04|| Pusat Ma(s)sa Lalu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Dalam Fisika, pusat massa merupakan sebuah acuan untuk seluruh massa benda yang diasumsikan sebagai titik atau partikel. Lalu, apakah masa lalu bisa dijadikan sebuah acuan dalam masa kini?

- Akmal Fazwan -

💫

Bandung, Gedung Shira, 3 Juli 2012-Pukul 14.00 WIB

"Ibu, liat dia cantik bukan?" Seorang anak kecil menunjuk seorang gadis kecil di panggung.

"Emm, apa anak Ibu menyukai seseorang sekarang?" Tangan wanita itu menepuk kepalanya lembut. Tersenyum hangat. Duduk di barisan depan, menatap seorang gadis di sana, yang akan membacakan sebuah puisi.

Baginya, sebuah imajinasi dan pemikiran khayalan adalah hal yang paling disukai oleh anak kecil itu. Menyukai kata-kata yang memiliki makna berarti. Kalimat-kalimat penuh diksi, yang mampu membuat hatinya berdebar tanpa henti. Tak ada alasan, ia hanya menyukai hal tersebut.

Ia termangu, kala menatap ekspresi yang ditampilkan. Suaranya begitu khas dan bulat mampu membuatnya terharu. Beberapa saat, ia malah menatap ekspresi getir dari gadis kecil di sana. Menatap netranya yang menatap seorang ibu dan anak kecil di bangku belakang.

"Nak, Ibu keluar dulu sebentar!"

Ia acuhkan, ia hanya peduli pada netra gadis yang terus membuatnya khawatir. Gadis kecil itu menangis, ia tahu itu bukanlah rencananya. Itu adalah sayatan kecil di hati murninya. Ia menatap netra gadis kecil sedang menatap Ibu yang segera menggendong anaknya, meninggalkan gedung ini. Pandangannya kembali beralih pada gadis kecil yang menangis tanpa henti. Ia ingin sekali menenangkannya.

💫

Bandung, 8 September 2021

"Bagaimana menurutmu?" tanya Fadia saat selesai klub.

"Emm, seru dan sepertinya, klub ini memang bisa meningkatkan kemampuan yang aku miliki," ucap Nandita yakin.

"Jangan lupakan festival klub kami, dan yah, kami melakukan festival pertama. Untuk bulannya sekitar bulan Oktober. Pokoknya, kamu harus menjadi bagian dari kami!" tegas Fadia.

"Siap kak Fad, kalau gitu aku duluan ya!" Nandita melambaikan tangannya. Segera berjalan kecil menuju gerbang sekolah.

Seperti biasa, ia menunggu angkutan umum berwarna kuning. Malam ini ia kembali bekerja. Setidaknya, klub Bunga Kalkulus, tak menganggu waktu bekerjanya, Selasa dan Jumat. Hanya saja, ia memikirkan Aska Radio. Pertemuan klub mereka setiap Rabu dan Kamis. Kamis, ia harus bekerja selepas pulang sekolah. Apa yang harus ia lakukan?

Ia juga sudah menekan kontrak bersama Akmal. Akmal memberi waktu satu bulan untuk ia berpikir apakah cocok atau tidak di klubnya.

Setelah naik angkutan umum, ia sampai di restoran kecil pamannya yang bernuansa semi indoor. Tapi baiknya, pelanggan selalu datang ke sana. Mencoba masakan-masakan yang dibuat oleh paman. Menurut para pelanggan, itu sangat lezat.

"Baru sampai?" Vito--paman Nandita membuka suara sembari sibuk merapihkan makananya. Dapurnya terlihat berantakan.

Nandita segera berganti pakaian, memakai celemek hitam bertuliskan Vit's nama restorannya.

"Emm." Nandita mengangguk takzim, mengambil nampan berukuran sedang. Menunggu para koki dan pembuat minuman meletakkan pada nampan yang ia pegang.

Setidaknya, ia amat bersyukur mendapat sebuah hal yang membantu ia dan keluarganya. Bekerja selama 4 jam, itu malah masih sedikit untuknya. Ia menginginkan pekerjaan yang lebih banyak. Tapi, Vito selalu menolak, alasannya, Nandita juga perlu pendidikan. Ia cerdas, tak baik jika kemampuannya tak dikembangkan. Pada akhirnya, ia mendapat jatah waktu 4 jam setiap harinya.

"Ini pesanannya!" Nandita tersenyum pada pelanggan di hadapannya.

"Terima kasih."

Nandita sedikit membungkukkan badan, berbalik dan segera mengambil pesanan yang lain. Hanya saja, feeling-nya membuat Nandita seakan merasakan sesuatu.

Cekrek!

Nandita menatap dengan cepat pada tiang tembok bangunan. Ia merasa sesuatu sedang mengawasinya. Mendengar sebuah jepretan kamera, ia berusaha untuk tidak memikirkan hal yang tidak-tidak.

Malam ini, ia harus kerja cepat. Sedikit rasa takut, menghantui pikirannya.

💫

"Apa?" jawab Nandita lesu.

"Ish, semangatt dong, kita bentar lagi pelatihan Aska Radio!" ucap Laksita semangat.

"Masih lama, itu bulan November," tukas Nandita.

"Dua bulan lagi, ya lumayan si! Tapi, jika kita melakukan festival terakhir, sekitar bulan Januari Februari dong, tahun depan." Laksita menghela napas kecewa. "Omong-omong, Sabtu Minggu kamu ngapain aja?"

"Kerja," jawabnya simpel.

"Selain kerja?"

"Tidur!"

"Ih." Laksita memukul kepala Nandita pelan. Wajahnya kesal, menatap tajam. Nandita melirik, lantas membalasnya.

"Aww, sakit!" ringis Laksita.

"Udahlah, aku sedang badmood tak usah gangguku!"

"Baik tuan putri, tapi kamu harus pergi ke gudang studio!" Laksita merapihkan rambutnya.

"Ngapain?" Nandita mengerutkan dahi.

"Piket!"

"Ahh, malaslah, jam istirahat gini tuh enaknya tidur," rengek Nandita menjatuhkan wajahnya pada meja.

"Nanti kapten marah, ayolah, kamu itu sudah sangat merugikan klub ini, menjatuhkan earphone lah, inilah, sekarang piket males, maunya apa sih? Mau nyalahin gaya gravitasi lagi? Apa mau nyalahin hal-hal fisika lainnya?" ketus Laksita.

"Iya-iya, ini mauuuu, bawel amat dah!" Nandita memasang wajah letih.

"Semangat, kalau gitu, aku ke kelas dulu!"

Nandita memutar bola matanya malas, ia segera beranjak pergi ke studio radio. Sesampainya di sana, ia bertemu dengan Akmal dan Rafael. Mereka sedang berbincang-bincang, yang Nandita tak ketahui.

"Hari ini bagianmu piket bukan? Tolong bersihkan gudang studio, sekaligus cari dokumen Aska Radio tahun lalu!" perintah Rafael tanpa basa-basi.

Nandita mengangguk.

"Ah, biar aku tunjukkan dulu!" Akmal menunjukkan lokasinya.

Mereka masuk ke gudang yang lumayan rapih. Walau sudah dibersihkan waktu itu, tapi gudang ini masih terlihat berantakan. Akmal menyalakan lampu, dan menunjukkan rak besar untuk mencari dokumen yang akan Nandita cari. Nandita berjalan di belakang Akmal. Ia dapat melihat gudang yang cukup luas. Hanya berisi rak besar dan kardus-kardus besar berisi alat-alat radio.

"Itu, dokumen tahun 2020!" Tanpa sengaja Nandita menemukannya, menunjuk pada rak bagian atas.

Tangannya mencoba untuk menggapai dokumen tersebut. Kakinya sedikit jinjit, namun tetap tangannya tak menggapai dokumen. Sekali lagi ia berusaha, namun hasilnya kembali nihil. Mencoba kembali, dan saat itulah jantung Nandita hampir meledak. Pria yang bersamanya, benar-benar dekat dengan wajahnya. Nandita dapat merasakan hawa napasnya. Wajahnya sedikit menengak untuk melihat paras tampan pria itu. Tangannya terulur, untuk mendapatkan dokumen.

"Selain menimbulkan gangguan kemampuan berbicara, hormon norepinephrine juga bisa menimbulkan gangguan panik saat dilepaskan terlalu banyak dalam tubuh!"

Akmal tertawa, menatap Nandita sumringah. Tangannya mengulurkan dokumen berwarna biru tua, bertuliskan tahun 2020, tahun lalu.

Nandita memalingkan wajah, pipinya kembali merah merona.

"Tenang saja, kamu tidak akan mengalami gangguan panik hanya karena ini!" Akmal memiringkan sedikit kepalanya.

"Siapa juga yang panik! Orang MIPA gak akan panik karena hal ini, soalnya kita mempunyai perhitungan sendiri!" decak Nandita mengambil dokumen di tangan Akmal.

Akmal kembali tersenyum melihat tingkahnya.

"Lagian, apa yang kakak tahu tentang fisika?!"

"Jangan remehkan aku, walaupun aku tak tahu mengenai perhitungannya, tapi aku cukup bagus dalam teorinya. Pusat massa? Kamu tau itu bukan?" Akmal meletakkan tangan kanannya di dada.

Nandita menatap heran.

"Karena, aku selalu menjadi pusat perhatian wanita!"

Pipi Nandita mengembung, lantas tawanya pecah begitu saja. Akmal juga tertawa, seraya menatap netra indah di hadapannya. Bagai berlian, begitu berkilau.

Beberapa saat, lengang sejenak.

"Ah, aku mau melanjutkan bersih-bersih!" Nandita segera melihat sekeliling, mencari sapu.

"Ah, mencari sapu? Bentar biar aku ambilkan di sana!"

"Di mana?"

"Tunggu saja bentar!" Akmal berlari kecil meninggalkan Nandita seorang diri.

Namun, sepertinya ide Akmal buruk. Ia malah meninggalkan Nandita sendirian. Remang, tiba-tiba saja lampu gudang begitu remang. Hitungan detik saja, lampu akan gelap begitu saja.

Brak!

Bantingan pintu yang lumayan keras membuat Nandita sedikit terkejut. Perasaannya mulai tak enak, ia berjalan kecil menuju pintu. Meraih knop dan membukanya. Tapi sayangnya, seberapa pun ia berusaha membuka, pintunya benar-benar terkunci.

Zepp!

Lampu gudang padam.

"Hallo ada orang di sana?!" rintih Nandita, mencoba untuk tenang.

"Hallo? Kak Akmal? Kak Rafael?!" ucapnya getir, mencoba tenang untuk kedua kalinya.

Netranya menahan tangis, raganya sedikit lemah, dan napasnya begitu menderu. Sebuah ingatan akan kejadian buruk di masa lalu membuatnya terus mengingat dalam jangka waktu yang lama.

"Hallo, ada orang di sana?!" ucapnya panik seraya menggedor-gedor pintu.

"Ibuuu!!" Tangan kecilnya meraih knop pintu. Berusaha untuk membuka kesekian kalinya.

"Kak Akmal? Kak Rafael?!" Tangannya mulai menggedor-gedor pintu kencang. Rasa takutnya mulai menghantui pikirannya.

"Ibuu!" Tangisnya pecah, ia benar-benar diselimuti rasa kecemasan yang tinggi.

"Kak Akmall!!" Tangisnya pecah, ia benar-benar diselimuti rasa kecemasan yang tinggi.

"Ibu!" Teriakannya tanpa henti, ia merasakan raganya lesu, tangannya gemetar dan bahkan ia terus berteriak tanpa peduli suaranya habis atau tidak. Takut akan sesuatu hal buruk datang.

"Kak Akmal!" Teriakannya tanpa henti, ia merasakan raganya lesu, tangannya gemetar dan bahkan ia terus berteriak tanpa peduli suaranya habis atau tidak. Takut akan sesuatu hal buruk datang.

Tak kuasa menahan lemas tubuhnya, ia jatuh terduduk, kedua lengannya memegang kedua lutut erat. Napasnya tak bisa ia kendalikan. Tangannya memegang erat seragamnya. Tangisnya menggema di ruang gelap itu.

"Kak Akmal!" Satu teriakan lagi, yang membuat Nandita benar-benar tak bisa merasakan apa pun.

💫

Bandung, Gedung Shira, 3 Juli 2012-Pukul 14.30 WIB

Selepas pertunjukkan, ia melihat gadis kecil itu pergi meninggalkan panggung. Ia segera mengikuti gadis kecil itu, yang entah akan ke mana. Tangannya masih menggenggam sebuah buku.

Gadis kecil itu duduk di bawah pohon mangga depan Gedung Shira. Lantas, ia segera menghampirinya.

"Kamu kenapa?!"

Gadis kecil itu sejenak berhenti menangis, ia menatap pria yang umurnya setahun lebih tua darinya. Ia kembali menangis, dan memalingkan wajahnya.

"Kata Ibuku, jika seseorang bercerita mengenai masalahnya ke orang lain, maka hatinya akan merasa lega. Ia tak akan merasa terbebani," ucap pria itu seraya tersenyum.

Gadis kecil itu lantas berhenti menangis. Menatap pilu.

"Tapi aku tak menyukai hal seperti ini lagi!" kesalnya dan matanya kembali berkaca-kaca.

"Mengapa? Padahal, aku menyukaimu di atas panggung!" ucap pria itu lesu, dan duduk di samping gadis kecil itu.

"Bohong!"

"Serius, oh iya, kamu mau buku ini? Kamu tahu, Ayahku seorang Dosen Fisika di universitas ternama, dan Ibuku dia seorang penulis!" Pria itu mengulurkan tangannya, memberikan sebuah buku.

"Fisika? Apa itu sejenis matematika?" Gadis kecil itu sudah tak menangis lagi.

"Iya, katanya mirip. Mau coba? Ini buku yang ditulis oleh Ibuku dengan bantuan Ayahku!" Pria itu tersenyum bangga.

Gadis kecil itu menerima bukunya. Menatapnya dan menghela napas panjang.

"Ah, kamu tahu? Satu-satunya yang aku ketahui adalah pusat massa. Kamu tahu itu? Em, pusat massa itu seperti yang kamu lakukan tadi. Menjadi sorotan pertama untuk orang-orang yang melihatnya. Bukankah itu sangat bagus?" Pria itu tersenyum lebar.

Gadis itu tertawa, melihat tingkah pria tersebut yang sangat ceria. Memberikan energi positif untuk ia kembali tersenyum.

"Jadi, maksudmu menjadi pusat perhatian?!" Ia tersenyum, menatap pria di sampingnya yang mengangguk mantap.

"Nandita!" panggil seorang wanita paruh baya, memakai kacamata dengan raut wajah yang tak menyenangkan.

"Bu Guru kenapa?" Nandita berdiri dari tempat duduknya.

"Ayo, ikut Ibu, kita ke Rumah Sakit!" ucapnya tanpa basa-basi.

"Rumah sakit?"

"Emm, Ibu dan adik kamu ada di sana!" Wanita itu segera menggandeng lengan Nandita, lantas berjalan pelan meninggalkan pria itu.

Setelah jalan lima langkah, Nandita terhenti, menahan gandengan dari wanita tersebut. Nandita melepas gandengan dan berbalik.

"Namamu siapa?!"

"Akmal Fazwan!"

💫

Semua kehidupan itu ada masanya, dan semua benda itu ada massanya!

Nandita sungguh mengerti akan hal itu.

💫

Yeay

Bagaimana nih untuk bab ini?

Bagian mana yang kalian suka?

Jika kalian suka, jangan lupa vote dan komen ya!!🌟

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro