01|| Bunga Kalkulus Vs Aska Radio

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Bagaimana mungkin engkau menjelaskan fenomena biologis yang sedemikian penting seperti cinta pertama dalam pengertian Kimia dan Fisika?

- Albert Einstein -

💫

SMA Astrokaltra Mika adalah SMA impian bagi seorang gadis yang tak memiliki mimpi sama sekali. Baginya, sekolah di mana pun, tujuan ia hanya satu, mendapatkan uang. Sekolah hanya menjadi hal penting kedua untuknya. Tapi semesta selalu memberikan sesuatu hal yang sempurna baginya. Kecerdasan. Sejauh mana ia menjauh, namun takdir selalu mendekatkannya.

"Nandita!" Seseorang melambaikan tangan di tengah lapang. Tangannya membawa sebuah kresek hitam sembari mengacungkan padanya.

Nandita tersenyum, ia berlari mendekati sahabatnya, lantas mengajaknya ke suatu tempat.

"Wahhh, kamu benar-benar membeli jaket itu?" seru Nandita sembari menghabiskan roti krimnya.

"Jelas, harganya lebih murah. Lumayan, seperti senior bukan?" Gadis itu mengangkat alis bergaya.

"Kan jaket SMAnya bakalan berubah, ngapain beli juga?"

"Setidaknya, ini adalah bentuk kebahagiaanku karena diterima di sekolah ini!" Tangannya membentang, hidungnya menghirup udara yang begitu ber--

"Ohok-ohok! Bau apa ini?"

Nandita tertawa melihat tingkahnya. Namun, ia terhenti saat sesuatu menganggu penciumannya.

"Ehm, bau apa ya?" Nandita menatap Laksita--sahabatnya.

Keduanya membalikkan wajah pada tempat duduk mereka. Di belakang memang ada sebuah rumput setinggi bahu mereka saat duduk. Tapi mereka juga dapat melihat seorang pria menaruh sesuatu di bawah sana.

Nandita berdiri dan berjalan memutar untuk menemui pria tersebut. Laksita ikut di belakang Nandita.

"Maaf, itu apa ya?"

Pria itu membalikkan badannya. Tersenyum ramah dan melambaikan tangannya.

"Itu apa kak? Lagi enak-enak makan jadi gak selera karena baunya!" decak Laksita menatap lesu.

"Ini sesajen."

"HAH!" Nandita dan Laksita terperanjat. Bagaimana bisa sekolah terbaik ini menggunakan sesajen? Memang sih, seperti sesajen, dalam piring tersebut banyak daun-daun dan makanan yang mereka tak ketahui.

"Ini bukan apa yang kalian maksud, tenang saja. Kalian sendiri akan tau nanti, oh iya, bentar lagi Aska Radio akan tampil. Mau liat?"

Tanpa bertanya-tanya lagi, akhirnya mereka mengikuti pria tersebut ke Gedung Festival Klub. Tempat duduk yang nyaman seperti bioskop dan panggung yang begitu luas saat dipandang. Suasana di gedung begitu meriah dan bising.

"Aska Radio, habis ini!"

"Oke oke, untuk siswa-siswi baru, penampilan selanjutnya dari klub Bunga Kalkulus!"

"Bunga kalkulus? Hahahah, kayaknya cocok buat kamu Nan," seru Laksita tertawa.

"Bunga kalkulus adalah klub untuk orang-orang cerdas. Hampir semuanya mereka dari MIPA. Kalian MIPA?" jelas pria tersebut yang duduk di sebelah Laksita.

Nandita menengok, "Aku MIPA, dia IPS"

"Memang, apa serunya itu klub?" tanya Laksita.

"Bunga Kalkulus itu seperti ilmuwan sekolah ini. Mereka sering bereksperimen dan sering menjuarai kejuaraan nasional terkait bidang sains!"

Nandita tertarik, apalagi ia melihat sesuatu yang menakjubkan. Hukum Fisika, Matematika, Kimia dan Biologinya sangat kental.

"Mengapa kalkulus? Sepertinya, hal-hal yang mendasarinya adalah kalkulus!" Nandita sumringah, ia mengepalkan tangan. Jatuh cinta pada pandangan pertama terhadap klub tersebut. Takjub pada apa yang dilihatnya.

"Tapi sebelum itu, aku harus menyinkronkan jadwalku dengan jadwal part time!" batinnya menghela napas perlahan.

"Aska Radio? Iya, katanya klub ini punya beberapa ramalan buruk. Bagaimana kalau kita pergi saja?!"

"Aska Radio? Sepertinya aku tak tertarik!"

"Aku bergidik ngeri saat kakak kelasku menceritakan ramalan tentang Aska Radio!"

Eh, Nandita mengerutkan keningnya, saat mendengar desas-desus tentang klub yang akan tampil selanjutnya. Saat ingin bertanya, pria tadi hilang begitu saja. Laksita yang di sampingnya, bahkan tak merasakan kepergian pria tersebut. Hampir semua orang pergi meninggalkan gedung ini. Tersisa hanya beberapa orang saja. Nandita dan Laksita saling tatap, mengangkat bahu dan menatap panggung gusar.

Suasana kembali hening, Nandita dapat melihat jelas pria yang mengenakan jaket biru tuanya. Duduk dan lengannya meraih earphone besar. Memakainya, lantas merapihkan mejanya, sebelum ia memakai michrophone wireless jepit.

"Itukan, kakak yang tadi?" Laksita menerka-nerka apa yang terjadi barusan. "Apa sesajen itu?!"

"Jangan ngadi-ngadi! Itu bukan pria tadi, jaketnya doang yang sama."

"Eh iya juga si," imbuh Laksita.

Di mejanya terdapat sebuah komputer kecil yang tak menghalangi wajahnya. Keyboard dan beberapa peralatan elektronik lainnya.

"Astrokaltra Mika! Selamat siang!"

Nandita termangu, ia menatap lesu sekaligus terpana. Ingatannya selalu kembali pada ia membaca puisi dulu. Menjadi pusat perhatian, namun ia benci itu lagi. Benci menjadi lampu yang menyala satu-satunya. Bukankah, lampu lain seharusnya bisa melakukannya?

"Kembali lagi bersama Akmal Fazwan, dari jurusan Bahasa yang akan memandu waktu kalian hingga lima belas menit kedepan. Untuk sesi pertama ini, saya akan membacakan cerita-cerita romansa yang dikirim oleh kalian lewat email kami!"

Nandita tak berkedip, memandang paras pria di sana yang menurutnya tampan. Netranya indah, guratan di wajahnya tegas, mampu membuatnya begitu tampan. Tatkala senyum, begitu manis bagi penglihatan Nandita.

"Owh, cerita ini sangat mengagumkan. Seorang anak lelaki dari jurusan Bahasa menyukai gadis jurusan MIPA. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Emm, sepertinya pengirim ini hanya menuliskan 'tak bisa bersama hingga akhir' owhhhh, sungguh menyayat hati bukan?"

Suaranya yang khas, dan intonasinya membuat penonton terhibur dan mengikuti suasana.

"Aku sama sekali tak tertarik!"

💫

"Selamat datang, siswa-siswi baru SMA Astrokaltra Mika!"

Kembang api diluncurkan begitu saja. Suasana riuh sekaligus membahagiakan orang-orang yang di sana. Festival pemilihan klub telah dibuka. Bagi siapa saja yang ingin mengembangkan minat dan bakatnya mereka tinggal mendaftar pada stand-stand yang berjajar dengan rapih. Kurang lebih, ada empat puluh klub di SMA ini.

"Jadi, mau masuk klub mana?" Laksita berusaha menyamakan langkah Nandita.

"Yang waktu luangnya hari Selasa, Rabu, Jum'at dan Minggu. Soalnya di hari itu, aku kerjanya malam. Sedangkan, hari lainnya, aku kerja dari sore selepas pulang sekolah," jelas Nandita menghampiri salah satu stand.

"Bunga Kalkulus, tentu saja aku akan masuk!"

"Uu, mengerikan. Gitu dong, aku dukung kamu," seru Laksita memberi jempol.

Setelah daftar, Nandita tersenyum lebar, jadwal klubnya tak bentrok dengan jadwal kerjanya.

"Kalau gitu, antar aku, aku mau daftar Aska Radio," ucapnya yakin dan menarik lengan Nandita kasar.

"Hmm"

Nandita tak bisa menyembunyikan gejolak aneh dalam dirinya saat mendengar klub tersebut. Entah mengapa, ia begitu kesal dan senang melihatnya.

"Lihat, satu-satunya stand yang kosong!"

"Kalau kosong kenapa? Bukankah lebih baik? Jadi, aku bisa masuk lebih mudah. Na na na!" Laksita berjingkrak-jingkrak dan tertawa. Segera mendaftar.

Deg!

Jantung Nandita serasa meledak, saat netranya menangkap pria di atas panggung kala itu. Sedang duduk manis dan menyambut mereka dengan ramah. Tak bisa ia kendalikan, pasalnya, ia dapat melihat pria itu lebih dekat. Bulu matanya cantik, bibir merahnya begitu memesona.

"Kamu tidak mendaftar?"

"Ee .. eee ... Enggak enggak!" Nandita tersenyum kikuk.

"Kenapa?" Laksita menatap heran.

"Padahal, saya bersyukur lho jika kamu masuk klub ini! Saya lihat, sepertinya kamu pintar berbicara? Dari suaramu sudah keliatan!"

Nandita menghela napas. Pipinya merah merona lantas dengan cepat mengatakan, "Hormon Norepinephrine! Kalian tau? Hormon ini adalah hormon yang membuat gugup seseorang"

"Jadi, jika ada seseorang yang kita sukai ada di dekat kita, maka detak jantung akan meningkat, dan kita akan mengalami gangguan fungsi otak salah satunya berbicara," lanjut seorang pria membawa sebuah dus berukuran sedang. Menatap mereka dengan tersenyum.

Nandita kelabakan, ia segera memalingkan wajah, memutar tubuh dan pergi begitu saja. Laksita tersenyum jail.

Akmal hanya tersenyum, lantas beralih pada pria yang membawa dus.

"Ehmm, sepertinya aku tau apa yang terjadi." Laksita berkata lantang.

"Diem!"

"Nandita Sasya Kamila, akan mengatakan hal aneh saat ia mulai jatuh cintaaaaaa," imbuh Laksita dengan tangan kanan di depan mulutnya, seolah itu adalah mic.

"Ihhhh!"

Nandita menatap kesal, lantas tertawa bersama di tengah-tengah hamparan orang lalu lalang.

"Laksita? Kau ikut Aska Radio? Klub terburuk?"

Tiba-tiba saja, tawa mereka terhenti saat mendengar sebuah kalimat yang kurang baik.

"Kalian tidak tau tentang klub tersebut?"

"Memang ada apa?" seru Nandita terlebih dahulu.

"Bukankah, kalian lihat tadi? Standnya kosong bukan? Hanya ada beberapa anak yang berani masuk ke dalamnya!"

"Sudahlah, Kenn, jangan basa-basi, ada apa?"

Pria tersebut berdehem, lantas menyuruh mereka mendekat.

"Ada 5 ramalan buruk tentang Aska Radio!"

"RAMALAN?!"

💫

Nandita melakukan peregangan pada tubuhnya. Sesekali menguap, lantas menghela napas perlahan. Angin berhembus menyapa permukaan kulitnya. Langit sudah hitam, tapi bulan dan bintang tak menunjukkan raganya. Hanya langit yang hitam nan pekat.

Nandita mendekap sebuah buku yang ia beli barusan. Selepas dari sana, ia segera pergi ke rumah pamannya. Ah, Nandita bekerja di restoran pamannya. Ia menjadi pelayan di sana. Sebuah rasa syukur, Nandita diberi pekerjaan untuk membantu ekonomi keluarganya.

Saat berjalan, tanpa sadar ia menabrak seseorang yang sedang membawa dus berukuran kecil. Nandita meringis, namun ia terkejut saat isi dus itu jatuh kemana-mana.

"Ah, maafkan aku." Tanpa melihat siapa pria tersebut, Nandita segera berjongkok, mengambil buku-buku yang jatuh.

"Tak apa, lagian ini bukan salahmu. Merenung di tengah jalan, adalah hal yang terbaik bukan?"

Nandita menghentikan pergerakan tangannya. Wajahnya menengak, lantas netranya beradu dengan netra indah di hadapannya. Bulan mulai muncul, bersamaan dengan perasaan aneh yang dimiliki Nandita. Tatapannya begitu lembut, mampu membuat hatinya tak karuan.

Nandita segera berdiri dan merapihkan tas selempang kecil miliknya.

"Eh, kamu orang yang tadi ya?" Akmal membuka pembicaraan.

Nandita mengangguk.

"Kamu sakit?" tanya Akmal tiba-tiba.

"Hah? Eeee enggak enggak," jawabnya tersenyum simpul.

"Mengapa pipimu merah?"

Diantara bulan yang bersinar, gelapnya malam, dan buku yang berserakan, tangan pria yang ia ketahui bernama Akmal, meluncur begitu saja. Memegang dahi Nandita dengan punggung tangannya. Binar Nandita membulat dan napasnya sedikit menderu.

Lengang sejenak.

Nandita segera menepis tangan tersebut dan berseru, "Hormon Oxytocin, iya iya! Kamu tau hormon ini? Hormon ini akan membuat atau menimbulkan rona pada wajah saat oksigen dan nutrisi menyatu dalam wajah. Aliran darah yang deras berakibat pembuluh darah kapiler melebar!"

Akmal melongo, ia menatap heran.

"Ah, maaf maaf!" Nandita menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Nandita Sasya Kamila? Itu kamu bukan?" Seseorang memanggil dari arah berlawanan. Membawa sebuah kertas putih.

"Emm"

"Nih, biodatamu sangat bagus, kamu mungkin bisa menjadi orang dengan julukan Bunga Kalkulus itu sendiri. Apalagi, kamu sering mendapatkan juara. Sebuah kehormatan bukan? Aku mengantarkan langsung padamu. Jangan lupakan bahwa klub ini adalah klub terbaik di sini!" Pria itu lantas memberikan biodata yang ia isi siang tadi. Memakai kaos putih polos, sederhana, tapi wajahnya begitu tampan.

Nandita tersenyum, dan mengambil biodatanya.

"Hai, ketua Aska Radio, semoga ramalan itu salah," sapa pria tersebut.

"Cih," decak Akmal menatap tak suka.

Pria itu tersenyum, lantas pergi begitu saja. Nandita tak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi? Ah, bukankah bukan urusannya? Mengapa ia harus memikirkan?

"Kalau begitu, aku pergi, aku ada pekerjaan!" Nandita asal mengambil buku, dan pergi.

"Kamu yakin tak akan bergabung dengan kami?"

Langkahnya terhenti.

"Aku tak tertarik!" teriaknya.

"Bagaimana jika aku beri uang? Jika kamu masuk ke klub kami, kamu akan aku beri uang perbulan!"

Nandita terdiam, mengapa pria itu nekat dan memaksanya untuk ikut klub? Ini membingungkan. Nandita membalikkan badan, dan sedikit tersenyum, "Baiklah, akan kupikirkan"

Hanya itu jawaban yang bisa ia beri sekarang. Masalahnya, ia takut telat untuk pergi ke restoran pamannya. Tak masalah, untuk hari ini, ia cukupkan begitu saja.

Tapi sayang, fenomena biologis ini, belum tau pengertian secara fisis atau matematis dari sebuah perasaan aneh yang berkelit di hati Nandita. Bukankah, jika secara biologis, maka secara kimia dan fisika bisa menafsirkannya?

Ah, ini memang rumit. Reaksi tubuh saat jatuh cinta, tak bisa ia sembunyikan. Apalagi, kebiasaan buruknya saat mengoceh tak jelas.

Klub Terbaik Vs Klub Terburuk, setidaknya itu yang sedang ia pikirkan saat bekerja.

💫

Yeay

Ramalan apakah itu?

Menurut kalian apa yang terjadi selanjutnya?

Lantas, bagaimana bab ini menurut kalian?

Apa yang kalian suka dalam bab ini?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro