03|| Siap Kapten!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Kata Albert Einstein Gaya Gravitasi tidak bertanggung jawab atas orang yang jatuh cinta

- Nandita Sasya Kamila -

💫

"Nandita, kamu ikutan Aska Radio?" Laksita terkejut saat membuka handphone. Nomor Nandita tertera di group WhatsApp.

"Terus?"

"Gitu dong, yang namanya bestie, harus bareng-bareng. Apa yang kamu atau aku suka, berarti kita harus suka," kata Laksita seraya menggandeng lengan Nandita.

"Dih, aku juga punya prinsip kali, ngapain ngikut prinsip orang lain," balas Nandita mengangkat alis.

"Cih," dengus Laksita melepas gandengan.

Hari ini, mereka pergi sekolah bersama--tidak hanya hari ini saja sih, setiap hari mereka selalu pergi bersama. Kadang naik angkutan umum, atau kadang Ayah Laksita mengantarkan mereka dengan mobilnya.

"Nandita, jangan lupa jam istirahat anak-anak baru Aska Radio kumpul di studio. Kita dispen, yeay, sudah disetujui juga oleh Pak Eman!" jelas Laksita saat tiba di gerbang sekolah.

"Emm, aku tau Lak," jawabnya cepat sembari terus melangkah

"Eh, tau dari mana?" Laksita berusaha menyamai langkahnya.

"Eh." Langkah Nandita terhenti, sadar akan ucapannya, menatap Laksita yang sudah tersenyum menggoda. "Apaan?"

"Yaelah, ngelak lagi, sebelum kita berpisah, aku mau nanya dulu, kamu masuk Aska Radio karena Akmal bukan?" bisik Laksita menatap sekitar.

"Aih, bukan!" decak Nandita.

"Bohong, kamu bohong, kamu tak akan bisa berbohong di hadapanku Nandita." Laksita mengedipkan mata lantas pergi menuju kelasnya.

Nandita menghela napas perlahan. Ia kembali berjalan menatap lingkungan sekolah yang begitu istimewa. Jika dipikir-pikir, Nandita melakukan apa pun untuk masuk sekolah ini. Padahal, ia tak berharap, namun hatinya tak bisa bohong. Walau ia tak memiliki mimpi untuk saat ini, ia hanya mengikuti apa yang menjadi takdirnya.

Masih lumayan sepi, bangunan bertingkat dan gedung sekolah yang didominasi warna putih dan hijau muda itu masih hening. Hanya beberapa siswa dan siswi yang Nandita temui saat berjalan ke kelasnya.

Langkah Nandita terhenti, saat ia merasakan sesuatu. Sepasang netra yang seperti mengawasi Nandita. Nandita meraba tengkuk, seketika bulu kuduknya merinding. Netranya menatap setiap jengkal lorong-lorong kelas. Hingga akhirnya, ia menatap seseorang saat membalikkan tubuhnya. Seseorang itu lantas masuk ke kelas yang Nandita ketahui itu kelas sebelas jurusan bahasa.

"Nandita!"

"HAHH!" Refleks Nandita berteriak saat seseorang memanggilnya. Tangannya menutup wajah dengan sedikit napas memburu.

"Kamu kenapa?" Lengan pria tersebut menggenggam pergelangan tangan Nandita. Menatap khawatir.

"Ahh, enggak-enggak, tadi hanya kaget saja," ucap Nandita canggung.

"Aku kira ada apa!"

"Eh, kak bisa lepas tangan aku?" Mereka menatap lengan masing-masing, lantas pria itu melepas dengan cepat. Keduanya memalingkan wajah, suasana begitu canggung.

"Ah, jangan lupa besok kumpul!" Pria itu menatap Nandita kikuk.

"Besok hari Jum'at? Kenapa emangnya kak Fad?" Nandita bingung.

"Kamu pura-pura lupa atau emang beneran lupa? Besok kumpul klub Bunga Kalkulus Nandita." Fadia menghela napas kasar, kemudian tersenyum hangat.

"Aahh, maaf kak, iya siap kak!"

Kejadian tadi, bahkan ia lupakan saat seseorang mengawasinya.

💫

"Rafael, bisa tolong siapkan infocus?" perintah Akmal dalam gudang studio.

"Ya," jawab Rafael dengan teriak.

"Mal, kamu yakin dengan 6 anggota baru, kita bisa mengadakan festival? Bahkan kita tetap kekurangan orang!" Fatrah yang bersama Akmal dalam gudang, merasa tak yakin.

"Kalau kamu tak yakin, mengapa kamu sering berkomunikasi dengan Pak Eman? Pada akhirnya dia memberikan kesempatan pada kita Fatrah! Kamu harus yakin!" tegas Akmal sembari melanjutkan aktivitasnya, memisahkan barang-barang terpakai dan tidak.

"Oke, aku yakin. Maaf karena sudah meragukan!" Fatrah mulai membersihkan rak besar di sana. Penyimpanan berkas-berkas terkait Aska Radio sejak dulu.

"Kita tak bisa selalu mengandalkan para senior, mereka punya kehidupan masing-masing. Ada baiknya, kita pergunakan waktu sebaik-baiknya. Jika Aska Radio memiliki kesempatan, maka aku yakin kita adalah klub yang terakhir melakukan festival," jelas Akmal melangkah pergi ke studio.

"Bagaimana jika meja ini kita pindahkan keluar dulu? Agar lebih luas." Rafael menatap sekeliling.

"Tak usah, segini saja sudah luas. Tolong panggilkan Devano dan Intan, suruh mereka segera bersiap. Hari ini Devano yang menjadi MC," intrupsi Akmal sembari mengunci ruang untuk menyiarkan radio.

Saat hendak ia beranjak kembali ke gudang, pandangannya menangkap sesuatu, sebuah kresek hitam berukuran sedang, isinya seperti sebuah poto besar. Sedikit keliatan, karena jatuh dari tempatnya.

Rafael yang hendak keluar, melihat Akmal yang akan mengambil sesuatu dalam kresek hitam. Dengan cepat, ia melangkah dan mengambil kresek yang tergeletak di lantai dengan tergesa-gesa.

"Ah, ini punyamu?" Tanpa risih Akmal bertanya.

"Ehm." Rafael mengangguk.

"Ahh, oke cepat panggilkan mereka!"

💫

"Waw." Laksita dan Nandita menatap takjub saat melihat studio radio. Ruangannya luas, bahkan ruang untuk menyiarkan radio di sana tampak begitu keren.

Beberapa yang lain juga sudah datang, menatap gembira apa yang mereka lihat. Para senior di hadapan mereka juga tampak begitu menyenangkan.

"Silahkan duduk para penerus bangsa!" Devano mulai membuka. Berjalan mengambil laptop dan beberapa kabel untuk ia pasang pada infocus. Mereka segera duduk di kursi yang sudah disiapkan.

"Nan, itu kakak yang naro sesajen waktu itu," bisik Laksita.

Nandita mengangguk.

Akmal, Fatrah, Rafael dan Intan duduk di sebelah layar yang ditampilkan oleh infocus.

"Baik, 6 anggota muda baru, 3 wanita dan 3 pria. Itu sudah lebih dari cukup. Sebelumnya, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada kalian semua yang telah memilih klub ini. Dijamin, kalian tak akan menyesal masuk sini." Devano menatap takzim. Yakin akan ucapannya.

"Sebelum lanjut, mari kita berkenalan terlebih dahulu. Saya Devano. Kakak dengan rambut sebahu itu adalah Fatrah. Lalu, itu Intan, dia paling galak." Intan menatap sinis, "ahh, baik-baik kita lanjutkan, kakak yang sok keren itu, namanya Rafael, dan tentu saja kakak disebelahnya adalah sang Kapten kita semua, Akmal!"

Tepuk tangan kecil mulai terdengar, menambah suasana menyenangkan. Devano mulai menampilkan sebuah PPT yang berisi peraturan Aska Radio.

"Kita sebagai anggota muda Aska Radio tentu harus memiliki peraturan agar tak seenaknya." Devano mengganti slide.

"Yang pertama, anggota muda Aska Radio, tidak boleh menyiarkan sesuatu tanpa izin dari kapten!"

"Kedua, anggota muda Aska Radio, tidak diizinkan untuk keluar klub tanpa alasan yang jelas!"

"Dan yang ketiga, anggota muda Aska Radio tidak diperkenankan untuk pacaran sesama anggota!"

"Oi." Nandita melongo, membuat setengah yang ada di sana sedikit tertawa.

"Bagaimana bisa?" Laksita ikut tertawa, disusul dengan yang lain.

Ruangan itu penuh tawa. Mengisi sebuah kekosongan yang dulu ada. Nandita tak sengaja menatap Akmal di kursinya, tersenyum lantas berusaha untuk tidak salah tingkah.

"Sudah-sudah, mari kita lanjutkan ke sesi pengenalan alat-alat radio. Tapi sebelum itu, ada yang sudah pernah menyiarkan radio?" tanya Devano.

"A.. aku," ucap seorang pria mengacungkan tangannya, memakai kacamata, dan terlihat pemalu.

"Em, baik siapa namamu?"

"Vano Adijaya!"

"Oke, mari kita masuk ke ruang untuk menyiarkan radio," ajaknya sumringah.

Akmal segera membuka ruang tersebut.

"Ingat, hati-hati!"

Devano masuk duluan, diikuti oleh keenam anggota baru, dan para senior.

"Tadaa!"

"Elegan, warna hitam dan putih yang sangat cocok!" Laksita berseru.

"Oke, kita mulai dari yang pertama. Ada yang tau ini apa? Ah sepertinya kalian tau semua, michrophone. Sebenernya michrophone untuk menyiarkan radio ini sangat banyak jenisnya," jelas Devano menunjuk alatnya.

"Kemudian, ini adalah audio mixer, audio mixer ini adalah untuk mengelola suara atau mengatur kendali suara," jelasnya lagi menunjuk sebuah audio mixer berwarna krem.

"Lalu, ini juga kalian sudah tau semua, ini adalah earphone. Kalian ingin memegangnya?" Devano mengulurkan tangannya.

"Aku!" Nandita bersuara.

"Baik, namamu siapa?" Seraya memberikan padanya.

"Nandita," balas menerima lengannya.

"Nah earphone ini untuk memantau musik yang kalian pilih. Oke, pelan-pelan jangan sampai jat--"

Brak!

"Aww," ringis Nandita, membuat semuanya tampak terkejut. Gesekan yang dibuat oleh earphone tersebut mampu membuat jari kelingkingnya berdarah.

Akmal segera menghampiri Nandita. "Cepat ambilkan kotak P3K!"

Fatrah segera mengambil, Devano juga dengan cepat mengambil earphone yang sudah sedikit retak. Ia menahan kesal, hanya saja ia urungkan, tak baik jika ia marah begitu saja. Semuanya pergi keluar dan duduk di meja persegi panjang.

"Kamu baik-baik saja?!" Akmal menempelkan plester kepadanya.

Semuanya menatap Nandita. Nandita merasa malu dan salah, "Gini doang kok! Tapi, itu salah gaya gravitasi, itu bukan salahku!"

"Hah?!" Semuanya menatap bimbang.

"Iya gaya gravitasi, kalian tau bukan gaya gravitasi di bumi adalah 9,8 m/s, tapi kalau untuk anak SMP atau kadang SMA menggunakan 10 m/s untuk memudahkan kita!" Nandita menatap lesu.

"Nih anak aneh banget dah," gumam Laksita, ia juga merasa malu. Tingkah anehnya selalu saja membuat ia kehabisan kata-kata.

"Berisik anak baru, tapi itu bukan sepenuhnya karena gaya gravitasi! Itu setengahnya dibuat jatuh olehmu!" decak Rafael meninggalkan mereka.

"Kalian, tak takut dengan ramalan itu?!" Semua mata tertuju pada seorang gadis yang memiliki tubuh kecil. Rambutnya dikuncir kuda dan bola matanya sibuk ke sana-ke sini, takut akan ucapannya sendiri.

"Jangan bicara aneh-aneh! Kita lanjutkan pertemuan kita!" tegas Akmal.

💫

"Sore ini kamu pulang?" tanya Akmal memecah keheningan sembari membersihkan ruang studio.

Semua orang sudah pergi duluan. Meninggalkan mereka yang masih mempersiapkan untuk pulang.

"Aku pergi bekerja!" jawabnya pendek.

"Kamu bekerja?" Akmal tak percaya.

"Emm."

Entah mengapa, suasana diantara mereka selalu canggung. Nandita sudah menggendong tasnya, beranjak pergi ke pintu. Hendak meraih knop pintu, tanpa sengaja Nandita menyenggol sebuah buku di atas meja yang berada dekat pintu.

"Apa itu karena gaya gravitasi?" Akmal tersenyum, menahan tawa. Menatap Nandita dari ambang pintu ruang siaran radio. Menguncinya.

Binar Nandita membulat, ia menahan senyum, pipinya mengembung. Netranya menatap hal lain, menahan tawa. Akmal tak kuasa, melihat ekspresi yang dianggapnya imut. Akhirnya tawanya pecah. Mereka berdua tertawa lepas.

"Apa kamu kesal?" Akmal mengambil tas di meja.

"Kesal kenapa?" Nandita meraih knop pintu dan membukanya.

"Kamu tau Rafael? Dia anak MIPA, yang selalu menjawab apa pun yang kamu katakan!"

Mereka berdua berjalan menyusuri lorong-lorong kelas yang lumayan sepi.

"Kalau begitu, jangan lupa untuk terus memikirkanku! Karena aku yakin, kamu hanya ingin melupakan sesuatu yang dianggap buruk, sehingga tak dapat mengingat orang sekitarnya!" ucap Akmal lembut.

"Siap Kapten!" Tangan Nandita hormat. Lantas, ia segera berlari seraya berkata, "Aku duluan, aku takut telat bekerja!"

Pergi, meninggalkan Akmal yang benar-benar tersenyum lebar. Mungkin sudut senyumannya 30°.

"Tak bisa-tak bisa, Albert Einstein bukankah gaya gravitasi bertanggung jawab atas orang yang jatuh cinta? Buktinya, kejadian tadi. Jadi, gaya gravitasi bertanggung jawab! Titik gak pake koma!" batin Nandita jingkrak-jingkrak.

💫

Saat diperjalanan, handphone Nandita bergetar. Ia membuka, lantas menemukan seseorang dengan nomor tak dikenal mengirim pesan untuknya.

08121456723
Satu ramalan akan terbukti!

💫

Yeay

Lagi-lagi aku bertanya, bagaimana untuk bab ini?

Apa yang membuat kalian melanjutkan membaca cerita ini?

Jangan lupa vote dan komen jika kalian suka!!🌟

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro