakannya sama sekali asing bagi Irawati. Tidak seperti suara Damien yang bersemangat penuh hidup. Tidak ada api kehidupan yang membara laksana laki-laki belia dari sepasang mata merah itu. Yang ada hanya api yang berpendar pudar, yakin tapi kecil seperti api lilin. Sorot matanya sendu, seolah ia dalam keadaan teramat letih.

Dia sepenuhnya yakin kini, Damien berbeda.

"Hebat sekali kamu bisa menggambar semuanya." Irawati memaksakan diri untuk memuji walaupun tengah ketakutan setengah mati. "Apa kamu sudah berkeliling ke seluruh pulau di Nuswantara selama kami tidak ada di sisimu?"

Damien tidak menjawab. Dia tidak memberikan sepatah kata pun. Hanya tertunduk dan tersenyum entah kepada siapa.

Senyum Damien tampak sangat sedih. Mata pria itu berkaca-kaca, seolah akan pecah kapan saja.

"Apa ada yang terjadi?" Ketika Irawati bertanya demikian, Damien hanya menggeleng pelan.

Irawati menyerah. Ia tidak lagi bertanya macam-macam pada Damien. Hanya mengingatkannya untuk tidak lupa tidur dan istirahatlah yang menjadi keseharian Irawati sampai kesehatan Damien berangsur pulih, sesuatu yang kemudian juga memunculkan tanya ke benak Irawati.

Siapa kiranya yang melukai Damien sampai seperti itu?

Siluman memiliki daya regenerasi tinggi, jadi mereka bisa memulihkan diri dengan cepat. Tapi Damien butuh waktu berhari-hari untuk pulih. Senjata macam apa yang sudah melukai Damien? Irawati belum pernah mendengar ada senjata semacam itu, bahkan di antara para perwira Londo.

Irawati hendak menanyakan perihal senjata yang melukainya ketika Damien menggambar peta yang lebih besar lagi. Pemuda itu mengumpuk dan menempelkan kertas-kertas kecil di sekitar peta Nuswantara miliknya, mengubahnya menjadi satu peta raksasa.

Ada delapan lingkaran merah yang ditandai di beberapa titik di peta itu, diberi tulisan dengan aksara yang sekali lagi tidak Irawati mengerti. Seperti kata Markandra.

Kemudian, ada satu kata yang kendati tidak bisa dibaca, Irawati tahu kata itu kerap kali diulang oleh Damien dalam setiap tulisannya. Itulah kata yang sedang dicari artinya oleh Markandra.

Di tengah rasa penasaran itu, suaminya tanpa diduga kembali, membawa sebuah informasi yang hanya dibagi kepada Irawati tatkala mereka berjalan berdua saja di dalam markas Laskar Pejuang.

"Aku bertanya pada orang-orang dalam berbagai usia. Tiada yang tahu makna tulisan itu," Markandra menjelaskan sembari berbisik, takut tembok dan langit-langit mencuri dengar. "Tapi tahukah kamu ketika aku menemui seorang Rsi yang telah berumur? Dia tahu tulisan itu. Dia bilang itu tulisan di lontar kuno yang pernah ia pelajari. Hanya satu-satunya. Sebuah tulisan Sanskerta yang sudah punah."

"Lalu tulisan yang Akang bawa saat itu...." Irawati bertanya lagi, kali ini lebih hati-hati. "Apa Tuan Rsi tahu artinya?"

Markandra mengangguk. "Tapi Rsi itu tidak bisa memahami maknanya."

"Maksudnya?" Irawati mengernyit. "Rsi bisa membaca, tapi tidak mengerti artinya?"

Markandra mengangguk. "Tulisan itu rupanya hanya berupa satu kata, dan ia berbunyi...." Markandra menjeda sejenak. "Sandhikala."

***

Satu bulan sejak Batavia lenyap, Damien semakin menjauhkan diri.

Kadangkala Irawati yakin mendengar Damien menangis di malam hari, tapi tidak berani memeriksa. Tingkah laku Damien begitu misterius hingga Irawati ingat bahwa mereka berbeda. Damien Siluman sementara dia Manusia. Untuk pertama kali seumur hidup, Irawati paham betapa berbedanya mereka.

Kemudian, tiba-tiba saja di satu malam, rumah mereka tiba-tiba didatangi seseorang yang aneh. Orang itu berpakaian serba hitam dengan setelan mirip para Londo yang mengaku-ngaku bangsawan.

Namun pria itu aneh.

Pria itu membuat Irawati takut setengah mati. Padahal ia datang sendiri. Sementara Markandra berdua dengan Irawati dan bersenjata lengkap. Sesuatu yang tidak masuk akal terjadi malam itu.

Dengan mata sendiri, Irawati menyaksikan pria misterius itu mampu melakukan hal-hal mustahil. Pakaiannya, seluruh tubuhnya, seperti memiliki pikiran masing-masing dan bergerak hidup sesuai pikirannya. Pakaian itu berubah menjadi cambuk yang menyabet mereka, mempreteli persenjataaan dan melumpuhkan mereka.

"Aku tidak mau membunuh Manusia malam ini."

Pria asing itu sangat kasar pada Damien, tidak seperti pada Irawati dan Markandra. Irawati pun sadar, target utama pria itu adalah Damien.

Setelah pertarungan yang tidak berjalan seimbang, pria itu menang. Salah satu cambuk pria itu mengangkat tubuh Damien yang tergolek lemah ke udara.

"Kamu harus ikut kami ke Madyapada untuk mempertanggung jawabkan perbuatanmu, Keroco licik." Pria itu berkata kepada Damien dengan nada berbisa.

"Hentikan!" Saat itu, Irawati tidak mengerti, dari mana kekuatan dan keberanian ia dapatkan. Tapi pada kenyataannya, ia memang berdiri dan berseru pada pria itu, pria yang tadi dengan mudahnya menepis Irawati seperti menepis seekor lalat. "Apa maumu?! Kenapa kamu membawa Damien? Dia keluargaku! Kamu tidak berhak membawanya tanpa persetujuan kami!"

Biasanya dalam kemarahan, Irawati akan menyamakan lawannya dengan para Londo tak bermartabat yang hanya tahu mencuri dan mengambil alih.

Namun kali ini, lidahnya seolah kelu. TIdak bisa menyamakan pria itu dengan para Londo walau tindakan mereka mirip. Ada sesuatu yang asing dari pria ini dan belum pernah Irawati lihat, kendati pria itu berpakaian mirip kaum Priyayi Londo yang mengenakan jas pendek, kemeja, dan celana panjang serta sepatu hitam.

Sesuatu dalam fisik pria itu tampak tidak sewajarnya. Kulit pria itu putih pucat, terlalu pucat untuk ukuran Manusia. Terangnya bahkan membuat kulit para Londo tampak gelap dan kulit Irawati sendiri sehitam arang. Mata pria itu merah seperti mata Damien. Pria itu juga bertaring seperti Damien, hingga Irawati hampir berasumsi pria itu juga siluman.

"Maaf jika saya tidak sopan, Nona, tapi ini memang bukan urusan Anda sekalian." Pria itu menjawab dalam bahasa Melayu yang lancar. Selancar orang Melayu asli. "Ini bukan urusan Sekala. Ini urusan Niskala. Dan keluargamu ini, Nona, bersalah atas kerusakan Jayakarta."

Apa yang dibicarakan oleh pria itu tidak masuk akal. Sekala dan Niskala, Irawati hanya pernah mendengar istilah-istilah itu dari neneknya.

Sekala, segala yang tampak

Niskala, segala yang tidak tampak.

Apa hubungannya dua keniscayaan itu dengan Batavia? Jelas tidak ada hubungannya. Tidak masuk akal. Batavia itu tampak, dari segala arah. Tidak ada hubungannya dengan Niskala.

Irawati baru akan memprotes pernyataan tidak masuk akal itu, ketika Damien sudah bicara lebih dulu.

"Bukan aku!" Damien mengelak dengan keberanian dan suara berapi-api yang mengingatkan Irawati pada diri Damien dulu sebelum berpisah ke Batavia. "Aku tidak menghancurkan Batavia! Anda tidak bisa membawaku dari Sekala! Aku punya sesuatu yang harus dilakukan di sini! Segera!'

Pria itu dengan cepat berbalik ke arah Damien. Dan ia menyeringai. Sangat lebar. "Kamu rupanya tidak begitu pintar ya?" ujarnya. "Ini bukan permintaan. Aku diperintahkan menangkapmu."

"Tidak!" Damien berseru. "Aku belum bisa pergi dari sini!"

Embusan angin bertiup kuat ke sekeliling Irawati, merusak tanaman dan halaman belakang rumah mereka.

Markandra bergerak cepat dan berangkul Irawati. Melindungi istrinya sementara Irawati memejamkan mata kuat-kuat. Arus angin terlalu kencang untuk ditentang oleh matanya yang rapuh. Ketika ia membuka mata lagi, lampu-lampu di halaman belakang telah padam. Semuanya tenggelam dalan gulita yang membutakan.

Irawati membuka mata cepat-cepat saat sadar Damien masih bersama pria asing itu.

Alangkah terkejutnya Irawati saat sang pria asing dan Damien—Irawati berani bersumpah tidak berhalusinasi saat menyaksikan hal ini—berpendar dalam gelap. Seperti kunang-kunang di tengah malam gulita. Sosoknya seperti sesuatu yang lain. Sesuatu yang tidak berasal dari dunia ini dan hanya pernah didengar oleh cerita-cerita kuno neneknya.

Kisah para makhluk Niskala kuat yang seharusnya tidak lagi bisa memasuki alam makhluk Sekala setelah Pergolakan Pertama.

"Sedikit lagi...." Damien merintih. "Aku mohon ... biarkan aku berada di sini sedikit lebih lama lagi. Aku bisa membuktikan—mereka yang bersalah! Mereka sampai membawa-bawa Dayuh dalam hal ini ... tolong, biarkan aku pergi ... aku tidak bisa berbuat kesalahan lagi ... Mereka akan membangkitkan—

Irawati mendengar suara derak mengerikan yang tidak akan pernah lekang dalam ingatannya. Tangan Damien terpuntir. Cambuk hitam dari ujung baju pria itu memuntir lengan kanan Damien. Irawati termangu. Melihat darah dari orang-orang dan perjuangan selama ini adalah satu hal, tapi melihat darah itu keluar dari keluarga sendiri, adalah hal yang benar-benar lain.

"Aku tidak butuh mendengar alasanmu di sini." Kemudian pria itu berpaling ke arah Irawati dan Markandra. Ia membungkuk. "Senang bertemu dengan kalian."

Kemudian selubung asap hitam muncul dari sekeliling tubuh pria itu dan hal berikutnya yang mereka tahu, Damien lenyap. Hanya menyisakan halaman belakang rumah mereka yang berantakan dan mental yang patut dipertanyakan kewarasannya.

***

Bayang-bayang yang berayun membuat Irawati mengerjap. Wanita itu melirik ke samping dan mendongak, bertemu pandang dengan suaminya yang tersenyum hangat.

"Ada apa?" Irawati bertanya lebih dulu, tapi ia tidak menunggu jawaban. Tangannya kembali sibuk mempersiapkan perbekalan ke dalam tas kulit kecil yang akan dibawanya ke Bandung.

Di sebelahnya Markandra ikut mempersiapkan perbekalannya sendiri. "Akang boleh tahu apa yang menganggu pikiran Neng?"

Irawati tertegun. Suaminya selalu tahu. Ia sudah menduganya, tapi tetap ia tidak siap. Ia lantas terdiam. Tangannya berhenti bekerja. Tubuhnya berhenti bergerak. Sementara alam dan aktivitas di sekeliling mereka terus bergerak dengan cepat meninggalkan mereka.

Misi telah dibagikan. Tujuan yang jelas telah dikobarkan. Merebut gudang senjata di Dayeuhkolot, lalu melumpuhkan gudang dan pabrik pembuat Rakta di sana. Mereka bergerak dalam tim berenam. Markandra dan Irawati dalam satu tim untuk melumpuhkan gudang Rakta jika tim penggempur sudah mengambil alih gudang senjata.

Tapi pikiran Irawati sepanjang perundingan tidak berada di tempat. Pikirannya melanglang ke masa lalu. Tadi ia tidak merasakan apa pun, tapi kini setelah ditegur suaminya sendiri, ia tidak yakin.

Absennya konsentrasi dalam misinya sekarang bisa menjadi bumerang yang mematikan bagi misinya dan Irawati tidak mau menjadi penyebab kegagalan siapa pun. Tidak akan ada Damien untuk menolongnya kali ini jika ia membuat masalah.

"Saya memikirkan masa lalu, Kang," Irawati mengakui, berharap dengan demikian sedikit bebannya terangkat dan ia tidak lagi terlalu teralihkan. "Damien. Saya berharap dia benar-benar selamat."

"Dia pasti selamat," Markandra menghibur. "Dia mungkin berubah pendiam di hari-hari terakhirnya bersama kita, tapi kamu lihat sendiri, kan? Dia tetap melawan sampai akhir."

Irawati tidak terhibur. "Tapi pria itu ... dia bukan Manusia, Mas. Dia makhluk Niskala."

"Dan Damien pun bukan Manusia biasa," Markandra merangkul istrinya. "Dia akan baik-baik saja. Dia kuat, sama seperti kita."

Kuat, kata penghiburan itu menelusup masuk ke dalam diri Anjani sehingga sekalipun batinnya masih tidak bisa menerima, ia bisa mengulum sedikit senyum. Irawati pun membalas rangkulan Markandra dengan menggenggam erat tangan pria itu.

Tiba-tiba barisan pipa komunikasi di atas kepala mereka bergemeretak. Ada suara bergema dan menggetarkan aliran pipa besi. Salah satu anggota Laskar membuka katup pipa yang mengarah ke ruangan mereka. Suara Janata bergema dari alat itu.

[Perhatian, misi ditunda! Aku ulangi, misi ditunda sementara!] Suara Janata sarat akan kemarahan.

Semua orang bertanya-tanya. Kemudian, tepat setelahnya, suara Janata kembali terdengar.

[Ada serangan! Sekali lagi, aku ulangi! Ini bukan percobaan! Ada serangan!] Pengumuman itu membekukan darah semua orang. [Perumahan Rakyat perbatasan Jayagiri!]

Markandra dan Irawati saling bertatapan. Serangan di Permuahan Rakyat dan mereka yang dirasa Janata perlu mendengarkan ini hanya bisa berarti satu hal.

[Serangan Bhuta!] Janata mengumumkan ketakutan semua orang. [Ada Bhuta menyerang Jayagiri!]

***

A/N:

Saya berikan sedikit kisah mengenai latar dunia ini. Bab depan kembali akan berfokus ke Anjani. Semoga dengan penjelasan ini, ada sedikit yang bisa dipahami. 

See you next chap, jangan lupa vote dan komentarnya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro