3. Kecurigaan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Keesokan hari, Banyak Seta membawa jenazah Kuwuk yang telah dibersihkan ke sebuah makam yang berada di lereng Gunung Arjuna. Hanya Banyak Seta, Wingsil, dan Weling yang mengantarkan jenazah Kuwuk ke tempat terakhirnya. Kompleks makam itu berupa sebuah area di tengah hutan yang pohon-pohonnya besar.

Pada zaman ini, jasad orang meninggal dari kalangan rakyat jelata tidak dikuburkan atau dibakar. Ada yang dibuang ke sungai atau laut, namun sebagian lagi ditinggalkan di ceruk pohon besar di tengah hutan keramat, lapangan kosong, atau gua-gua. Anjing dan binatang pemakan bangkai akan menuntaskan tugas mengembalikan raga orang mati ke bumi. Beberapa hari kemudian, keluarga akan memeriksa kembali jasad itu. Bila dagingnya habis, berarti pertanda baik. Bila tidak habis, keluarga akan mengambil sisa tulang belulang lalu membuangnya ke sungai atau laut[1].

Bukit kecil tempat meletakkan jenazah ini gelap dan udaranya terasa berat. Angin dingin berembus perlahan mengelus kulit, seperti membawa hawa menusuk dari alam bawah. Segera saja, bulu roma ketiga orang itu berdiri. Kuda-kuda mereka bahkan membuat aksi mogok, tidak mau memasuki area angker itu. Mereka terpaksa meninggalkannya di kaki bukit.

Kesan angker tempat pemakaman ini bukan hanya karena keberadaan arwah orang mati. Konon, para penganut Bhairawa Tantra aliran kiri kerap mengadakan ritual rahasia di tempat ini. Mereka bisa bersemadi di depan jenazah. Bahkan kabarnya, ada upacara untuk menghidupkan orang mati. Banyak Seta sendiri tidak pernah berjumpa dengan penganut aliran rahasia itu. Namun dua abad yang lalu, seseorang di Desa Girah dikabarkan pernah melakukannya[2].

Ada aroma tak sedap memenuhi udara karena tak jauh dari situ terdapat jasad yang belum lama ditinggalkan. Terlihat anjing hutan tengah menyantapnya. Namun, binatang-binatang itu kabur manakala tahu ada manusia memasuki area itu.

Jasad Kuwuk yang telah dibungkus rapi dengan tikar diletakkan di kaki sebuah pohon beringin besar. Mereka meletakkan sesaji bunga-bunga, makanan, serta dupa, lalu bersembahyang untuk kedamaian jiwa Kuwuk.

Pikiran Banyak Seta terus berkecamuk sejak kemarin. Ia jelas berduka kehilangan teman masa kecil yang sudah seperti saudara. Namun, kabar yang dibawa Kuwuk dan nasib malang yang dialaminya lebih membuatnya prihatin.

"Siapa saja yang tahu tentang barang bawaan Kuwuk?" tanya Banyak Seta saat mereka bersiap meninggalkan area hutan.

"Tidak ada. Hanya kita bertiga," jawab Weling. Tabib itu masih kerabat Banyak Seta dan sama-sama berasal dari Hujung Galuh. Ia pandai meramu jamu dan mempunyai ilmu yang cukup tinggi. "Seta, perasaanku tidak enak sejak semalam."

Banyak Seta mengangguk. "Saya juga merasa begitu. Sebaiknya, Paman dan Wingsil pergi ke tempat aman sementara saya menyelidiki kasus ini."

Weling setuju. "Apa tidak lebih baik bila aku dan Wingsil pergi ke Matahun untuk mencari tahu keberadaan ayahmu?"

Banyak Seta menggeleng. "Itu namanya mencari bahaya, Paman, bukan bersembunyi."

Weling menepuk bahu Seta. "Sejak kapan aku sudi bersembunyi?"

"Kalau begitu, sebaiknya Paman mampir di Pawitra, bertemu Guru," usul Seta.

Guru yang ia maksud adalah Mpu Nadajna, pemimpin kadewaguruan[3] di lereng Gunung Penanggungan[4], tempat ia pertama kali belajar menjadi abdi negara di usia delapan tahun. Kadewaguruan Mpu Nadajna juga menjadi tempat putra-putra bangsawan belajar. Banyak Seta bahkan digembleng bersama Dyah Wijaya. Bisa dikatakan, ia tumbuh bersama sang Pangeran. Karena itu, tidak heran bila di kemudian hari ia diangkat menjadi pasukan elite Dyah Wijaya dan bergabung bersama prajurit-prajurit setia lain seperti Lembu Sora, Rangga Lawe, Nambi, Gajah Pagon, Dangdi, Banyak Kapok, dan Pedang[5]. Ia juga menjadi salah satu dari empat panglima yang berasal dari daerah Jenggala selain Mahisa Pawagal, Pamandan, dan Wiragati.

Mereka kemudian berjalan menuruni bukit dan menemukan dua kuda mereka tengah merumput.

"Ayo, Wingsil. Kamu ikut aku!" ucap Weling sambil meloncat naik ke punggung kuda abu-abunya.

"Tuan Weling, kita langsung berangkat ke Matahun?" Mata Wingsil berkedip-kedip ketika otaknya berputar memikirkan perintah Weling.

"Iya, ayo naik!"

"Sa-saya ... saya belum pamitan, Tuan." Wingsil menunduk takut.

"Pamitan dengan siapa?" tanya Weling.

Kepala Wingsil semakin tertunduk. "Tidak ada, tidak ada, Tuan. Saya salah bicara."

Banyak Seta segera menimpuk kepala bawahannya. "Pamitan dengan Gendhuk, ya? Paman Weling hanya bercanda. Kita pulang ke rumah dulu untuk mengambil bekal."

Wingsil mengembuskan napas lega. Ia segera naik ke kuda Weling. Namun, saat kedua kuda mulai dihela, mendadak Banyak Seta menarik tali kendali sehingga kudanya berhenti.

"Ada apa?" tanya Weling.

Banyak Seta memberi isyarat untuk diam. Dengan mata awas memindai kondisi sekitar, ia turun dari kuda sambil mencabut keris. Weling segera membuntuti pemuda itu dan ikut menghunus keris.

Pendengaran tajam Banyak Seta segera menangkap pergerakan dari balik rumpun perdu hutan. Ia berlari mengejar. Matanya sempat menangkap dua bayangan melesat cepat menjauh. Dua sosok lelaki muda yang menutupi wajah mereka dengan selendang.

"Hey! Siapa kalian!" seru Banyak Seta sambil memburu kedua orang itu ke tengah hutan. Sayang, ia ketinggalan jauh. Sebentar saja, jejak mereka tak terlihat lagi.

"Seta, sepertinya kita harus memeriksa Kuwuk," ucap Weling.

Banyak Seta setuju. Keduanya kembali naik ke bukit, ke tempat jenazah Kuwuk ditinggalkan. Seketika, mereka terbelalak. Tikar penutup tubuh Kuwuk telah tersingkap. Bahkan posisi badannya yang semula telentang, kini tengkurap dengan baju berantakan seperti bekas digeledah. Sesaji yang semula tersusun rapi pun, kini berserakan di tanah.

"Kurang ajar! Apa yang mereka cari?" geram Seta.

"Aku rasa, mereka mencari barang-barang yang dibawa Kuwuk semalam," sahut Weling.

"Gawat! Paman dan Weling jangan pulang ke rumah, langsung saja berangkat ke Pawitra."

"Kamu benar!"

Mereka segera menuruni bukit, lalu menghela kuda-kuda. Rombongan itu berpisah di ujung desa. Banyak Seta kembali ke ibukota, sedangkan Weling dan Wingsil melaju ke utara.

_________________

[1] Tata cara pemakaman era Jawa Kuno ini ditulis berdasarkan catatan Ma Huan dalam berita Cina (1413-1415 M atau 1335-1337 Saka) tentang situasi kehidupan di Majapahit. Karena cerita ini berlatar tahun 1214 Saka atau 1292 M, dan tidak selisih terlalu jauh, kemungkinan besar tradisi itu sudah ada sejak masa ini.

[2] Berdasarkan kisah dalam Serat Calon Arang, yang menceritakan seorang janda sakti dari Desa Girah yang diduga mempraktikkan Tantra Kiri pada zaman pemerintahan Airlangga.

[3] Kadewaguruan adalah perguruan yang mengajarkan ilmu agama dan diduga juga menggembleng ilmu bertempur. Guru-gurunya biasanya pendeta yang disegani baik oleh kalangan rakyat jelata maupun istana.

[4] Gunung Pawitra adalah nama kuno Gunung Penanggungan, yaitu gunung yang dianggap suci sejak masa Medang, Kahuripan, hingga Majapahit. Terletak di selatan Sidoarjo. Ada ratusan situs kuno di wilayah ini.

[5] Nama-nama prajurit setia Dyah Wijaya ini disebutkan dalam Kitab Pararaton.

🌼🌼🌼

Yuk mampir di cerita teman-teman Jurusan Fiksi Sejarah.

Suka cerita era Kolonial. Cerita tentang Hardi ini pasti akan membuatmu baper. Yuk, mampir di lapaknya fidy23_



Masih mengambil latar era Kolonial. Cerita ini akan menguak kehidupan para artis di masa itu. Artis? Penasaran, kan. Langsung aja cuuus ke lapaknya elsyjessy_

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro