4. Debaran

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gayatri bersimpuh di atas balai-balai kayu berukir di kamar pribadinya. Pagi ini, setelah mandi, ia dikelilingi para emban. Seorang merapikan rambutnya dengan sisir perak berhias batu giok hijau. Hijau adalah salah satu warna kegemarannya. Hijau melambangkan kehidupan dan kesejukan hati. Namun demikian, ia juga menyukai warna merah dan putih. Putih itu lambang kesucian dan kemurnian. Sedangkan merah, layaknya darah, memberi gairah hidup, serta melambangkan kekuatan dan keperkasaan.

"Cepat sedikit, Ni Cemplon," desak Gayatri. Beberapa kali ia mendesah resah karena sang emban tak kunjung selesai mengurus rambutnya. Wajah oval Gayatri kini merengut. Bibir bulat kemerahannya manyun panjang. Alis yang semula melengkung rapi, kini saling bertaut.

"Sebentar, Paduka Putri. Rambut paduka yang sangat halus dan hitam ini harus diolesi minyak rambut agar berkilau," kilah Cemplon seraya mengusapkan minyak urang-aring yang dicampur tetesan minyak cendana sehingga aromanya sangat harum. Menata rambut Gayatri yang lebat dan panjang sepunggung adalah tugas yang harus dilakukan dengan hati-hati. Bukankah rambut adalah mahkota para wanita?

"Duuuh, Ni! Sudah, segitu saja minyaknya. Saya tidak suka rambut yang kempel, kena panas sedikit kulit kepala saya gatal," protes Gayatri lagi. (lengket, menyatu, tidak tergerai)

"Baik, Paduka Putri." Cemplon akhirnya menyerah. Tangannya bergerak hendak membuat sanggul.

Gayatri tahu, Cemplon sangat teliti bila menyanggul rambutnya. Hasilnya memang rapi dan indah, akan tetapi sangat memakan waktu.

"Diikat saja, Ni!" perintah Gayatri.

"Lho, nanti berantakan, tidak rapi seperti ekor kuda," bantah Cemplon.

Sementara itu tiga emban lain menahan senyum melihat keduanya. Perdebatan seperti itu terjadi hampir setiap hari. Gayatri yang tidak sabaran melawan Ni Cemplon yang ingin junjungannya tampil serba sempurna. Tanpa bicara, mereka memasangkan gelang lengan terbuat dari emas dan berhias permata. Sepasang perhiasan itu membuat kulit Gayatri yang kuning langsat semakin berkilau. Selanjutnya, sepasang gelang tangan menyusul menghiasi pergelangan Gayatri. Jemari lentiknya juga diperindah dengan cincin emas.

"Seperti ekor kuda pun tidak apa-apa. Ni Cemplon sendiri bilang rambut saya hitam dan bagus. Pasti akan tetap bagus walau digerai sekalipun!" Gayatri tak mau kalah.

"Duh, Paduka. Saya nanti dimarahi oleh Paduka Tribhuwana bila Paduka Gayatri tampil tidak rapi." Cemplon kembali protes, namun tidak sanggup melawan kekerasan hati tuan putrinya. Dikepangnya rambut panjang Gayatri secepat mungkin, lalu ditekuk membentuk lengkung. Untaian itu, kemudian diletakkan di bahu kiri, sehingga membuat penampilannya terkesan manis.

"Nah, tinggal menyusupkan tusuk rambut, Paduka," ucap Cemplon. Jemarinya menyelipkan tangkai hiasan rambut di belakang kepala Gayatri.

Selesai dengan rambut, Cemplon memoles wajah ayu Gayatri dengan bedak. Dalam sekejap, raut oval yang memiliki hidung mungil mancung dan dagu yang runcing itu tampak jauh lebih segar. Cemplon tidak pernah bosan mengagumi kecantikan junjungannya.

"Sudah selesai?" tanya Gayatri seraya membuka mata.

"Sedikit lagi, di bagian leher dan bahu," jawab Cemplon.

Ucapan Cemplon dibalas Gayatri dengan embusan napas tidak sabaran. "Ini sudah terlalu siang, Niiii!"

"Sedikiiit, lagi. Biar merata, Paduka. Nanti kalau belang-belang, apa kata Paduka Wijaya bila melihatnya?"

Bibir Gayatri semakin manyun. "Kenapa semua harus dihubungkan dengan Kanda Wijaya?"

"Lho, lalu harus dihubungkan dengan siapa, Paduka?" balas Cemplon, telak.

Gayatri bungkam. Bukan karena tidak bisa mendebat Cemplon. Oh, ia sangat ahli dalam hal bantah-membantah. Namun, seraut wajah yang mendadak mengambang dalam angan membuatnya malas berkata-kata. Angan Gayatri pun melayang ke pelataran kesatrian, tempat Banyak Seta melatih para prajurit. Wajah bergaris tegas, bercambang halus, dan sepasang mata bermanik hitam yang menyorot tajam, sangat sulit untuk ditepis begitu saja dari benak. Sosoknya tegap dan berotot. Pikiran nakal Gayatri tergugah. Bagaimana rasanya bergayut di bahu kekar itu?

"Lho, pipi Paduka menjadi merah!" seru Cebluk yang sedari tadi mengamati wajah junjungannya. Ia segera menutup mulut agar tawanya tidak meledak.

"Pasti teringat Paduka Wijaya," sahut Cupuk.

"Bukan, bukan. Pasti teringat yang satu lagi!" tampik Candil, yang langsung dibalas cibiran oleh Gayatri.

"Paduka, hamba masih belum mengerti mengapa Paduka menanyakan tentang rencana pindah Tuan Seta? Dari mana Paduka mengetahuinya?" tanya Candil lagi, yang terkenal iseng.

"Hush!" tegur Cemplon. Cupuk dan Candil langsung diam dan menunduk.

Tentu saja, Gayatri tidak akan menjawabnya. Pertanyaan tentang kepindahan itu hanya akal-akalan untuk berkomunikasi dengan Banyak Seta. Soalnya, pemuda itu akhir-akhir ini seperti menghindar, selalu saja sibuk dan pergi ke luar kota. Ia jadi kehilangan separuh napas.

"Paduka, hamba mohon jangan mendekati Tuan Seta lagi. Beliau panglima andalan Paduka Wijaya. Tanggung jawabnya pasti sangat berat. Bagaimana bila nanti tugas-tugas beliau terganggu?" saran Ni Cemplon.

Gayatri sangat paham akan hal itu. Jumlah pasukan khusus tidak banyak, namun kekuatan mereka setara dengan ratusan prajurit biasa. Seorang pasukan elite bisa berfungsi sebagai pengawal pribadi kerabat dekat raja, bisa pula diutus sebagai telik sandi, atau pemimpin pasukan tempur bila terjadi peperangan besar. Tentu saja, Banyak Seta akan selalu sibuk. Tapi, masa seorang panglima tidak boleh bersenang-senang barang sekejap? Ia sangat yakin Banyak Seta pun merasakan rindu yang sama. Walau tidak pernah terucap, sorot mata dan perhatiannya menyatakan hal itu.

"Saya tidak akan mengganggunya, Ni," sahut Gayatri. Begitu wajahnya selesai dibedaki, ia turun dari balai-balai. Dua emban lain dengan sigap memasangkan gelang kaki.

"Ni Cebluk, sabuknya yang warna hijau," perintahnya.

Cebluk segera memasang sabuk sutra halus ke pinggang Gayatri, untuk membuat lilitan kain batiknya menjadi kuat. Pinggang itu begitu mungil, kontras dengan dada, pinggul, serta pantat yang semakin berisi. Setelah itu, ia memasang hiasan pinggang dari emas yang bentuknya seperti untaian bersusun. Terakhir, ia mengalungkan hiasan dada yang menjuntai di atas gunungan yang membusung.

"Duh, Paduka Putri sudah semakin menjadi wanita," puji Ni Cemplon. Momongannya telah beranjak dewasa. Ia merawat Gayatri sejak bayi sehingga rasa sayangnya telah seperti kasih seorang ibu kepada anak kandung sendiri.

"Paduka hendak ke mana pagi ini? Mengapa buru-buru sekali?" tanya Cemplon.

Gayatri hanya mencibir, lalu segera melesat keluar ruangan. Di depan istana putri, terdapat halaman luas yang dilapisi batu sungai yang putih dan bulat-bulat. Susunannya sebagian kotak-kotak. Di beberapa tempat, terutama di dekat kolam ikan, taman bunga, dan sekeliling pohon sawo kesukaan Gayatri, batu-batu itu disusun membentuk pola melingkar yang indah. Gayatri berjalan cepat setengah berlari melintasi halaman itu menuju pintu keluar yang berbentuk gapura tinggi.

Tahu junjungannya pergi, Cemplon kaget dan bergegas turun.

"Cebluk, Cupuk, Candil! Kenapa diam saja? Cepat susul Paduka Gayatri, jangan dibiarkan pergi sendiri!"

Keempat emban itu pontang-panting mengejar junjungannya yang telah melintasi halaman istana putri raja menuju gapura. Hanya butuh beberapa detik, Gayatri telah menghilang di balik gerbang.

"Padukaaa, tunggu!" seru Cemplon. Ia berusaha menyusul sang junjungan dengan berlari menaiki tangga gapura. Gerbang itu berbentuk mirip candi mini yang memiliki undak-undakan batu bata di kedua sisinya. Karena tidak hati-hati, Cemplon tersandung. Ia pasti menghantam arca di kaki tangga andai Cebluk dan Candil tidak segera menangkap tubuh tambunnya.

Cemplon akhirnya didudukkan di tangga. Napasnya terengah dan jari kakinya terasa nyeri.

"Ya ampun, kuku jempol Ni Cemplon terlepas!" seru Candil.

"Ah, sudah, sudah! Biarkan saja. Cepat kalian temani Paduka Gayatri!" perintah Cemplon.

Sementara itu, Gayatri menyusuri lorong di lingkungan istana yang mengarah ke bagian belakang, menuju area dapur. Seseorang sudah menunggunya untuk menyerahkan bungkusan besek berisi daging kambing dan ayam panggang. (wadah berbentuk persegi dan memiliki tutup, terbuat dari anyaman bambu)

Setelah menerima besek daging, Gayatri melesat ke jalan kecil di balik pendopo utama istana. Seseorang selalu melewati lorong yang diapit dinding batu bata itu setelah melapor pada atasannya.

Gayatri menunggu beberapa waktu di kelokan. Namun, orang yang ditunggu tak kunjung muncul.

Sejenak, Gayatri memandang langit timur. Ketinggian matahari sudah lewat dari perkiraan. Ah, ia terlambat! Gara-gara Ni Cemplon, ia kehilangan kesempatan berpapasan dengan seseorang. Pasti Banyak Seta sudah keburu sampai di tempat pelatihan prajurit. Padahal daging dalam besek ini khusus ia pesan dari dapur untuknya.

Dengan hati kesal, Gayatri membalikkan badan, lalu mengambil belokan ke kanan, di mana terdapat jalan menuju istana para putri. Karena kesal niat hatinya tidak kesampaian, ia berjalan asal saja sambil memandangi besek di tangan. Mau diapakan bungkusan ini? Mau dimakan sendiri pun ia sudah tidak berselera.

Sebuah ide muncul di benak Gayatri. Lebih baik besek ini ia antarkan saja untuk kakak sulungnya, Tribhuwana. Bukankah sang kakak sedang hamil muda? Kata orang, daging kambing sangat bagus untuk membentuk bibit yang unggul. Gayatri pun membalikkan badan dan bergegas menuju kediaman kakak sulungnya. Ia berjalan cepat memasuki sebuah belokan.

Bruk!

Tahu-tahu, badannya menabrak seseorang. Sebenarnya, ia sama sekali tidak limbung. Namun, orang itu dengan sigap menahan punggungnya agar tidak jatuh. Saat mengangkat wajah untuk melihat siapa yang menangkap tubuhnya, mata Gayatri segera melebar. Orang yang dicari ternyata berada di sini!

"Ka-Kanda Seta?" Gayatri tergagap. Jantungnya serasa kram. Baru kali ini ia bersentuhan dengan seorang lelaki. Dunia mendadak berhenti berputar.

Banyak Seta segara menyadari kelancangannya. Ia melepaskan tubuh Gayatri dan segera menunduk memberi hormat. "Maafkan hamba, Paduka."

"Ah, ti-tidak apa-apa," ucap Gayatri lagi. Segera diangsurkannya besek daging ke hadapan Banyak Seta. "Ini untuk Kanda."

Banyak Seta menerima bingkisan itu dengan bimbang. "Paduka, hamba tidak pantas menerima ini."

Alih-alih menjawab, Gayatri malah mengalihkan perhatian. "Kanda Seta mengapa berada di sini?"

"Oh, hamba akan menghadap Paduka Wijaya. Beliau tidak ada di pendopo agung, sehingga hamba mencarinya ke sini."

Gayatri mengulas senyum manisnya. Matanya yang cemerlang seketika membuat jantung Banyak Seta kram. Ia terpaksa menunduk agar tidak semakin kacau.

Untuk sejenak, keduanya kehilangan kata-kata.

"Saya ... saya harus kembali ke keputren," pamit Gayatri akhirnya. Ia segera melesat pergi karena tidak sanggup menahan debaran hati lebih lama lagi.


🌼🌼🌼

Mampir yuk di karya teman-teman Fura.

Yang pertama, bercerita tentang dua orang yang terhubung karena surat ajaib dari kakek dan nenek buyut mereka. Akhirnya, mereka terpaksa menyelesaikan sebuah misteri agar bisa hidup tenang. Yuk, ke lapaknya RoxanaMusai



Yang kedua, tentang kisah percintaan Putra Mahkota dan istrinya yang mengalami kemalangan di malam pertama mereka. Kalau Sobat suka kisah saeguk, mampir yuk di lapaknya kireiskye

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro