08|| Kalbu yang Kelabu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Tuhan menciptakan mata agar tidak mudah menilai orang dari telinga. Ketahuilah, yang merubah sikapku adalah orang-orang!

- Akmal Fazwan -

💫

Nandita dan Akmal memutuskan untuk berbicara santai. Bagi Akmal, ia tak suka dipanggil 'kak' atau 'kapten' sebenarnya. Tapi, ia selalu membiarkan mereka menyebutnya seperti itu. Pada akhirnya, ia memutuskan kepada mereka untuk tidak memanggilnya seperti itu.

Malam ini, Nandita sedang duduk di meja belajarnya. Menatap pada jajaran buku pelajaran. Mengambil salah satunya, dan mulai memfokuskan dirinya. Tapi, ia terhenti saat menatap buku yang ia pegang. 'Fisika Asik untuk Anak Didik'.

Nandita tau buku ini, Akmal yang memberikannya dulu. Bukankah semesta terlalu mudah ditebak? Dipertemukan kembali dengan seseorang yang membantu hidupnya saat itu.

Pandangannya juga menangkap sebuah buku paling ujung rak, mengambilnya dan terdapat beberapa sobekan dan lipatan yang lumayan parah. Ia tersenyum getir, dan bertanya-tanya, jika ia membenci puisi, apakah ia membenci Ayah juga?

💫

3 Juli 2012-Pukul 15.05 WIB

Retakan kecil terjadi pada daksa seorang gadis kecil yang tengah menatap pintu bening tersebut. Di sisinya ada seorang wanita dewasa yang tengah menidurkan anaknya.

"Nandita, sini!" Ia menggigit bibir, menahan semuanya dalam raut wajah yang tertahan.

Tak kuasa menahan bendungan air matanya, wanita tersebut menangis begitu saja. Elvan tiba-tiba ikut menangis dalam dekapannya, sebuah batin ibu yang memang terikat dengan anak-anaknya. Sedangkan Nandita, ia termangu, entah apa yang terjadi.

"Ayah bohong! Katanya mau liat Nandita tampil, tapi kok Ayah gak dateng?" tanya Nandita polos, ikut duduk di samping Ibunya.

Isma menatap pilu, tangan kanannya meraih pipi gadis kecil itu. Memberikan energi agar ia tak terkejut.

"Maaf, tapi suami ibu telat dibawa ke Rumah Sakit, kami tidak bisa berbuat apa-apa! Kami juga sudah berusaha semaksimal mungkin, hanya saja, mungkin, jantungnya sudah terhenti saat ambulan membawanya ke sini!" Tiba-tiba seseorang datang dari balik pintu, memakai pakaian serba hijau tua, memakai kacamata, namun tatapannya begitu sendu. Tangannya membawa sebuah kotak berwarna merah muda.

Mendekap Elvan lebih erat, Isma nangis terisak, duduk tak berdaya menahan sebuah rasa sakit yang begitu dalam.

Netra Nandita menyimpan sebuah kejadian ini. Entah, ia tak bisa menangis kali ini. Ada rasa yang tertahan di dalam dadanya. Isma terus menangis, membuat Elvan juga ikut menangis.

"Kamu Nandita?!" Dokter itu membungkukan tubuhnya, menghadap Nandita yang tengah duduk di samping Ibunya.

Nandita mengangguk.

"Ini adalah hadiah dari Ayahmu!"

Nandita menerima hadiah tersebut, kotak indah itu mampu membuat sayatan kecil di hatinya. Saat ia buka, isinya adalah sebuah buku kumpulan puisi yang lumayan tebal. Di sana juga ada poto Nandita saat kecil, menempelkan pada bagian depan cover bukunya.

Tangannya meraih dan ia tak bisa menyembunyikan hatinya. Kesal dan sesak menjadi satu dalam atmanya. Ia menggenggam buku erat sampai buku tersebut menimbulkan robekan robekan kecil yang menjalar, dan akhirnya sedikit kusut.

💫

"Nandita," panggil Laksita.

"Apa?"

"Kamu tau rumor Akmal?!" Laksita serius.

"Kak Akmal, gak sopan banget!" decak Nandita.

"Eh, kan dia gak mau di panggil kak atau kapten."

"Yaudah, ada apa?" Nandita mendekat kan dirinya pada Laksita.

"Aku dapet informasi dari Kakak-kakak kelas dan Kenn, ternyata Akmal itu selalu memberikan uang kepada orang yang mau masuk ke klub Aska Radio, bisa dibilang memberi suap? Terus, kalau tidak salah, ia pernah membuat gaduh tentang klub Aska Radio. Ini terjadi pada tahun sekarang, beberapa bulan yang lalu, pada bulan Januari. Ava Arisha, primadona Aska Radio pindah sekolah karena kejadian yang benar-benar mengenaskan!" Laksita mengehela napas panjang sebelum melanjutkan.

"Kemudian, Akmal menyalahkan senior terkait peristiwa tersebut!"

"Peristiwa apa?" sela Nandita.

"Jatuh--"

"Tunggu-tunggu, Ava Arisha? Primadona? Apakah poster yang aku temuin, itu dia? Lalu, posternya kemana ya? Padahal, aku naro di tas deh!" potong Nandita mengerutkan dahinya.

"Ahh, aku lupa bilang, posternya di ambil kak Rafael."

"Ah, yasudahlah, lagian gak penting juga!"

Rasa penasaran peristiwa tadi, lupa begitu saja. Ia sedikit kikuk sebenarnya, saat apa yang diucap Laksita, itu adalah dirinya sendiri. Nandita menerima tawaran dari Akmal. Ia rahasiakan pada siapa pun. Tapi, mengapa orang-orang mengetahui hal ini?

Nandita tersenyum, segera menggandeng lengan Laksita untuk pergi ke kantin. Di perjalanan handphone-nya berdering. Merogoh saku, dan lagi-lagi pesan dari nomor yang tak dikenal. Langkah Nandita terhenti, Laksita juga ikut berhenti.

08121456723
Wow, sepertinya kamu sudah mengetahuinya! Menyenangkan bukan berada di klub ini?

Kali ini Nandita tak bisa diam. Ia menjawab secara singkat.

Nandita
Sebenernya, apa yang kamu inginkan?

"Lak, kamu tau nomor ini?" geram Nandita.

"Coba kulihat." Netranya sedikit terperanjat. "Apa yang terjadi?"

"Aku juga tak tahu, tapi ini aku mendapat pesan ini dari tiga Minggu yang lalu, dan hari ini, adalah pesan ketiga," jelas Nandita.

"Gak bisa dibiarin, kita lapor ke kapten! Eh, Akmal!" Laksita menarik lengan Nandita kasar.

"Ah, udahlah, nanti saja saat pertemuan!" elak Nandita.

"Gak bisa, harus sekarang! Pertemuan klub masih lama!"

"Gak usah berlebihan Lak!"

"Nandita!"

Nandita pasrah, ia biarkan Laksita membawa tubuhnya ke Studio Radio. Sesampainya di sana, ternyata hampir semua mereka ada di sana. Akmal yang sedang membaca cerita-cerita untuk siaran, Rafael yang tengah mengawasi empat anggota muda Aska Radio yang berada di ruang siaran. Tak mereka sangka, empat anggota muda begitu semangat untuk pemilihan nanti, sampai-sampai mereka latihan secara langsung.

Semua mata tertuju pada mereka. Laksita melongo sebentar melihatnya. Lantas menarik Nandita agar duduk di meja persegi panjang. Akmal menoleh, begitu pun Rafael yang berada di ambang pintu ruang siaran. Bahkan mereka yang berada di ruang siaran juga ikut nimbrung.

"Kapten, ada yang ingin kubicarakan!" Laksita serius. Memandang semuanya secara bergiliran.

Akmal yang di hadapannya, sedikit mengerutkan keningnya. Rafael juga ikut duduk di sisi Akmal. Mereka saling berhadapan. Keempat anggota itu hanya diam dan berdiri.

"Terserahlah, panggil aku apa saja!"

Nandita sedikit menunduk, tak ingin menatap mata Akmal.

"Apa ini maksudnya? Aku rasa, poster yang kemarin Nandita temukan juga ada sangkut pautnya dengan ini!" Laksita memperlihatkan handphone Nandita.

Akmal diam, menatapnya dan mengehela napas panjang. Netranya menutup, kala ia menyembunyikan hal yang tidak-tidak.

"Ramalan keempat, saat anggota Aska Radio menerima gangguan, berarti orang tersebut sudah tertanda!" celetuk Vano, sifatnya pemalu namun terkadang, ia selalu berani berbicara. Poninya selalu menutupi keningnya.

"Tertanda?!" ucap serentak kecuali Akmal dan Rafael.

"Maksudnya, Nandita akan tertanda di ramalan kelima!"

"Hei, jangan asal bicara! Jika takut, mengapa masih berada di klub ini?!" Rafael menggebrak meja, menatap Vano tajam.

"Nandita, kenapa kamu gak bilang dari dulu?" kata Akmal lembut, namun di sisi lain, tekanan terhadap mentalnya begitu besar, ia ingin sekali berteriak.

Nandita menunduk.

"Aku mohon, jika kamu menerima pesan lagi, lapor kepadaku!" tegas Akmal dengan napas sedikit menderu.

Suasana begitu tegang, perasaan sunyi yang memang tak bisa dibohongi. Sebuah asa yang terputus dalam jiwa Akmal. Mencoba tenang, agar tidak memperkeruh suasana.

"Bubar!"

💫

Suasana sunyi mengisi kalbu. Angin malam yang begitu dingin mampu membuat rasa kesalnya mereda. Di bawah bulan dan bintang-bintang di langit sana, Akmal diberikan sebuah rasa takut kejadian terulang kembali.

Tapi satu yang pasti, ia begitu khawatir pada gadis itu. Gadis yang ia janjikan, akan membuatnya menyukai Aska Radio. Namun, bukankah sulit, jika hal tadi semakin menjadi-jadi.

"Ngapain?" Tiba-tiba, Fadia datang menyandarkan bahunya pada tiang halte.

Helaan napas Akmal mampu membuat Fadia merasakan apa yang telah terjadi. Dari sorot matanya, ia tak ingin di ajak bicara.

"Ramalan? Atau, festival? Bukankah Aska Radio tetap diizinkan festival pada bulan Januari?" Fadia menatap jalanan yang lumayan sepi.

"Bukan urusanmu!"

"Memang bukan, hanya ingin tau saja. Seperti saat kejadian beberapa bulan lalu!" Fadia tersenyum sinis.

"Apa yang kau tahu?!" Akmal berdiri menatap tajam.

"Ava Arisha, bukankah ia berkencan dengan Rama? Melanggar aturan klub! Seseorang menyebarluaskannya, dan akhirnya mereka semua membencinya! Tapi, kenapa kamu selalu mendukung Ava?"

Tangan Akmal mengepal, dahinya mengerut dan tatapannya sendu.

"Heh, jangan asal bicara. Dapet darimana? Gosip seseorang? Mulut tak berperasaan seseorang?"

"Entah apa yang merubah sikapmu, tapi aku membenci dirimu saat ini. Karena masalah ini, bukankah kita memutuskan pertemanan?!" Fadia memasukkan kedua lengannya pada saku celana. Berjalan santai meninggalkan Akmal.

Atmanya sedikit runtuh, ia duduk kembali, disadarkan akan pahitnya kehidupan yang katanya manis. Seragam putih abunya kusut dan rambutnya tak beraturan.

Tepat saat itu, Nandita datang, hendak menunggu angkutan umum untuk pergi bekerja malam ini. Tapi yang ia lihat, Akmal yang sedang memejamkan netranya, seraya menengak.

"Kak Akmal!" Nandita duduk di sampingnya. Suasana begitu gugup dan canggung.

Sebuah kalimat menyapa rungu, ia membuka netranya dan menurunkan wajahnya. Membenarkan sedikit tas gendongnya, lantas menatap Nandita.

"Iya? Bisa panggil Akmal saja?!"

"Tapi aku tak ena--"

"Akmal saja!" potongnya.

Nandita menghela napas panjang, melihat ke depan dan tiba-tiba saja rinai mulai turun ke bumi, membasahi sedikit demi sedikit gersangnya hati mereka.

"Mau bekerja?" Akmal buka suara.

Nandita mengangguk.

"Hujan dan kenangan....."

"Air dan kehampaan..."

"Payung serta harapan..."

"Menaruh sejuta tetesan yang tiada arti..."

Nandita terdiam, kala Akmal mulai membacakan sebuah puisi singkat. Jantungnya berdegup kencang, saat rinai yang turun semakin deras.

Nandita mencoba berani bersuara tentang apa yang ia dengar dari Laksita.

"Akmal, apakah Ava Ari--"

"Nandita, hari ini, jam ini, aku akan melepaskan masa lalu! Kalbu yang Kelabu dalam hatiku, akan kuubah menjadi kalbu yang berwarna! Jadi, aku tak akan bertele-tele, jika kamu ingin keluar dari klub ini, aku tak bisa melarang! Melakukan hal bodoh dengan uang, adalah perilaku burukku. Aku tak ingin klub ini bubar, tapi aku yakin detik ini, aku tak akan begitu. Sikapku berubah karena orang-orang!" potong Akmal menampilkan senyuman indahnya.

"Sejuta tetesan tiada arti? Kamu salah, salah satunya, akan ada yang berarti!"

Hati abu-abu, antara hitam dan putih. Masih bisa diputihkan dan masih bisa dihitamkan. Hanya pilihan, dengan cara itu mereka mampu melepaskan sesuatu hal berharga dalam hidupnya. Percayalah, berdo'a pada Tuhan, maka sesuatu yang dianggap baik akan sirna begitu saja. Itu adalah rasa kasih sayang Tuhan kepada hambanya.

Kesepian memang selalu menjadi teman disaat semesta tak memihak. Tapi itu akan runtuh oleh sebuah kepercayaan, merobek kesepian hingga semesta tak lagi berkutik.

Nandita dan Akmal, mengetahui itu. Entah mengapa, mereka saling terikat.

💫

Wakwawwww

Huhuy

Bagaimana untuk bab ini?

Bagian mana yang kalian sukai?

Jika suka jangan lupa beri vote dan komen!🌟

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro