7. Menyusup & Menyelidiki

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Anjani memiliki beberapa misi kali ini. Sialnya, misi itu tidak hanya berisi buronan yang harus ia tangkap, tapi juga Siluman untuk diselamatkan dan misteri untuk dipecahkan.

Di dalam mobil, Anjani mengetuk-ngetuk dasbor sembari berpikir. Tiga misi untuk diselesaikan. Dua target dan satu kasus.

Kasus pertama. Kemunculan sosok yang dituduh masyarakat sebagai Dayuh dari Ghirah. Serikat Pemburu Hadiah mengeluarkan imbalan separuh dari harga normal upah buronan. Artinya pemerintah pusat tidak menganggap kasus ini sebegitu serius untuk ditangani. Mereka mungkin hanya mengira ini gosip yang membesar dan ada seseorang yang jahil memanfaatkannya untuk meresahkan masyarakat. Anjani tidak begitu mempermasalahkannya, sebenarnya, karena warga-warga di negara ini menurutnya memang perlu diberi sedikit pelajaran.

Tapi jika orang itu membawa nama Dayuh dari Ghirah, ia tidak bisa membiarkannya. Sementara itu,

Target pertama adalah pemuda pribumi biasa yang sering menampakkan hidung di Batavia di tengah malam buta dengan jadwal dan jam yang tidak bisa diperkirakan. Tidak ada identitas resmi soal dirinya tapi para saksi mata mengaku tidak melihat organ Siluman dari tubuhnya, artinya kemungkinan besar ia manusia. Dia selalu beraksi di kala malam hari dan sulit ditangkap, entah karena para automaton kelas Delem yang menjaga perbatasan Batavia sudah buta ataukah memang negara ini sudah sebegitu payahnya. Bayaran untuk kepala pemuda ini lumayan untuk ongkos menginap selama seminggu, jadi dia menerimanya. Tapi di atas semua itu, ia membutuhkan bocah malang itu untuk target keduanya.

Target kedua, adalah target pribadi. Upahnya lumayan, tapi misi ini mengharuskannya menolong seseorang yang sudah dicap sebagai tahanan oleh makhluk-makhluk Niskala. Dirinya juga harus membuktikan bahwa orang itu bebas dari apa yang dituduhkan kepadanya: penghancuran Batavia.

"Di sanalah yang sulit...." Anjani mendongakkan kepala, menatap langit-langit mobil sewaan Septian. Langit-langitnya berbau tinner cat dan warnanya suram. Tapi warna suram bagus untuk pikiran Anjani. Ia lantas memejamkan mata, memikirkan berbagai kemungkinan yang akan dilakukannya malam ini.

Pergi ke Batavia atau Buitenzorg untuk menyelidiki Dayuh?

Anjani lebih memilih ke Batavia. Buitenzorg baru sebatas rumor belaka. Lagipula pemuda yang menjadi targetnya mungkin akan muncul malam ini. Daripada menangkap ikan besar yang tidak jelas arahnya, Anjani merasa lebih baik melakukan pemanasan dengan menangkap ikan kecil yang sudah lebih jelas, apalagi jika ikan itu ada dekat sekali dalam jangkauan tangannya.

Sisanya tinggal jaminan keamanan dan memastikan jam operasi. Jangan lupakan berapa lama pengawasan yang harus dilakukan. Ini bisa memakan waktu dan mereka berisiko menjadi target kedua yang dicurigai jika seseorang melihat mereka atau mereka menunggu terlalu lama.

"Tapi apa yang bisa aku temukan di Batavia?" Anjani bergumam sendiri. "Apa ... yang aku cari? Apa yang bisa aku dapatkan....?"

Pemuda mencurigakan itu kelihatannya tidak melakukan apa pun selain ikut campur. Jadi Anjani tinggal menangkapnya. Pemuda itu mungkin tidak akan jadi alasan kuat untuk mengalihkan perhatian para Niskala kecuali memang terlibat dalam hal yang besar, tapi Niskala hampir mustahil dibohongi.

Satu-satunya cara hanya membuat perjanjian dengan mereka. perjanjian dengan tenggat waktu.

Sebuah kontrak.

Anjani kembali membuka mata, kali ini menatap foto pria misterius dari Divisi Lima pemberian Septian. Ia meminta Septian menyelidiki perbatasan Batavia sekadar untuk mengawasi apakah pemuda misterius itu muncul di siang hari, tapi rupanya mereka mendapatkan sesuatu yang lain. Septian juga mengatakan ada jejak atma biru di sana. Anjani mungkin tidak peduli apa yang terjadi pada Batavia atau penyebab kota itu hancur, tapi jika Nawadewata terlibat, itu lain urusan.

Senyum kecil muncul di bibir Anjani. Siapa dan apa yang kiranya akan ia temui malam ini di Batavia? Sebuah petunjuk, pemuda misterius targetnya, ataukah sang pria misterius dari Divisi Lima?

Kaca mobil Anjani diketuk. Wajah Septian muncul di kaca. Wanita itu segera menarik kunci mobil dan membuka pintu.

"Sudah selesai berpikir?"

"Sudah." Anjani menyerahkan kunci ke Septian dengan mudah. "Kamu sudah makan malam?"

"Sudah." Wajah Septian berubah kesal. Ia melirik ke belakang dan Anjani pun mengikuti arah pandang itu. Ada tiga gadis yang saling berbisik di jendela bar tepat di belakang mereka.

Wanita itu menyeringai, lalu tanpa malu, ia mendekap Septian, menenggelamkan wajah pemuda itu ke dadanya. Kemudian dengan sengaja, ia menjatuhkan mata di depan gadis-gadis itu saat mencium puncak kepala Septian. Tiga pasang mata melongo menatap kemesraan mereka.

Mengabaikan pemberontakan kecil yang dilakukan Septian, Anjani pun mengacungkan jari kurang ajar kepada tiga wanita itu dan mengatakan dengan lantang:

"Maaf, ya, Nona-nona!" Anjani melepaskan Septian, hanya untuk menangkup wajah Septian lebih dekat dan mengecup pipinya. "Tapi pria tampan satu ini ada kencan panas denganku."

Kemudian Anjani melemparkan kecupan jarak jauh ke arah tiga gadis itu. "Mungkin lain kali kalian bisa lebih beruntung."

Jari Anjani menyelip ke balik dasi pita yang melingkari leher Septian. Dengan gerakan anggun, ia menarik Septian seperti majikan dan peliharaannya. Lalu mereka melenggang pergi. Ia merasakan beberapa pasang mata mengikuti mereka di setiap langkah, tapi wanita itu mengabaikannya. Sampai ada yang berani menegurnya.

"Hei, laki-laki cantik."

Anjani berhenti, melirik ke samping kiri dan melihat seorang pria botak dan tambun yang terbungkus secara mengerikan dalam kemeja putih kekecilan, tengah bersandar di mobil merk Rickett di depan bar bersama tiga teman prianya. Anjani mengernyit saat mencium aroma alkohol murahan dan cerutu dari tubuh mereka yang bau keringat.

Mata dari keempat pria itu memandangi Anjani dari atas ke bawah, menilai kemeja, jas katun murah, celana, dan sepatu laki-lakinya yang bersol tipis dengan pandangan merendahkan. Mereka sengaja berlama-lama memandangi dada dan pinggul Anjani yang memang tidak ia tutup-tutupi.

"Kalau masih ada slot kosong...." Pria itu menyentuh selangkangannya lalu berkedip. Bahasa Nederland-nya sedikit ngawur karena mabuk. "Katakan saja."

Anjani membalas kedipan itu. "Akan aku ingat itu nanti, Tampan."

Empat pria itu langsung membelalak. Anjani mengabaikan keterkejutan mereka. Tidak mau tahu apa mereka kaget karena mereka tidak mengira dirinya perempuan ataukah dirinya berani menjawab. Yang mana pun, sama-sama menyusahkan baginya.

Mereka lanjut pergi ke arah Barat. Kali ini Anjani mempercepat langkah. Tapi suara para pria itu masih bisa menjangkau mereka.

"Mau ke mana kau, cantik? Di sana bukan wilayah yang bisa dimasuki wanita!"

"Apa kau tidak puas dengan Manusia, Nona?"

"Kau belum menjajal kami! Jangan menghancurkan tubuhmu dengan para Bhuta itu, Manis!"

Anjani menoleh untuk kali terakhir dan mengedip ke arah para pria itu, memberikan jawaban ambigu nan misterius kepada mereka sebelum mempercepat langkah dan menyeret Septian bersamanya.

"Akhirnya kena getahnya...." Septian bergumam di belakang Anjani.

***

"Seleramu untuk bar cukup lumayan," Anjani berujar sembari mereka berjalan bersisian. "Hidungku hampir mati rasa. Bir-nya benar-benar murahan."

"Tidak ada yang memintamu berlama-lama menggoda semua orang di sana."

"Oh ya?" Anjani mengeluarkan balasan yang terdengar seperti menantang. "Siapa yang butuh makan dan buang hajat?"

Septian hanya bisa menggerutu. Tidak lagi membalas sementara mereka berjalan di bawah naungan bayang-bayang malam dan gedung-gedung yang semakin sepi.

Di sekeliling mereka, tanda-tanda kerusakan dari tragedi Batavia masih terlihat. Rumah-rumah semakin rusak seiring langkah mereka. Dinding-dinding batu bata ditambal seadanya dengan kayu dan kain terpal untuk melindungi siapa pun yang masih cukup keras kepala untuk tinggal di dalamnya. Rumah-rumah saudagar kehilangan lantai dua rumah mereka, menjelma kembali menjadi rumah rakyat jelata. Toko-toko yang sebelumnya buka dan gagap gempita, berubah menjadi diorama yang menjadi saksi bisu tragedi.

Sementara bangunan-bangunan sekarat, perpohonan dan hewan tumbuh lebih subur. Anjani melihat beberapa pasang mata menyala dalam kegelapan milik musang, tikus, dan anjing bersembuyni saat mereka datang. Mereka tidak terpengaruh aura kematian yang kental terasa.

Di kejauhan, kabut dari Batavia merayap mendekat. Seperti tangan-tangan mengerikan yang mendekat secara diam-diam.

Suhu menurun dengan perlahan. Anjani mengembuskan napas. Kepulan uap putih berkumpul di mulutnya. Pohon-pohon bergemerisik saat angin dingin malam bertiup. Rambut panjang Anjani yang dikucir rendah berayun seiring angin yang membawa aroma debu, oli, aroma hangus, dan aroma lain yang familier.

Dengan lembut, Anjani bersembunyi di balik salah satu bayang-bayang pohon. Septian mengikuti dengan tenang di sebelahnya. Wanita itu mengecek jam sakunya. Sudah jam sebelas malam.

"Kamu yakin penjaga tidak ada di jam segini?" Anjani menutup jam sakunya dan menatap Septian. "Dan hanya ada automaton Delem yang mengawasi tembok?"

Septian mengangguk patuh. "Aku memerhatikan selama satu minggu. Selalu siklusnya seperti itu."

Anjani berpikir. "Hanya automaton dan belum pernah ada yang berhasil mendekati tempat ini...."

Saat tengah berpikir, tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar.

Langkah kaki dengan kekuatan menggetarkan tanah dan mengeluarkan suara berkelontang.

Anjani segera merapatkan punggung ke dinding, dan melongok. Matanya yang bisa melihat lebih jauh dari mata normal, melihat tembok Batavia di ujung pandang. Satu automaton Delem melangkah bagai bayang-bayang monster melintasi dinding besi dan beton yang menutupi sisa-sisa Batavia dari mata publik.

"Oh." Anjani mengangguk. "Setidaknya kamu tidak bohong soal Delem."

Septian memutar bola mata. "Aku tidak pernah—

Suara Septian dipotong oleh suara hantaman keras di tanah. Jauh lebih kuat dari langkah kaki automaton Delem.

Mereka berdua melongok kembali. Automaton raksasa yang mereka lihat berhenti bergerak. Anjani melihat sesuatu telah menghalangi langkah kaki Delem itu. Sesuatu teronggok di tanah, seukuran separuh tubuh Delem yang artinya apa pun onggokan itu, tingginya lebih dari setengah pal.

"Tadinya benda itu tidak ada di sana." Anjani menyadari. "Apa suara tadi adalah suara benda itu jatuh?"

Suara raungan kembali terdengar. Dari balik kabut, tepat di balik tembok pembatas Batavia, sesuatu bergerak. Sesuatu yang sangat besar hingga tingginya melampaui tembok. Mata wanita itu berpindah ke tanah, lalu menyadari onggokan itu adalah seekor beruang yang tidak lagi bergerak.

Mata beruang itu membelalak dengan rahang membuka lebar. Isi perutnya terburai dalam satu cabikan besar yang terdiri dari lima cakar. Automaton itu mengeluarkan sepasang pisau yang berputar dari balik tangannya, lalu memotong-motong tubuh sang beruang malang dan segera mengangkutnya potong demi potong, menjauh dari tembok.

"Apa itu ... beruang?" Suara Septian tercekat.

"Yah ... kelihatannya Delem itu tidak hanya menjaga penyusup datang dari luar," Anjani menyimpulkan. Berbagai kemungkinan tambahan menyesaki pikirannya. "Tapi juga menjaga apa pun yang ada di dalam sana tetap di dalam."

Ekspresi Septian menggelap oleh rasa takut.

"Malam ini kita hanya akan tunggu dalam radius dua ratus meter dari dinding." Anjani mengingatkan. "Kita lihat apa pemuda mencurigakan itu muncul atau tidak."

Jika ia muncul, artinya pemuda itu memang tidak kenal takut.

Anjani melangkah lebih dulu mendekati kabut. Kemudian ia berlari dan bersembunyi di balik benda apa pun yang cukup besar untuk melindungi tubuhnya. Septian merapat di sisinya.

"Pakai lensamu." Anjani memerintahkan Septian. "Kabut semakin tebal. Jangan terpisah dariku."

Di sebelahnya, Septian segera mengeluarkan goggle dengan lensa berwarna merah. Anjani berlari semakin kencang. Tembok Batavia semakin dekat. Rumah-rumah di sekeliling mereka berubah semakin kecil. Semakin lenyap. Semakin menjadi reruntuhan. Tembok berubah menjadi sekumpulan batu. Pintu berubah menjadi gelondongan kayu, jendela berubah menjadi serpihan-serpihan kaca. Tempat tinggal orang-orang berubah menjadi sarang para makhluk tak kasat mata dan pepohonan yang tumbuh lebat dan mengubah tempat ini menjadi hutan.

Di sekeliling mereka, kesunyian semakin terasa kental. Hawa keberadaan orang-orang memudar, menyisakan seolah hanya mereka berdua yang hidup di tempat itu.

Ketika pepohonan tumbuh cukup lebat untuk menutupi mereka, Anjani berhenti. Perempuan itu memanjat salah satu pohon sementara Septian memanjat pohon lain di dekatnya. Mereka lantas menunggu di atas dahan yang cukup tinggi dari tanah.

Dari dekat, suara-suara semakin kencang terdengar: angin yang berembus, lalu suara raungan misterius dari dalam tembok, bahkan kabut pun seakan mendesis. Tidak ada lagi suara binatang malam menyertai mereka, seolah binatang-binatang yang berkeliaran di bawah sana cukup takut untuk menimbulkan suara.

Di atas pohon getaran lebih terasa. Anjani menghitung dan memperkirakan Delem sementara terus mengawasi. Seekor burung keluar dari pohon karena terganggu aktivitas Anjani. Burung itu melintasi tembok. Anjani mengawasi burung itu terbang.

Tiba-tiba, sesuatu menyambar burung itu dari dalam dinding. Gerakannya terlalu cepat untuk ditangkap mata normal, tapi Anjani melihat sepasang cakar menangkap burung itu. Suara kaokan terakhir binatang itu terdengar nyaring sebelum kembali sunyi. Binatang malang itu tidak lagi terlihat.

"Kamu yakin pemuda misterius itu datang saat malam hari?" Anjani mendadak ragu.

"Aku belum buta, Anjani," Septian mengingatkan dengan kesal, tapi Anjani mendengar sedikit ketakutan dari nada bicaranya. "Aku tidak tahu bagaimana dia bisa keluar dan masuk sesuka hati tanpa dicaplok dedemit apa pun yang ada di dalam sana, tapi itulah kenyataannya."

Anjani mendebas. "Oke, kita tunggu sampai fajar tiba."

***

Fajar sepertinya datang terlambat.

Baru kali ini Anjani merasa pagi seolah tidak akan pernah datang. Dengan kabut yang semakin tebal seiring waktu, menunggu dua belas jam terasa bagaikan selamanya. Septian tidak lagi terlalu terlihat dari balik kabut, tapi Atma-nya masih ada, jadi Anjani tidak khawatir. Wanita itu merogoh saku dan melihat jam. Sudah jam dua pagi.

Dua jam lagi penyelidikan hari ini akan selesai.

Atau tidak.

Pancaran atma tiba-tiba menari di penglihatan Anjani. Sulur-sulur energi itu mengalir dari bawah, tepat di bawah pohon tempat Anjani bersembunyi.

Atma merah.

Anjani mengikuti arah aliran sulur-sulur pancaran energi dari atma Sekala itu. Bukan dari Septian. Atma pemuda itu masih ada di sisinya. Anjani kemudian mendengarkan dengan seksama, menyadari ada suara langkah kaki yang samar. Bukan langkah kaki Delem atau kaki monster yang menggetarkan tanah.

Benar-benar langkah kaki Manusia.

Langkah itu terdengar semakin dekat. Pancaran atma merah itu semakin kuat.

Di tengah kabut, Anjani hanya bisa melihat kelebatan bayang-bayang kelabu yang melangkah di bawah pohon tempatnya berlindung. Pancaran atma itu mungkin terang, tapi selama ia tidak bisa menyaksikan siapa yang datang, pengintaian ini sia-sia.

Pancaran atma itu bergerak tenang mendekati tembok Batavia.

Di saat yang sama, Anjani mendengar suara langkah kaki Delem mendekat. Anjani menunggu. Degup jantungnya meningkat karena antusiasme. Saat langkah para Delem terdengar semakin dekat, Anjani mendengar suara lecutan yang mirip pistol pegas. Kemudian pancaran atma itu bergerak naik.

Dari balik celah kabut, Anjani melihat sosok pemuda memanjat tembok.

Wajah pemuda itu tidak terlihat. Hanya punggungnya yang ditutupi kemeja coklat dan celana panjang hitam yang terlihat. Anjani seketika tertegun.

Senyum perlahan terkembang di bibir Anjani.

Rupanya yang menghampiri mereka lebih dulu adalah petunjuk.

Ada kemungkinan pemuda itu bukan target yang mereka incar, tapi tidak ada cara lain untuk memastikannya.

"Psst!" Anjani mendesis ke arah atma Septian berada, sembari melirik sesekali ke tanah, mengawasi jika ada pancaran atma lain. "Septian! Hei!"

Tidak ada jawaban.

Tidak sabar, Anjani pun turun lebih dulu. Ia melangkah ke pohon tempat Septian bersembunyi dan menendangnya.

"Hei, Septian!" Anjani mendesis marah. Ia mendongak, mencoba mencari bayang-bayang Septian di balik kabut, tapi nihil. "Hei! Apa kamu tidur di sana? Hei!"

Dedaunan jatuh di sekitar Anjani saking kerasnya tenaga wanita itu. Satu hingga tiga kali, tapi semuanya membuahkan hasil. Anjani mendongak dengan jengkel.

Tiba-tiba, sebuah benda jatuh di kaki Anjani. Wanita itu menunduk. Kacamata goggle milik Septian jatuh di dekat kakinya.

Tanpa Septian.

Anjani membelalak kaget luar biasa. Di tali goggle itu, sebuah pisau lipat dengan mata Rakta yang menyala terang di badan tengahnya diikat. Benda itu memancarkan atma Sekala.

Pusaka tipe Pemancar.

"Sial!" Anjani menyumpah serapah, lalu mengedarkan pandang ke sekeliing, mencari Septian atau siapa pun yang sudah tahu mereka ada di sini.

Nihil. Ia tidak melihat apa-apa.

Anjani mendecih. Keduluan tidak pernah terasa menyenangkan, apalagi jika sampai keduluan di saat seperti ini. Dengan cara yang sama sekali tidak pernah ia duga.

Siapa yang melakukannya? Anjani bertanya-tanya. Siapa yang bisa mengelabuinya?

Telinga Anjani yakin sekali tidak mendengar apa pun selama mengawasi. Sosok yang sering dilihatnya adalah Delem dan yang terakhir adalah pemuda misterius itu. Pemuda yang dilihatnya tadi juga tidak mengenakan baju milik Septian. Proporsi badannya juga lebih tinggi dan berisi dari Septian yang lebih mirip tusuk gigi berjalan.

Tapi jika bukan orang yang mengenalnya dengan baik, siapa yang kiranya bisa mendahului seorang Siluman di tengah kabut seperti ini?

Tiba-tiba sebilah pisau menodong leher Anjani. Bilah dingin besinya bergesekan dan melukai kulit Anjani dengan mudah, memberi ancaman bahwa pisau itu bukan sembarang tajam. Sedetik kemudian, pancaran atma merah Sekala dalam jumlah lusinan banyaknya mengelilingi Anjani. Suara Delem terdengar menjauhi Anjani sekali lagi.

"Ah, ya ... pintar sekali." Anjani bersuara. "Menggunakan suara Delem untuk mengelabui pendengaranku. Kalian pintar, aku akui itu."

Embusan angin bertiup kencang dari belakang Anjani, menyingkirkan kabut dan atma yang mengeliinginya. Dan dalam waktu singkat, Anjani telah dikepung.

Selusin lebih orang mengelilingi Anjani. Wanita itu mengernyit memandangi orang-orang yang berhasil meringkusnya.

Tidak ada atma.

Pusaka Peredam.

Pertama pusaka Pemancar. Kedua, pusaka Peredam. Anjani menyadari ketidak normalan itu.

Orang-orang yang meringkusnya ini bukan orang biasa.

Semua memakai penutup wajah yang menutupi seluruh kepala. Mata mereka tertutup goggle hitam. Anjani memandangi mereka satu per satu dan tidak melihat perbedaan: tinggi dan ukuran tubuh semua orang yang mengelilinginya sama. Anjani mengendus: aroma mereka semua pun sama.

Tidak, Anjani mengoreksi dirinya sendiri. Mereka memakai trik untuk mengelabui penciuman Siluman.

"Bisa kalian lepaskan pisau ini dulu?" Anjani menyentuh ujung pisau itu. "Aku tidak bisa—

Alih-alih dilepaskan, pisau itu justru mencekik lehernya semakin dekat. Anjani mengembuskan risih. Para manusia misterius ini tidak mau bicara.

Mata Anjani lantas berkeliling sekali lagi, mencari-cari Septian, tapi nihil. Tidak ada Septian di mana pun. Kegelisahan merayap di punggung Anjani.

Di mana Septian?

"Selamat malam."

Anjani melirik ke depan, ketika barisan orang di hadapannya terbuka membentuk satu garis lurus. Seorang pemudi maju dari balik barisan.

Pemudi itu tidak memakai penutup kepala seperti yang lain. Ia membiarkan rambut hitamnya yang dikucir dalam gelungan formal terlihat. Rambutnya hitam dan tampak kaku tanpa ada satu helai pun yang keluar dari gelung.

Perempuan itu muncul dan berjalan dalam langkah tanpa suara yang sangat terkendali. Sepatunya bersol rata dan tebal: ciri yang efisien untuk bertarung.

Pemudi itu tidak lebih tua dari seorang gadis. Mungkin berumur dua puluh tahun ke atas, tapi tidak sampai menyentuh angka tiga puluh tahun. Matanya sehitam sabak. Wajah dan kulitnya adalah warna pribumi, dengan rahang yang ramping, dagu yang kecil menggantung, bibir tipis pucat, dan mata yang kuyu tapi menyorot tajam. Sama seperti yang lain, atma miliknya tidak memancar. Dari sekilas pandang, tidak ada organ Siluman dari tubuhnya, jika memang ada sesuatu di balik pakaian rapat serba hitam itu.

"Kamu Manusia?" Menjadi pertanyaan pertama Anjani yang keluar malam ini.

Perempuan itu berhenti dua langkah dari Anjani. Tangannya disembunyikan di balik punggung dalam sikap istirahat sempurna. Anjani menyadari tubuh dan punggung pemudi itu tegap dan terlatih. Sebuah luka memanjang dari balik kerah tinggi sang pemudi, berakhir di pipinya, menggores wajah yang seharusnya sempurna itu dengan seribu cerita yang tidak tersampaikan.

Gadis itu tersenyum dan Anjani merinding. Senyumnya tipis dan tidak tulus. Jelas-jelas mengatakan kalau dia tidak berniat bersahabat sedikit pun dengan Anjani.

"Menurutmu?" Ia melempar balik pertanyaan tadi dengan bahasa Melayu yang tajam.

Tingkah laku dan cara dia mengucapkan selamat malam tadi jauh dari aksen Melayu atau suku mana pun. Lidah para Londo.

Londo ireng.

Gadis itu mengenakan pakaian yang sama seperti selusin orang yang mengelilingi mereka. Hanya sebuah sabuk yang melilit pinggangnya yang memiliki lambang kepala singa yang diukir di atas pelat peraklah yang menjadi pembeda. Sebuah perhiasan. Jelas menandakan derajatnya yang lebih tinggi. Anjani menatap langsung mata pemudi itu. Ia tersenyum.

Anjani mengedikkan bahu. "Manusia?"

"Dari mana kamu berpikir begitu?"

Anjani kembali mengedikkan bahu. "Tebakan beruntung?"

Kemungkinan besar memang begitu karena Londo tidak pernah bisa melihat Siluman tanpa kalung Budak. Sementara semua orang di sekelilingnya tidak mengenakan belenggu Budak di leher mereka.

Tapi Anjani tidak mau meremehkan.

Gadis itu sekali lagi tidak memberi reaksi. Anjani mencebik. Ini tidak akan mudah.

"Maaf, Nona, saya tidak bisa membungkuk karena seperti yang Anda lihat..." Anjani mengetuk pisau di lehernya. "Leher saya sedang sakit sekali."

"Tidak apa-apa," Gadis itu menjawab tenang. "Aku sudah biasa tidak dihormati."

Anjani memutar bola mata secara terang-terangan. "Senang mendengarnya."

"Kamu punya warna mata unik. Dan bisa berputar di dalam rongganya. Itu sebuah kelebihan." Gadis itu berkomentar sarkas. "Tapi aku rasa matamu tidak bisa mengenali situasi, bukan? Karena itulah kamu ada di sini padahal larangan menuju Batavia sudah ditempel di seluruh penjuru sampai kali terakhir aku lihat, satu detik yang lalu."

"Ya, aku memang buta huruf." Anjani membalas dengan sarkasme yang sama.

"Senang mendengarnya," gadis itu tidak terpengaruh. "Setidaknya aku jadi bisa mengurangi satu alasan kalian melakukan pelanggaran."

"Pelanggaran apa?" Anjani mendebat. "Aku hanya mendekati tembok. Ayolah! Masa hanya karena itu aku akan dihukum? Kamu bercanda kan?"

Perempuan itu balas tersenyum. Tanpa kata.

Firasat Anjani buruk.

Kemudian suara gemerisik terdengar di belakangnya. Anjani menggeser pandangannya. Dua orang lagi muncul dari belakang sang gadis. Dua orang lagi yang tidak disadari Anjani. Mereka berdua mendekat ke arah sang gadis lalu melewatinya, tepat ke arah Anjani.

"Alasan." Anjani mengulangi kata-kata gadis itu. "Bukan hukumannya."

Perempuan itu tersenyum. "Bukan."

Anjani merasakan jantungnya mencelus dalam dada.

Septian berlutut di tanah, dengan kedua tangan terikat di punggung. Seikat kalung logam mengelilingi lehenrya. Batu Rakta yang melekat pada gelang batu itu tidak menyala merah, tapi sinar kuning pertanda kunci bagi belenggu itu menyala. Pertanda jika Septian cocok dengan belenggu itu. Ada sekumpulan nomor tercetak di sana.

Anjani menjaga lisannya terkunci. Namun tidak ada yang bisa ia lakukan pada ekspresinya tadi. Ia melirik gadis yang tengah tersenyum itu. Ia pasti sudah melihat perubahan ekspresi Anjani tadi. Tidak mungkin melewatkannya. Hanya tinggal selangkah lagi, prasangka di dalam kepalanya akan terbukti dan Anjani tidak akan membiarkan itu.

012.

Nomor di leher Septian menegaskan ia adalah barang milik Divisi Lima. Meski akhir bagi mereka akan sama saja, Anjani tidak mau memberi alasan bagi orang-orang ini untuk memperlakukan Septian dan dirinya lebih dari sekadar penjahat.

"Kamu membawa sesuatu yang menarik...." Gadis itu melanjutkan. Kali ini dengan wajah keji. "Sangat menarik"

Gadis itu meraih kepala Septian, menyeretnya beberapa langkah. Septian memberontak saat tubuh dan pakaiannya semakin ternodai tanah dan debu. Tapi dengan belenggu itu, tenaganya tidak banyak berarti.

Tubuh pemuda itu lantas dicampakkan ke tanah. Wajahnya nyaris menyentuh tanah.

Septian hendak bangkit kembali, tapi kaki pemudi itu menginjak punggungnya. Menggenapkan penghinaannya dengan menghantamkan hidung Septian ke tanah.

"Sekarang katakan padaku, Nona Asing," Gadis itu memberi perintah dengan arogansi yang sulit diabaikan. "Apa tujuan kalian ke Batavia malam ini?"

Dengan barang milik Divisi Lima ada bersamamu, Anjani hampir bisa mendengar lanjutan pertanyaan itu di udara.

Nah, Anjani berpikir. Sekarang bagaimana cara aku harus berimprovisasi dari semua ini?

***

============

Pal 

Satuan hitung jaman dulu. Jika disamakan dengan skala sekarang, 1 pal = 1,5 meter

============

A/N:

Mereka langsung saya buat tertangkap di chapter ini. Aksi kecil akan terjadi di chapter depan. Dan akan saya ungkap sedikit identitas Anjani.

Jangan lupa vote dan komentarnya. See you next chap!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro