02|| Tragedi dan Komedi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Jika tumbuh dewasa membuat impian pudar, maka kita tidak ingin tumbuh dewasa

- Aska Radio -

💫

Gadis berusia 16 tahun itu sibuk membawa piring dan mangkuk berisi telur dadar dan sayur asam. Meletakkan pada tikar yang sudah ia gelarkan tadi. Ibu membawa wadah berisi nasi dan tiga piring untuk mereka.

Setelah siap, Nandita segera mengambil centong nasi lantas menumpahkannya pada ketiga piring tersebut.

"Bagaimana hari pertamamu sekolah?" Isma--Ibu Nandita membuka pembicaraan.

"Biasa-biasa aja bu, tak ada yang menarik," jawabnya santai.

"Bukan tak ada yang menarik, tapi belum ada yang menarik," ucap Isma seraya tersenyum.

Nandita menahan senyum, ia tak ingin Ibunya mengetahui ada sesuatu yang ia sembunyikan. Rambut panjangnya terlihat kusut, terbiarkan terurai, dan baginya tak masalah.

"Aku pulang!"

Terlihat Elvan begitu lelah, matanya sayu, dan seragam SMPnya begitu lusuh. Menatap mereka tak nafsu.

"Ayo cepat makan!" tegas Nandita.

"Ya," jawabnya pendek.

"Bagaimana lesmu hari ini? Ah iya, bukankah kamu mau masuk sekolah kejuruan nanti? Mau kakak daftarkan les lagi? Ingat, kamu sudah kelas 3 SMP, harus rajin belajar." Nandita terlihat bersemangat, sembari mengunyah makanan.

"Habiskan dulu, baru ngomong!" ketus Elvan.

"Yaelah, kakak ngomong jelas juga." Nandita menatap sebal.

"Emm, gimana mau? Kamu jangan khawatirkan tentang uang. Makan yang banyak!" Tangan Nandita mengambil centong sayur dan menumpahkan pada piring Elvan. Elvan yang sudah duduk sedari tadi hanya bisa menghela napas perlahan.

"Sepertinya, kamu yang jadi Ibu di sini Nandita." Isma tertawa melihat sang anak yang begitu lahap dengan makanannya.

"Cih!" decak Elvan.

"Kenapa?" Nandita menatap tajam.

"Bisakah tak membicarakan uang ketika makan?"

"Kenapa? Bukankah dengan uang kita bisa hidup?" Nandita menatap aneh adiknya. Raut wajahnya menahan kekesalan.

"Aish." Elvan berdiri dan beranjak pergi ke kamarnya.

"Hei, makan! Mau ke mana?" Nandita menahan emosi, ia menatap wajah sang adik yang terlampau datar.

Elvan tak menjawab, ia segera pergi meninggalkan mereka tanpa memakan satu suap pun nasi.

"Sudah Dita, biarkan, biar Ibu yang berbicara dengannya nanti. Ayo habiskan, malam ini kamu akan kerjakan?"

"Emm"

"Tak bisakah kamu berhenti dari pekerjaan paman?" Isma menatap sendu Nandita.

"Tak bisa bu, lagian, ini adalah kesempatan Nandita. Kalau gitu, ibu kenapa tak berhenti bekerja saja?" Nandita menghabiskan suapan terakhirnya.

"Ibu juga tidak bisa, melihatmu yang sudah berjuang keras, mana bisa ibu diam saja. Lagian, menjadi penjual Yakult keliling bukanlah hal yang sulit!" jelas Isma memegang jari jemari anaknya yang terasa agak kasar. Isma tahu, ini adalah sebuah bentuk kerja keras yang di peroleh olehnya.

"Ibu tak usah khawatir, aku baik-baik saja! Aku bisa menikmati masa remajaku, jangan berpikir bahwa aku tak menikmati ini karena kerja."

Di bawah langit jingga, Nandita tau akan khawatirnya seorang Ibu.

💫

Aula SMA Astrokaltra Mika terlihat dipenuhi oleh banyak orang. Bangunan yang di dominasi warna putih itu, sangat bising. Orang-orang duduk dengan rapih sesuai klubnya masing-masing. Ada dua orang setiap klubnya, sebagai perwakilan. Hari ini adalah rapat besar mengenai dana dan teknis terkait Festival Astrokaltra Mika yang akan berjalan dekat. Sekaligus pemilihan klub mana yang akan menjadi klub pertama untuk melakukan festival.

Akmal merapihkan sedikit rambut ikalnya, menatap ke depan, dan entah mengapa hatinya berdebar. Ada rasa takut dan cemas, bahwa klub yang ia ketuai akan bubar.

"Tenang, Fatrah yakin, Pak Eman akan membantu kita," ucap gadis di samping Akmal. Sebagai wakil ketua, yang bisa ia lakukan sekarang adalah terus berkomunikasi bersama Pak Eman, memecahkan persoalan dan solusi yang seharusnya mereka lakukan. Ia ingin mengurangi beban yang Akmal miliki, tak sewajarnya ia berlebihan. Tapi Fatrah mengetahui, bahwa Akmal menyukai ini dibanding siapa pun.

Rapat di buka oleh Kepala Sekolah. Beberapa sambutan, lalu masuk dalam inti rapat tersebut.

"Baik, terima kasih sebelumnya kepada orang-orang yang terlibat." Pak Trisna--ketua semua klub membuka acara. Berdiri tegak di mimbar yang berada di panggung. Menatap hampir delapan puluh orang yang berada di sana.

"Seperti yang kita ketahui, Festival Astrokaltra Mika adalah Festival setahun sekali yang selalu diadakan oleh pihak sekolah. Ada 15 klub olahraga, 7 klub akademik, 8 klub seni, 5 klub agama, 4 klub literasi dan 1 klub radio. Yang di mana, SMA ini memiliki 40 klub yang sangat konsisten. Kami, pihak sekolah juga sangat memberikan apresiasi kepada semua klub yang ada. Hanya saja, untuk festival ini, tidak seperti festival tahun lalu." Pak Trisna merapihkan sedikit kacamatanya. Memegang Michrophone kecil yang sudah berdiri tegak di mimbar.

Akmal berusaha menahan debarannya. Ia tak ingin ada sebuah kalimat tak enak seperti tahun lalu. Menghela napas gusar dan siap menghadapi apa pun risikonya.

"Untuk klub olahraga, agama dan akademik, seperti biasa kalian mengadakan lomba untuk tingkat SMA dan SMP. Untuk klub seni melakukan pameran seni. Klub literasi, seperti biasa mencari penulis muda yang memiliki potensi, bedah buku, dan kegiatan literasi lainnya," jelas Pak Trisna menutup kertas putihnya.

Akmal mengerutkan kening, ada satu klub yang belum ia sebutkan. Tak bisa ia biarkan, berdiri dan berseru dengan lantang, "Lalu, untuk klub kami bagaimana Pak?"

Semua mata tertuju padanya, tatapan tak suka dan tatapan malas membuat Akmal ingin sekali memberontak.

Pak Trisna menghela napas, dan membuka suara, "Untuk klub Aska Radio, mohon maaf, tidak ada dana dan festival untuk kalian tahun ini dari pihak sekolah!"

Bagai sebuah ramuan penghancur bagi Akmal sendiri. Netranya membulat, dan tak menerima alasan ini.

Ia kembali menatap tajam, napasnya berburu dan lidahnya terasa kelu. Banyak yang ia ingin ucapkan kali ini. Raganya serasa tersentak dengan suasana hati yang begitu pilu.

"Bisakah memberi kami kesempatan?!" Suaranya kini lembut.

"Pihak sekolah melakukan survey terkait kinerja klub dan apa yang disukai oleh siswa-siswi baru terkait klub. Klub Aska Radio, adalah klub terakhir yang tidak diminati oleh warga sekolah. Seharusnya kamu tahu itu. Masih mending pihak sekolah tak membubarkan klub kamu!"

Fatrah menenangkan Akmal. Akmal terduduk lemas, ia seperti pengecut, tak bisa berbuat apa-apa. Apakah pantas dirinya disebut ketua?

💫

Akmal membanting pintu cukup keras. Jendela terbuka, namun dinginnya malam tak bisa menahan perseteruan otak dan hatinya. Di bangunan besar itu, Akmal kembali disadarkan oleh sebuah realita. Tak seharusnya ia berlebihan, hanya saja, baginya ini adalah sesuatu yang seharusnya ia jalani.

Ia menatap sekeliling studio yang selalu menjadi tempat untuknya. Studio radio yang begitu luas. Bangunan persegi yang dibagi dua dengan ruang untuk menyiarkan radio. Dalam ruang studio memang sangat dibutuhkan ruangan dengan kualitas panel akustik yang baik agar kerjenihan suara ketika menyampaikan sesuatu menjadi lebih jelas dan terdengar nyaman ditelinga pendengar.

Masih memakai seragam, setelah rapat tadi, ia berpikir keras, bagaimana untuk mempertahankan klub ini. Ia tak ingin mengecewakan seseorang yang sudah menjadi panutan baginya. Menatap foto angkatan tahun lalu, netra indahnya menangkap seorang perempuan yang tampak begitu gembira, sebelum sesuatu telah menimpanya.

"Maafkan Akmal kak, mungkin, Akmal tak seberani itu!"

Setelah menenangkan dirinya, ia menuju sebuah meja persegi panjang, duduk dan mengambil sebuah dus kecil. Hendak mengambil buku. Namun sayangnya, buku-buku itu tak ada buku yang sedang Akmal cari. Ia malah menemukan sebuah buku pelajaran 'Fisika Matematika' yang entah milik siapa.

"Sepertinya, aku tak membeli buku ini!"

💫

"Nandita, ayo kantin!" ajak Laksita menghampiri meja Nandita.

"Bentar."

Laksita selalu datang ke kelas Nandita. Mengajak makan bersama dan hal-hal lainnya. Sejak SMP selalu begitu.

Suasana kantin memang seperti itu. Ramai dan bising. Sesekali teriakan atau tawanya sangat menganggu Nandita. Tapi yang lebih menganggu adalah perut lapar bukan?

Setelah memesan dua mangkok baso dan dua gelas es teh, mereka mencari tempat duduk yang kosong. Segera duduk dan menunggu pesanan.

Suara desing dari speaker mulai menandakan ada sesuatu. Nandita dan Laksita menatap speaker di dinding ujung bangunan.

"Ada pengumumankah?" Laksita memiringkan kepalanya.

"Palingan Aska Radio, sudahlah biarkan!"

Pendengaran mereka menangkap seseorang berbicara seperti itu. Mereka saling tatap.

"Ah, sepertinya mereka ingin menyiarkan sesuatu saat kita istirahat." Nandita menerka-nerka.

"Betul, katanya sih gitu, setiap istirahat mereka selalu menyiarkan sesuatu untuk menemani kita pada saat jam seperti ini." Laksita menjelaskan apa yang ia ketahui.

Nandita diam, pikirannya kembali saat Akmal memberikan pilihan. Apakah ia murahan? Sehingga ia ingin sekali menerima tawaran tersebut.

"Omong-omong, kamu percaya ramalan itu Laksita?" Nandita menatap sahabatnya yang berada di hadapannya.

"Tidak, siapa yang percaya takhayul seperti itu?" Laksita mendengus seraya memegang perutnya, ia menahan kesal karena pesanannya begitu lama.

"Astrokaltra Mika! Selamat Istirahat!"

Nandita menatap speaker bimbang. Ada sebuah rasa yang mengganjal dalam pikirannya. Suara itu, Nandita mengetahui suara itu. Suara aneh yang membuat hatinya tak karuan.

".... Oke-oke, cerita pertama ini dikirim ole-- ah, maaf sepertinya pengirim tak ingin memberi tahu namanya. Cerita ini berjudul 'Ubah Tragedi Menjadi Sebuah Komedi'. Tentu, sebuah rasa akan keliru jika salah menafsirkan."

Nandita memaknai setiap kata yang ia dengar. Suara bising yang menyapa rungu, ia hiraukan. Fokus pada suara yang keluar dari speaker.

"Ada kalanya sebuah tangis harus menjadi hal manis. Tak selamanya kita diberi sebuah jalan lurus, tapi kadang kita meringis pada sebuah kehidupan yang miris. Licik memang. Apa yang kita sukai selalu diberi bumbu pait untuk menempuhnya. Terlalu picik, mengubah tragedi menjadi sebuah komedi! Lalu, apakah bisa sebuah komedi menjadi tragedi? Dunia sekarang sudah sendiri, berjalan dan berpijak sendiri membuat sebuah cerita!"

Jawaban, yang terpenting dalam sebuah keadaan adalah jawaban bukan masalahnya. Nandita tau itu, melepas sesuatu adalah hal yang berat.

"Lepas, ikhlas dan tuntas. Tiga hal yang seharusnya dilakukan! Tumbuh dewasa adalah siklus, mereka harus merasakan masa tersebut. Jika tau impian akan memudar, maka kita tak ingin pernah menjadi dewasa. Tapi seperti inilah kehidupan, layaknya mencari bunga mawar di tengah samudera!"

"Ini pesenannya neng," ucap seseorang memecah keheningan yang ada dalam raga Nandita.

💫

Laksita pulang duluan, dijemput oleh Ayahnya. Nandita duduk di halte kecil depan sekolahnya. Menunggu angkutan umum berwarna ijo tua yang akan mengantarkan dirinya pada rumahnya. Saat menunggu, seseorang menghampirinya menatap hangat pada Nandita.

"Nih bukumu." Tangannya terulur dan melihat Nandita yang sedikit terperanjat.

Saat menatapnya, binar Nandita membulat gembira, "Ini bukuku, kenapa bisa ada di Kakak? Perasaan, aku taruh di laci meja belajarku"

Akmal tertawa melihat tingkah gadis di hadapannya. Menatap dalam, dan tanpa sengaja Nandita melihat ekspresi Akmal. Ia kembali kikuk.

"Ah, makasih Kak." Nandita tersenyum.

"Itu berarti buku aku pasti ada di kamu bukan?" tanya Akmal seraya duduk di sampingnya.

"Aa, iya betul ada di aku." Nandita membenarkan posisi duduknya. Ia asal menjawab, melihat bukunya saja belum, yang ia tahu, ia masukkan pada laci meja belajarnya.

"Lalu, untuk tawaran itu bagaimana? Aku benar-benar membutuhkanmu!" Tatapannya serius, Nandita mampu merasakan hal itu.

"Kamu menyukai ini, kamu menyukai hal-hal yang berbau seperti ini!"

Keduanya mematung, Nandita menunduk. Apa yang seharusnya ia katakan. Suasana begitu gugup.

"Apa kakak kaya?" Kalimat itu terlontar begitu saja dalam mulut Nandita. Akmal menahan tawa dan memalingkan sedikit wajahnya. Pada akhirnya mereka tertawa, lantas beberapa saat kemudian, lengang kembali.

"Menurutmu? Jelas aku kaya, makanya aku mengajakmu untuk bergabung dengan klub kami. Mungkin, melakukan ini sesuatu yang salah, tapi aku tak ingin menjatuhkan sesuatu yang telah dirangkai oleh seseorang yang kukagumi. Aku harap, kamu bisa bergabung dengan kami!" Akmal buka suara kembali.

Angin berhembus pelan, menetralisir perasaan yang berkelit.

"Mengapa kakak seolah-olah tau apa yang kusuka dan tidak? Lalu, mengapa kakak sangat menginginkanku?" Nandita membuka suara.

"Sepertinya, kamu melupakanku dulu saat acara kenaikan kelas di Gedung Shira!" Netranya menutup, kala ia tersenyum. Mengundang sebuah ingatan yang menerobos pikiran Nandita.

Deg!

Tak bisa ia biarkan, ia telah jatuh dalam pesonanya.

💫

Yeay

Bagaimana untuk bab ini?

Apa yang kalian suka dari bab ini?

Mengapa kalian membaca cerita ini?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro