07|| Harapan atau Bualan?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Perkataan manis itu didasari oleh sebuah harapan. Namun akhirnya, itu hanyalah bualan

- Nandita Sasya Kamila & Elvan Atharrayhan -

💫

"Kak, maafkan aku, aku harus pergi!" Nandita melepas pelukan.

Akmal menghela napas, lalu tersenyum. "Mau ke mana? Pergi bekerja?"

"Bukan, ada masalah, aku harus segera pergi!" Nandita menahan kekesalannya.

"Kalau boleh tau, ke mana?" tanya Akmal.

"Kantor Polisi!"

"Kalau begitu biar aku ant--"

"Aku saja!"

Tiba-tiba, dari arah yang berlawanan, Fadia datang menatap Nandita. Suasana begitu tak enak, Akmal bersikukuh akan mengantar Nandita, begitu pun Fadia. Nandita menatap heran keduanya, apa yang sedang mereka lakukan?

"Kenapa tiba-tiba datang, dan ingin mengantarnya?" dengus Akmal.

"Kenapa bertanya? Bukankah kita harus saling tolong menolong? Tenang saja, aku bawa sepeda motor!" decak Fadia.

"Aku tak mempercayaimu, Nandita biarkan aku mengantarmu!"

Nandita menghela napas, yang kesekian kalinya. Ia bergegas masuk, untuk mengambil barang miliknya. Mereka berdua saling menatap sinis, lantas mengekori Nandita.

"Ah, temen-temen, aku harus pulang duluan, ada sesuatu yang harus aku lakukan!" ucap Nandita saat tiba di sana.

"Fadia? Kok bisa kamu ada di sini?" Intan berseru.

Fadia mengangkat bahu, "mengantarkan Nandita!"

Akmal melirik tajam, ingin sekali menonjok pria di sampingnya. Nandita dengan cepat mengambil tas gendong putih miliknya. Tersenyum lantas netranya beralih pada kedua pria di hadapannya.

"Aku bisa sendiri!" imbuh Nandita.

"Tidak Nandita, biar aku antar!" kekeh Akmal.

"Heh, ketua Aska Radio, kamu gak liat anggota-anggotamu sedang makan bersama?! Lagian, mereka butuh ketua di sini!"

"Aku bisa sendiri!" tegas Nandita yang kesekian kalinya--walau itu tak pernah didengar oleh mereka.

Akmal tak habis pikir, ia amat jengkel dengan ketua Bunga Kalkulus tersebut.

"Maka dari itu sebagai kapten aku harus meng--"

"Fadia benar!" potong Rafael dengan tatapan mengisyaratkan ada sesuatu yang harus mereka bicarakan.

Akmal menyerah, ia menghela napas kecewa. "Oke, tapi jangan lupa telepon aku kalau sudah!"

"Y!" Fadia tersenyum, lantas pergi bersama Nandita.

Entah apa yang seharusnya Nandita lakukan di situasi seperti ini. Mencoba biasa saja, dan tak berpikir ke mana-mana tentang perasaanya. Mengetahui bahwa dua pria tadi sedang memperebutkan dirinya untuk mereka antar, mampu ia merasakan sedikit gejolak yang begitu aneh. Ia menggelengkan kepalanya, ia harus fokus pada Elvan, karena telah membuat dirinya marah.

"Ayo cepat naik!" Fadia memberikan helm satunya.

Motor Vario berwarna hitam itu melesat melewati pepohonan dan kota yang tampak masih ramai. Untung saja, ia tak memakai rok, ia sudah mengganti pakaiannya saat klub. Celana bahan hitam dan memakai jaket pink di tubuhnya. Rambutnya selalu ia biarkan terurai.

"Aaaa!" Nandita menjerit, kala Fadia mengerem tiba-tiba.

Wajah Nandita menghantam wajah Fadia. Helmnya bertubrukan.

"Maaf, ada kucing di sana!" Fadia membalikkan sedikit wajahnya.

"Tak apa!"

"Bisakah kamu berpegangan?"

Nandita menelan ludahnya. Ia tak salah dengar?

"Ahh, iya!" Lengan Nandita berpegang pada sisi jok.

"Itu sama aja bohong," kata Fadia sedikit tertawa.

"Terus, aku harus pegangan ke mana?"

"Apa susahnya si, tangan kamu pegang badan aku!" Fadia dengan cepat mengambil tangan Nandita dan melingkarkan pada badannya.

Deg!

Nandita terdiam, ia ingin sekali melepaskan tangannya. Hanya saja, Fadia langsung menancap gas tanpa aba-aba, membuat Nandita mengeratkan pelukannya. Fadia tersenyum, dan hatinya begitu bahagia.

Mereka sudah sampai pada Kantor Polisi. Nandita bergegas turun dan cepat masuk ke kantornya. Ada sebuah rasa jengkel dan marah dalam dirinya. Adik satu-satunya, yang selalu ia banggakan dan nafkahi membuat masalah serius. Fadia hanya mengikuti Nandita dari belakang.

Nandita menatap sekeliling, lantas pandangannya menangkap Isma yang sedang memohon pada seorang pria dan wanita paruh baya yang tampak kaya. Sedangkan Elvan, ia hanya diam dan menatap tak suka.

"Kau tau? Anakmu sudah membuat anak saya babak belur! Patah hidung dan hal lainnya!" ucap wanita sembari mengelus punggung anaknya. Begitu lusuh, dan banyak sekali lebam di wajahnya.

"Mohon maaf bu!" Isma memohon.

Nandita menatap tanpa berkedip, melihat suasana itu, hatinya begitu sakit. Fadia hanya diam dan melihat situasi. Gejolak amarah Nandita naik dan ia berlari kecil menghampiri mereka. Semua melihat Nandita. Tepat di hadapan Elvan yang tengah duduk menghadap Pak Polisi, netra Nandita membulat.

Plak!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Elvan. Napasnya menderu, dan lantas ia menatap mereka yang sedang marah.

"Ah, maafkan adik saya bu, saya kurang mendisiplinkannya!" Nandita menunduk.

Binar Elvan membulat, tatapan tak suka terhadap kakaknya semakin tinggi.

"Elvan, cepat minta maaf!"

Elvan hanya mendengus.

"Ah sudahlah, saya akan membawa ini ke jalur hukum!" dengus wanita tersebut, dan bergegas pergi bersama anak dan suaminya.

"Ahh, jangan bu, kami mohon, kami akan memberikan uang kompensasi terhadap kelakuan anak saya!" Isma tetap memohon dan menyamai langkah mereka.

"Cepat minta maaf, Elvan!" dengus Nandita segera menyusul mereka bersama Isma.

Elvan berdiri, dan mengambil lengan Nandita kasar.

"Hentikan!"

"Hentikan apa?! Cepat minta maaf!"

Nandita kembali membalikkan tubuhnya, bergegas menyusul mereka.

"Hentikan!!" Lagi-lagi Elvan menahannya, mengambil lengannya begitu kasar.

Nandita membanting lengannya.

"HENTIKAN APA BODOH!? KAU TAU, SATU KESALAHAN YANG KAU BUAT, BISA MERUGIKAN KELUARGA KITA! KENAPA? KAU INGIN MERUSAK HIDUPMU!? APA YANG KAU INGINKAN!? SATU CATATAN KRIMINAL AKAN MENGHANCURKAN KITA SEMUA!" teriak Nandita, napasnya menderu dan ia tak tak peduli pada orang-orang yang menatapnya.

"INI HIDUPKU! APA YANG KULAKUKAN TERSERAH ELVAN! AKU TAK BUTUH BANTUAN KAKAK. JANGAN SEOLAH-OLAH KAKAK PEDULI PADAKU!" balasnya dengan teriak.

"Apa?!" Nandita terkejut dengan ucapan adiknya. Tangannya mengangkat dan ha--

"APA?! KAKAK MAU TAMPAR? SILAHKAN!"

Tangan Nandita terhenti, kantor tersebut lengang, menyisakan napas amarah dari keduanya. Fadia benar-benar tak bisa berkutik, seharusnya ia tak mengantar Nandita, menyaksikan hal aib bagi dirinya. Fadia salah, ia tak enak dengan situasi ini.

Di luar, Isma tetap memohon, namun keluarga tersebut segera naik mobil putih, dan meninggalkan Isma yang menahan tangisnya.

💫

"Kamu tak apa?" Fadia menyodorkan air mineral pada Nandita. Mereka tengah duduk di kursi taman dekat Kantor Polisi.

Nandita hanya mengangguk, mengambil botolnya. Membuka, lantas meminum untuk menenangkan hatinya.

"Maaf, aku jadi mendengar dan melihat langsung tentang masalahmu!" Fadia menghela napas dan menatap langit malam tanpa bintang.

"Tak masalah, lagian, ini bukan hal yang buruk! Aku biasa saja ketika orang mengetahui masalahku," tukas Nandita.

Lengang. Keduanya saling menatap langit. Membiarkan hawa dingin masuk ke dalam raga mereka. Setidaknya, itu bisa membuat dirinya tenang.

"Omong-omong, kita festival akan diadakan bulan Oktober akhir, dan kamu tau, awal Desember akan ada olimpiade. Aku hanya ingin bilang, semoga kamu menjadi orang terpilih! Aku benar-benar mengharapkan mu. Jadi, bisakah kamu fokus pada akademik saja?" ucapnya seraya menyilangkan kedua lengannya. Rambut lurusnya terlihat ke sana ke mari oleh angin sepoi.

"Ah, itu tak bisa kuputuskan secara sepihak. Aku harus melihat keluargaku, dan bahkan sekelilingku. Tujuan utamaku, bukan untuk hal semacam itu, tujuanku hanya untuk mendapat uang!"

Fadia dapat melihat netranya yang diselimuti oleh sebuah senyuman.

"Ah, kerja!" Nandita melihat jam di ponselnya yang menunjukkan pukul 19.45.

"Biar aku antar!"

💫

Angin berhembus pelan menyapa permukaan tubuh seorang gadis yang hanya diam di kursi taman. Sesekali ia melirik pada lapangan basket melihat permainan.

"Sedang apa?" Tiba-tiba Akmal berdiri di hadapan Nandita. Akmal duduk di sampingnya.

"Keliatannya?!" Akmal memiringkan sedikit kepalanya.

"Lagi mancing!" Akmal mengembungkan sebelah pipinya.

"Bukan, lagi joget!" ketus Nandita. Ia tak ingin diajak bercanda.

"Kemarin baik-baik saja?" Akmal menghentikan gurauannya.

"Emm"

Keduanya kembali diam, Akmal tak tau harus mengucapkan apa. Sedangkan Nandita, ia lebih memilih bergulat dengan pikirannya yang kacau.

"Nandita Sasya Kamila, bukankah kamu menyukai Sastra?" tanya Akmal tanpa menoleh.

"Kakak salah, aku membenci itu!" balasnya tanpa menoleh. Mereka saling berdialog tanpa menoleh satu sama lain.

"Jika begitu, mengapa kamu ingin masuk ke klub ini? Jelas, di dalamnya pasti ada sebuah Sastra!"

"Karena aku membutuhkan uang! Bukankah kakak akan memberikanku uang?"

"Berarti, kamu memang tak menyukai ini bukan?!"

"Iya, aku benci melakukan ini! Mendengar sebuah bualan aneh yang orang-orang percayai!"

"Nandita, ada kalanya kamu harus berhadapan dengan apa yang tidak kamu sukai. Aku tak mengetahui, mengapa kamu membencinya. Hanya saja, bisakah membuka hati untuk itu lagi?" Kali ini, Akmal menoleh.

"Cukup! Aku tak akan tergoda lagi, aku sudah membenci ini, dan akan terus membenci!" Nandita juga menoleh. Mereka saling tatap, dan menghembuskan napas gusar.

"Jika itu maumu, apakah aku bisa merubah mu dengan sebuah diksi?"

"Diksi?!"

💫

Sehari sebelum Acara Kenaikan Kelas, 2 Juli 2012

"Nandita Sasya Kamila, gadis kecil pemberani, akan tampil di panggung besar besok!" ucap seorang pria dewasa, merentangkan tangannya.

"Ayah, jika besok aku tampil dengan baik, apa Ayah akan ngasih sesuatu pada Nandita?!" Gadis itu tersenyum, menatap binar pria yang amat ia cintai.

"Jelas, kamu mau apa? Biar Ayah belikan nanti! Kalau begitu, Nandita cepat tidur ya, biar besok tampilnya penuh energi!"

"Emm!"

"Nandita Sasya Kamila, anak Ayah yang paling mirip dengan Ayah, menyukai puisi dan hal lainnya!"

Mereka sedang berjalan menuju kamar Nandita.

"Tapi Ayah, Ayah janjikan mau kasih Nandita hadiah?" Sebelum membuka pintu kamar, Nandita menyodorkan jari kelingkingnya.

"Ayah janji!" balasnya menyodorkan jari kelingkingnya juga.

"Kamu tau Nandita? Sebuah diksi dan imajinasi yang liar, akan membantu hidupmu! Menemukan sebuah mimpi dalam diri dengan tubuh yang akan menjadi saksi!" Ia mencium kening Nandita.

💫

Tapi, itu semua hanyalah bualan. Sebuah omong kosong yang terucap dalam bibir sang Ayah. Perkataannya, membuat Nandita mengharapkan sesuatu yang seharusnya terjadi. Tapi, ia malah menemukan sebuah jurang dalam kata yang terucap olehnya.

Hidupnya sedikit hancur, apakah ia harus menyalahkan Ayah? Baginya, sebuah omong kosong yang bersenandung, akan selalu ia tendang menjauh dari gendang telinganya.

Sudah cukup, ia tak ingin merasakan hal pahit kembali. Menjadi tulang punggung keluarga, membuat ia merasakan rindu yang amat kepada sang Ayah.

💫

"Lantas begitu, biar aku tunjukkan, sebuah diksi yang seperti ilusi, menembus hati yang bersifat seperti besi. Dan aku yakin, itu akan menjadi baswara!"

"Jika itu maumu, cobalah! Aku sudah membencinya!"

Keduanya saling tatap, hatinya menafsirkan, bahwa pria di hadapannya tertarik padanya.

💫

Yeah

Yeayyyy, bagaimana kabar kalian hari ini? Semoga selalu sehat ya!

Oh iya, seperti biasa aku kembali bertanya mengenai bab ini!

Apa yang kalian rasakan di bab ini?

Bagian mana yang kalian suka?

Apa yang membuat kalian melanjutkan membaca cerita ini?

Jika suka, jangan lupa beri vote dan komen!🌟

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro