09|| Suara Hati

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Diam dan menatapnya dengan bisu
Kemana hilangnya lantang suaramu?
Suara hatimu yang selalu kutunggu
Nada indah yang terdengar begitu merdu

- Akmal Fazwan -

Kutipan Puisi 'Rapuh' karya Ridwan Assidik

💫

"Ibu baik-baik saja?" tanya Nandita yang tak jadi memasukkan sendok ke mulutnya.

"Aih, sejak kapan ibu tak merasa baik-baik saja?" Isma bertanya balik, tersenyum lebar.

Nandita menghentikan makannya, ke kamar mengambil sebuah kotak kecil berwarna hitam.

"Itu apa?"

"Bu, untuk uang kompensasi, nanti pakai gaji Nandita saja ya!" Nandita menaruh kotak itu di sisinya.

"Jangan, itu untuk biaya sekolah kalian," tukas Isma seraya menyinduk sayur ke mangkoknya.

"Aku pulang!"

Nandita menatap Elvan frustasi, ia melepas sepatu dan menatap mereka biasa saja. Segera pergi ke kamarnya.

"Ehh tunggu!" Nandita membuat langkah Elvan terhenti.

"Nih, kasih ke Rangga, sudah meminta maaf?" Nandita berdiri, tangannya menjulurkan kotak.

"Tak usah!"

"Hei, ambill!"

Elvan tak peduli, berbalik dan pergi. Nandita tak bisa diam, ia menghalau dan kembali menjulurkan tangannya. Elvan diam, tatapannya benci dan seketika salah satu lengannya menangkis lengan Nandita. Alhasil, kotak berwarna hitam yang berisi sebuah jam tangan itu jatuh begitu saja.

"HEI, KAU TAK TAU HARGA JAM INI? BISAKAH MENURUTI OMONGAN KAKAK?" teriak Nandita mengambil kotak tersebut.

"Uang! Uang! Uang! Apa hidup ini selalu dengan uang?" emosi Elvan dan pergi ke kamarnya.

Isma menatap pilu kedua anaknya, menelan ludah dan ia selalu bingung apa yang seharusnya ia lakukan. Nandita yang keras kepala akan teguh pendirian, dan Elvan yang jika tak suka akan tetap tak suka. Hidup ini kadang hitam putih bagi kakak beradik itu.

💫

"Sudah latihan?" Laksita menyikut lengan Nandita.

"Belum."

"Loh, bentar lagi Nandita!" Laksita termangu atas apa yang diucapkan Nandita.

"Biasa aja kali, lagian apa hebatnya menyiarkan radio? Buang-buang waktu!" imbuh Nandita geram.

"Idih, terus ngapain masuk klub?" Laksita berusaha menyamakan langkahnya. Sedikit rasa kesalnya mengguncang hatinya.

"Entah, aku juga tidak tau. Aku hanya bingung."

"Bingung kenapa? Omong-omong, aku latihan di YouTube Aska Radio loh, bagus sekali," ucap Laksita tersenyum.

"Aku baru tau kita punya channel YouTube. Hanya bingung saja. Yaudah, semoga kamu bisa terpilih ya!" Nandita juga tersenyum.

"Tapi Nan, kamu tau Vano kan?" Tiba-tiba Laksita membicarakan isi pikirannya.

"Ada apa dengannya?"

"Aa, aneh saja. Tapi kalau poninya di ke atasin dia cakep!" Laksita menahan senyum.

"Owhhh jadi kamu suka si pemalu itu? Yang percaya ramalan?" Nandita tertawa dan segera bergegas menuju kelasnya begitupun Laksita.

Setidaknya, masa-masa seperti ini yang seharusnya terjadi, tanpa memikirkan sebuah perasaan yang berkarat dalam diri Nandita. Sebuah mega di langit sana selalu putih, dan Nandita berharap ia akan terus berwarna putih.

💫

Laboratorium Astrokaltra Mika tengah di penuhi banyak orang. Klub Bunga Kalkulus sedang menyiapkan untuk festival nanti. Susunan kepanitiaan sudah dibentuk dan Nandita mendapatkan divisi dokumentasi. Mereka juga melakukan pengecekan untuk peralatan laboratorium mana yang akan mereka gunakan nanti.

"Jangan lupa jika kalian membutuhkan bantuan langsung bilang kepada kami, kami siap membantu untuk melancarkan festival tahun ini!" Salah satu senior berkata mantap.

"Terima kasih kak, sudah menyempatkan waktunya untuk datang ke sini," balas Fadia.

Festival Bunga Kalkulus selalu menempati urutan pertama se-provinsi. Festival di bawah naungan SMA Astrokaltra Mika selalu menjadi sorotan bagi pelajar SMP maupun SMA yang memiliki kemampuan akademik dalam bidang sains.

Ada 6 cabang perlombaan yang akan dihadirkan oleh mereka. Turnamen Fisika, Turnamen Matematika Turnamen Kimia, Turnamen Biologi, Eksperimen Fisika dan Eksperimen Kimia. Tentu, mereka harus menyiapkan ini secara baik. Senior dari angkatan atas dan terdahulu turut membantu mereka.

Setelah pembagian jobdesk masing-masing, Nandita meregangkan tubuhnya menatap gerbang sekolah yang setengah tertutup. Sesekali menguap menahan kantuk yang luar biasa. Sejujurnya, Nandita ingin merengek, tak ingin bekerja. Hanya saja, bagaimana keluarga Nandita bisa bertahan jika Nandita tak bekerja?

Baginya, sebuah kehidupan adalah perjuangan dan pengorbanan, bukan sebuah pertandingan.

💫

Hatinya masih bingung. Entah apa yang harus ia lakukan nanti saat pemilihan. Terkadang tak tertarik, terkadang hatinya luluh ingin sekali terpilih. Menampilkan sesuatu adalah hal yang ia benci.

"Lak, tunggu ya, aku mau cari buku," kata Nandita pelan.

Laksita mengangguk.

Nandita segera menuju pada rak-rak besar yang berjejer rapih. Buku-buku berkualitas yang begitu bersih. Ia sedang mencari buku Kalkulus, untuk ia pelajari lebih dalam. Ia selalu ingat perkataan Ibunya.

"Kamu sangat cerdas Nandita, ibu tak masalah kamu bekerja, tapi kemampuanmu harus selalu ditingkatkan!"

Isma mengizinkan Nandita bekerja asal belajarnya tak ia lupakan. Isma tak ingin anaknya malah menanggung beban yang besar. Isma juga tak ingin menghancurkan mimpi Nandita karena masalah ekonomi.

Sedang mencari buku yang pas untuknya, tanpa sengaja netranya menangkap seorang pria yang tengah tidur di atas meja, dengan buku sebagai bantal. Sebuah cahaya menerawang dari balik jendela yang tepat mengenai wajahnya.

Nandita mendekat, tersenyum dan mencoba menghalangi cahaya dengan buku yang ia pegang. Salah satu tangan Nandita mencoba mencari cahaya yang menerobos hingga membuat seorang pria di sana sedikit tak nyaman.

Nandita tersenyum, mendekatkan wajahnya dan ia tak menghiraukan apa pun. Perpustakaan juga lumayan sepi, Laksita duduk jauh dari mereka.

"Wah, tampannya," ucap Nandita kikuk seraya tangannya masih menutupi cahaya yang menerobos wajah pria tersebut.

Matanya mengerjap-ngerjap, Nandita yang sedikit terkejut langsung membuka buku yang ia pegang, membacanya dan berdiri dengan sedikit bersandar pada meja.

Matanya sudah sempurna melihat, ia memiringkan wajahnya, mengerutkan dahi dan sedikit tersenyum.

"Kenapa kamu ada di sini?" tanyanya.

"Aku? Aa.. aaa.. aku se.. sedang baca buku," balas Nandita terbata-bata.

"Kenapa berdiri? Duduklah!" Akmal menggerakkan dagunya.

Nandita segara duduk, membuka kembali halaman yang sama dan membacanya--sebenarnya ini hanyalah pengalihan isu, ia tak ingin ada sesuatu yang mengganjal dalam pikiran pria di hadapannya.

"Bagaimana persiapanmu untuk besok?" tanya Akmal tanpa menoleh seraya mencatat sesuatu.

Nandita menutup bukunya. Menghela napas perlahan, dan menatap serius.

"Aku masih bingung!"

Akmal menghentikan tangannya yang hendak mengganti halaman, menatap gadis di hadapannya dengan tegas.

"Itu terserahmu, tapi yang pasti Nandita, untuk tawaran itu aku batalkan! Aku sedikit mengerti, apa yang kulakukan adalah hal yang salah. Jadi, aku tak ingin merubah sikapmu hanya karena uang, menyukai itu tak butuh alasan bukan?" Tanpa basa basi, Akmal berkata sedikit lantang, untung saja tak banyak orang di sana.

"Jika aku terpilih, apa berarti aku menyukai lagi?"

"Belum tentu. Tapi yang pasti suara hatimu yang akan menentukan jalan apa yang kamu ambil! Kamu tau kelemahanku?" Akmal menyilangkan kedua lengannya.

Nandita terdiam, entah apa yang harus ia katakan kali ini. Tapi rasanya, ia tak merasa sakit hati atau tak enak kepadanya, malah membuat dirinya harus memilih pilihan yang sulit.

"Masa lalu, itu kelemahanku! Aku tak bisa melepaskan masa lalu begitu mudah, seseorang mengatakan kepadaku, bahwa melepaskan masa lalu itu seperti Inersia dalam Fisika Klasik, kamu akan sakit yang begitu dalam, lalu ia akan pulih dengan sendirinya." Akmal tersenyum simpul, sedikit menunduk dan melepas kedua lengan yang menyilang.

Akmal tau, ia masih terbelenggu dalam masa lalu.

💫

Nandita diam, memikirkan sesuatu yang sedikit menarik hari ini. Ia sedikit disadarkan oleh perkataan Akmal. Duduk di halte menunggu angkutan umum menjemputnya. Dirasa lama, akhirnya Nandita merogoh saku, mengambil handphone-nya, membuka aplikasi YouTube dan menuliskan Aska Radio pada pencarian. Entah apa yang ia rasakan saat ini, tak salahnya mencoba untuk tak membuat harapannya sirna.

Segera memakai earphone Nandita menekan salah satu video yang masih baru, berjudul 'Sejarah Aska Radio & Bagaimana Menjadi Seorang Penyiar Radio'

"...... Aska Radio sudah berdiri sejak 12 Januari Tahun 2001, dengan penuh perjuangan!"

Seperti biasa pria itu amat tegas, iris matanya coklat yang membuatnya memesona. Bibirnya merah muda dan bulu matanya indah.

"... Aku sebagai ketua Aska Radio angkatan ke-21 ingin sekali membuat klub ini bersinar bagi kalangan anak muda. Tentu tak mudah, tapi dengan banyaknya anggota akan memudahkan kita! Tapi sayangnya, kami selalu kesusahan untuk mencarinya. Itu tak membuat kami berkecil hati, kami tak ingin apa yang diperjuangkan oleh ketua tahun lalu dan terdahulu menjadi sia-sia."

".... Dan jangan lupakan, Festival Aska Radio selalu dilaksanakan pada tanggal 12 Januari bersamaan dengan dibentuknya klub ini. Ah, untuk pemilihan ketua, kita tak memakai periode seperti 2019/2020, kami memilih ketua bertepatan dengan semester baru!"

Nandita memindahkan layar handphone-nya menjadi landscape.

".... Setelah bercerita mengenai sejarah, kita langsung ke materi selanjutnya, bagaimana menjadi seorang penyiar! Aku tak berbakat, tapi aku coba untuk memberikan ilmu yang telah kudapatkan!"

Sudah sekitar 5 menit, angkutan umum tak kunjung datang. Nandita juga sedikit fokus pada apa yang ia liat.

Tak sadar, ia benar-benar tak sadar. Akmal telah berdiri di sampingnya sekitar dua menit yang lalu. Bahunya bersandar pada tiang halte. Posisi Nandita memang duduk di pojok.

Akmal tersenyum, menyilangkan kedua lengannya dan hanya memperhatikan gadis yang duduk di sampingnya.

"Sepertinya kamu sudah tak bingung!"

Nandita masih bisa mendengarnya, ia melepaskan earphone-nya dan sedikit menengak untuk menatap wajahnya.

"Kamu tau? Ketika kamu tampil di panggung besar itu, aku benar-benar menatapmu diam, seperti orang bisu."

Akmal menghela napas sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Tapi kini, aku malah bertemu kamu dengan versi yang berbeda. Rasanya, aku selalu memikirkan, kemana hilangnya lantang suaramu? Suara hati yang memang selalu kutunggu, intonasi ayunan yang menggebu, dengan nada indah yang begitu merdu!"

Nandita termangu, sebuah rasa tak karuan menyambut raganya. Ini adalah sesuatu yang luar biasa bagi dirinya. Hatinya seakan-akan mengatakan bahwa inilah saatnya untuk melepas masa lalu.

"Ikuti suara hatimu! Aku tak percaya kamu membenci baca puisi!"

Jantungnya memompa lebih cepat, mengantarkan pada otak dan hatinya, untuk mengikuti perkataannya.

💫

Sejuta sayang, ia selalu dipermainkan semesta. Antara harapan dan bualan, ia selalu memilih bualan. Tapi malam kemarin, ia benar-benar berharap. Pupus, itu yang kini ia rasakan saat ini.

Ketika Nandita meraih knop pintu Studio Radio dengan gembira, melangkah masuk dan seketika terdiam cukup lama. Memandang gadis yang tengah berada dalam ruang siaran. Nandita mampu melihatnya dengan jelas dari balik kaca yang berkualitas panel akustik tersebut. Keduanya saling tatap, menghantarkan sesuatu dalam dirinya masing-masing.

"Ava Arisha?!"

💫

Yeah its good

Guys, bagaimana kabar kalian hari ini? Semoga selalu diberi kesehatan ya!

Nah, gimana nih untuk bab baru kali ini?

Jika suka jangan lupa beri vote dan komen ya! 🌟

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro