05|| Ramalan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Kamu tau, mengapa aku menyukai Fisika? Karena Fisika selalu mendapatkan jawaban pasti dari persoalan yang kuhadapi

- Nandita Sasya Kamila -

💫

Hari Festival Pemilihan Klub

"Apa?!" Laksita tak sabar.

"Ramalan pertama, Aska Radio akan mengalami hal kemunduran di tahun ganjil!" Kenn melirik sekitar.

"Bukannya ini tahun ganjil? Apa yang akan terjadi?" tanya Nandita penasaran.

"Eih, kalian bisa lihat bukan stand mereka kosong? Mungkin itu bisa disangkutkan dengan ramalan ini! Atau, mereka tak bisa melakukan festival?" Kenn mengangkat bahu.

"Lalu?" Laksita semakin penasaran.

"Kedua, anak MIPA tak boleh masuk klub Aska Radio!" Kenn memasang wajah serius.

"Ramalan macam apa itu, aku tak percaya!" tukas Nandita.

"Oi, terserah mau percaya atau tidak, tapi yang pasti aku dapat info ini dari kakakku!" imbuh Kenn tak terima.

"Sudah-sudah, ketiga?" Laksita kembali mendengarkan dengan serius. Nandita mendecak sebal.

"Ketiga, di tahun ganjil juga mereka akan mengalami sesuatu hal buruk yang lebih buruk dari ramalan pertama!"

"Contohnya?!" Nandita kini yang merasa penasaran.

"Kebakaran? Kalian tak tau cerita klub mereka tahun 2019?" tanya Kenn menatap mereka serius.

"Kebakaran?" Laksita mengerutkan dahi tak percaya.

"Emm, kebakaran waktu itu sungguh terjadi di klub mereka. Walaupun tidak besar, tapi menghancurkan beberapa alat radio mereka!"

"Lalu, keempat?"

"Keem--"

"Tunggu-tunggu, siapa yang membuat ramalan ini?" potong Nandita menatap bingung.

"Eh, iya, memang siapa yang membuat ramalan semacam itu?" Laksita ikut bertanya.

"Terus, apakah ramalan itu selalu benar terjadi? Setelah kupikir, mungkin itu hanya kebetulan?!" jelas Nandita menatap Kenn.

"Jika itu kebetulan, apakah kejadian yang terulang terus menerus bisa disebut kebetulan?" dengus Kenn.

"Stttt, lanjutkan Kenn apa yang keempat dan kelima?" seru Laksita.

"Keem--"

"KENN! CEPAT, KAMU INGIN DAFTAR KLUB BULU TANGKIS BUKAN? MEREKA HANYA MENERIMA 30 ORANG SAJA!"

Teriakannya begitu nyaring dari arah belakang tubuh Kenn.

"Betulkah? Iya bentar!" balas Kenn memutar tubuhnya. Ia kembali memutar tubuhnya, menatap Nandita dan Laksita bergiliran. "Ah, maaf aku harus ke sana!" lanjutnya.

"Eeee, tunggu 2 lagi apa?!" kata Laksita yang diabaikan oleh Kenn. Ia berlari kecil menghampiri temannya yang sudah di depan stand klub Bulu Tangkis.

"Aish, omong-omong kamu percaya itu semua Nan?" tanya Laksita di sela kekesalannya.

"Tentu tidak!" Nandita memasang wajah yang menyebalkan.

"Habis ini, kamu mau ke mana?" tanya Laksita setelah tertawa melihat ekspresi menyebalkan Nandita.

"Toko Buku!"

💫

Harapan, itu yang sebenarnya Nandita inginkan. Secercah harap, dari sebuah apa yang ia miliki. Seberapa pun ia bekerja keras, ia selalu kalah melawan takdir. Bukankah semesta begitu jahat padanya? Selalu melepaskan hal yang menurut Nandita baik.

"Nandita!"

Samar-samar ia mendengar seseorang memanggilnya. Dadanya sesak, ia menangis tanpa henti, raganya seakan tersentak oleh sebuah tinta kelam yang menjadi trauma baginya.

Saat raganya sudah tak bisa menahan semuanya, netranya menatap samar seseorang yang membukakan pintu untuknya. Nandita salah, selalu ada secercah harap dari sebuah badai yang menerjang hidupnya. Dokumen yang ia pegang lepas dari genggamannya.

"Nandita!"

Suara khawatir, Nandita mampu mendengar dengan baik, sesaat tubuhnya terkulai lemas, netranya menutup, ia tak bisa merasakan apa pun. Walau begitu, ia merasakan sesuatu telah menopang bagian bawah kepalanya, saat akan terbentur dengan lantai.

Zepp!!

Lampu gudang menyala.

💫

Nandita mengerjap-ngerjap, netranya menatap sekeliling samar. Masih terbaring, setelah beberapa saat netranya sudah sempurna jelas menatap langit-langit atap. Napasnya sudah terkendali, dan ia kembali nyaman dengan suasana yang ia rasakan saat ini.

Nandita berusaha menyeimbangkan tubuhnya. Beranjak bangun dari tempatnya.

"Kamu tak apa-apa?"

Dari balik gorden biru muda, muncul seorang pria yang selalu muncul dalam ingatannya. Pria itu seperti biasa, gayanya sedikit sok keren, rambut ikal, dan iris mata coklatnya yang indah.

"Nih, minum!" Nandita menatap Akmal tak enak. "Udah ambil aja, cepet minum!" Tangan Akmal memberikannya langsung pada tangan Nandita.

"Aku baik-baik saja," ucap Nandita tersenyum.

Akmal duduk pada kursi tanpa sandaran di pinggir ranjang yang ditempati Nandita. Sekelumit rasa dan cemas, memang menghantui akalnya.

"Tadi, apa yang terjadi?" tanyanya cemas, menatap binar di hadapannya.

Nandita menghentikan gerakan tangannya, gelas yang akan ia minum, tak jadi begitu saja. Pertanyaannya membuat ia tak nafsu untuk meminum teh manis tersebut.

"Tak apa-apa, itu hanya sebuah kecelakaan." Nandita menghela napas gusar.

"Kecelakaan? Jelas, ini bukan kecelakaan Nandita!" Nadanya sedikit mengerang, raut wajahnya kesal dan sedih yang menjadi satu. Nandita tak tau apa yang terjadi padanya.

Nandita menatap netra Akmal sedikit terkejut, lantas, ia menatap teh manis yang ia pegang sedari tadi.

"Lalu, apakah ramalan itu memang benar?" ucap Nandita menahan kegelisahan.

Akmal mematung, memalingkan wajahnya. Sebenarnya, ia tak tahu harus mengatakan apa. Hanya saja, ia tak ingin kejadian tahun lalu terulang kembali. Ia ingin sekali mematahkan ramalan yang ada. Satu yang menjadi persoalan baginya, siapa dalang di balik ini semua!

"Bukan itu maksudku Nandita, kamu jangan percaya dengan hal-hal semacam itu!" tegas Akmal.

"Lalu apa?!" ucap Nandita tanpa sedikit pun melirik pada Akmal. Tetap menatap kosong pada teh manis yang ia pegang.

"Bisakah tak membicarakan ramalan? Bukankah kita harus fokus pada apa yang ada di hadapan kita sekarang!?"

"Yang ada di hadapan kita sekarang adalah ramalan!" balasnya lagi.

"Ini jelas sebuah teror bukan ramalan!" Akmal menatap tajam pada gadis di hadapannya.

"Teror? Apa teror ini selalu datang?!" Nandita tak bisa menyembunyikan rasa sedihnya.

Ruang itu lengang, hanya menyisakan napas menderu dari keduanya. Mereka sibuk memikirkan hal dan memikirkan apa yang seharusnya dikatakan.

"Ahh, maaf." Nandita menoleh pada pria tersebut.

"Maaf?"

"Kamu tau, mengapa aku bersikap seperti ini? Karena aku tak ingin hal buruk terus menerus datang pada klub kita. Aku ingin sekali membereskan masalah utama bagi klub, namun sayangnya, aku selalu gagal. Aku menjadi kapten bukan seolah-olah menjadi kapten saja, tapi aku ingin melindungi kalian semua!"

💫

Jam dinding menunjukkan pukul 20.30, selepas bekerja, ia memang merasakan tubuhnya begitu lesu, apalagi saat kejadian di gudang tadi. Entah apa yang terjadi selanjutnya, tapi Nandita hanya menganggap ini sebuah kecelakaan.

"Sudah datang? Ayo makan!" perintah Isma dari dapur.

"Iya Bu." Nandita segera duduk pada tikar yang sudah digelarkan.

"Elvan, makan!" Isma sedikit berteriak untuk memanggilnya.

Elvan keluar, dengan kaos oblong putihnya, ia berjalan santai. Nandita menatapnya dan menghela napas panjang. Hari ini ia lelah, tak ingin membicarakan masalah belajar atau uang di hadapannya untuk saat ini.

Gelapnya malam hari ini, mampu membuat hatinya sedikit kelam.

💫

Nandita tampak bersemangat hari ini, ia lupakan masalah yang terjadi, ia fokus pada apa yang ada di hadapannya sekarang. Ah, Nandita ternyata salah, yang ada di hadapan memang bukan ramalan. Terkadang, selalu picik, memikirkan masalah yang akan merugikan diri kita sendiri. Lebih baik memikirkan langkah apa yang seharusnya ia jalani sekarang.

Pelajaran kali ini adalah pelajaran favorit Nandita. Fisika, iya itu adalah pelajaran terbaik menurutnya. Entah mengapa, ia begitu menyukainya sejak kelas 2 sekolah dasar. Memang, dulu tak ada Fisika hanya IPA, ia menyukai IPA dibanding siapa pun.

Pak Sandy--selaku Guru Fisika, sangat baik dalam menjelaskan hal apa pun. Umurnya memang sudah tua, namun semangat ia mengajar mampu membuat mereka merasakan hal yang sama.

Setelah jam istirahat, ia bergegas ke Perpustakaan. Setelah Pak Sandy mengumumkan akan ulangan harian besok, ia kembali bersemangat. Mengirim pesan pada Laksita untuk tidak ke kelasnya. Kemudian pergi menuju perpustakaan.

Sesampainya di sana, ia mencari buku lalu duduk dekat jendela. Pencahayaan begitu baik dan sinar memang menembus raganya, ia menyukainya.

"Apa yang harus aku lakukan duluan?!" tanyanya pada diri sendiri. Perpustakaan lumayan sepi, hanya ada beberapa orang di sini.

"Mau ulangankan? Nih, aku pinjamkan bukuku!" Saat hendak memulai nulis, tiba-tiba saja seseorang datang. Pria itu berada di sampingnya, dengan buku yang sempurna tepat di depan wajah Nandita.

Nandita menengok ke samping, lalu sedikit menengak menatap iris mata hitam milik seorang pria yang bernama Fadia Gasendra.

"Terima kasih kak Fad," kata Nandita mengambil bukunya.

"Tak masalah!" Fadia mengangkat bahu dan duduk di sampingnya.

Nandita tak bisa fokus, pikirannya malah menjelajahi mengapa pria ini duduk di sampingnya dan tak pergi? Bukan mengusir, hanya saja ia sepertinya tak melakukan apa pun di sini, selain menatap Nandita atau menatap seisi ruangan yang sepi.

"Kak Fad tak belajar?" tanya Nandita.

"Pelankan suaramu! Emm, aku tak belajar, lagian aku terlalu sering melakukan itu, aku ingin sedikit merenung atau melakukan sesuatu yang menyenangkan!" jawab Fadia.

"Ahh, kalau begitu kak Fad pasti menyukai Fisika bukan?"

"Emm, menurutku Fisika dan Matematika adalah dua hal yang kusukai, entah mengapa ketika mengerjakannya mampu membuatku merasakan ketenangan!" Fadia tersenyum bangga. "Lalu, kalau kamu sendiri bagaimana?"

"Kalau aku." Nandita menghela napas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya. "Jika di sangkutkan dengan sebuah kehidupan, menurutku Fisika adalah hal yang paling cocok. Jawaban pasti dari masalah-masalah yang terjadi dalam hidupku. Aku merasakan itu, entah mengapa bagiku seperti itu. Aku selalu membutuhkan jawaban, dan jawaban itu selalu kucari dalam Fisika!"

Fadia sedikit merasakan sesuatu dalam diri Nandita. Ia mulai sedikit terpikat pada nilai yang dimiliki Nandita. Entah mengapa hatinya berdebar kencang saat menatap paras gadis di hadapannya.

Saat suasana kembali lengang, tanpa sengaja Nandita menjatuhkan pensil miliknya.

"Biar aku saja!"

Telat, mereka berdua mengambil secara bersamaan dan kepalanya terbentur satu sama lain. Mereka berdua sedikit meringis, menatap sejenak lantas tertawa bersama.

"Stttt!"

Fadia menatap Nandita dengan tertawa kecil. Nandita juga melakukan hal yang sama.

Keduanya begitu leluasa, menatap hati yang memang tak memiliki rasa.

💫

Hari ini ia akan klub Bunga Kalkulus. Setelah pelajaran terakhir Nandita segera bergegas menuju lokernya, mengambil baju ganti. Ia sedikit kesal, Bu Salsa selalu menambahkan waktu lima belas menit dalam pelajarannya. Alhasil, kelas mereka pulang pukul 15.15.

Tangannya merogoh saku, mengambil kunci dan membuka loker berwarna krem yang lumayan besar. Saat membuka, selembar poster jatuh begitu saja. Jatuh tepat di atas kakinya.

Nandita mengambil poster tersebut, dan menatap bingung. Terlihat dalam poster itu, seorang gadis dengan rambut dikuncir kuda. Memakai jaket Aska Radio dan ia begitu gembira. Tapi, poster itu sudah sedikit robek dan kusut. Lipatan-lipatan kecilnya membuat poster itu seakan harus dibuang. Ada tulisan-tulisan juga bahwa gadis dalam poster tersebut adalah primadona Aska Radio.

Tapi yang menjadi permasalahan bagi Nandita adalah, mengapa poster ini bisa ada dalam lokernya?

Sesaat memikirkan itu, handphone-nya bergetar, lantas ia membuka dan menemukan pesan kembali dari nomor yang sama.

08121456723
Keluar klub Aska Radio!

Nandita mengangkat bahu, ia abaikan, segera mengambil baju ganti dan pergi begitu saja.

💫

Yeay

Bagaimana untuk bab ini?

Bagian mana yang kalian sukai?

Ahh, semoga kalian suka ya! Dan jangan lupa vote dan komen!🌟










Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro