16|| Sedikit Tertahan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nandita, apa kamu baik-baik saja?

- Akmal Fazwan -

💫

Suara erangan dari gas sepeda motor seorang Guru SMP, melesat melewati jalan raya yang tidak begitu macet. Angin-angin dari sepeda motor membuat seorang pria yang sedari tadi menunggu seseorang merapihkan rambutnya. Menatap santai dan menatap gerbang sekolah yang lumayan padat. Pria tersebut memasukkan kedua tangannya pada saku celana yang berwarna abu-abu.

Netranya menatap sekeliling, mencari seseorang. Gerbang sekolah kini padat, banyak siswa yang ingin segera keluar dan pulang ke rumahnya masing-masing. Saat siluet orang yang dicari, pria tersebut bergegas menghampiri.

"Elvan!" Pria tersebut tersenyum, melambaikan tangan.

"Eh, Kak Fad?" Yang di panggil heran. Ia terkejut, mengapa ia berada di sini?

"Bisa ikut kakak sebentar?" tanya Fadia.

Elvan mendelik, menyipitkan matanya. Seakan-akan tau apa yang diinginkan Fadia. Ia mengangguk ajakan Fadia. Bergegas pergi meninggalkan sekolahnya.

"Pasti ada maunya, mau ke mana?" Elvan sedari tadi bingung, apa yang diinginkan Fadia?

"Ayo ikut saja dulu!"

Tanpa bertanya-tanya lagi, Elvan hanya diam mengikuti Fadia di sampingnya. Sesekali menggaruk kepalanya, berusaha tidak canggung. Setelah berjalan sekitar sepuluh menit, mereka sampai di sebuah resto kecil. Tempat dengan nuansa outdoor, retro dan kuno.

"Kakak traktir kamu makan siang," ucap Fadia, lantas masuk dan menghampiri kasir.

Tak sempat menjawab, Elvan hanya menghela napas panjang. Mengikuti Fadia.

"Gak laper kak, mending langsung aja, ada apa?" tanya Elvan sedikit malas.

"Ah, nanti saja ayo pesan!"

Pada akhirnya, Elvan hanya menurut. Tak bisa ia pungkiri, keluarga mereka selamat karena dibantu olehnya. Sejujurnya, Elvan tidak ingin menerima bantuan tersebut. Hanya saja, Fadia berhasil membuat Elvan sedikit sadar mengenai apa yang telah menimpanya.

Keduanya tengah duduk, menatap sekeliling orang-orang yang tertawa, bercerita dan menyanyi bersama. Mereka duduk di ujung, sedikit jauh dari suara orang-orang.

"Jadii?" Elvan membuka suara, ketika lima menit lengang.

"Eee...." Fadia terdiam, berusaha memikirkan kata yang bagus.

"Jadii??" tanya Elvan lagi.

"Ckk, ya, kamu tau sendirikan hari ini hari apa?" tanya Fadia serius. "Apa yang disukai kakakmu?" lanjut Fadia yang tiba-tiba saja pipinya merah merona.

Binar Elvan terperanjat. Tidak salah dengar? Bagaimana dia menyukai kakaknya? Elvan sedikit menganga, tak percaya. Apa jangan-jangan, Fadia membantu dirinya karena menyukai Nandita? Itu mustahil bagi dirinya.

"Tunggu, bukankah Kak Fad, seharusnya di sekolah sekarang?"

💫

"Nandita selamat ulang tahun!" Laksita menyodorkan sebuah kotak yang berukuran sedang, yang dibaluti kertas kado.

"Makasih Lak. Wah bungkusnya seperti kado yang diberikan Ibuku," kata Nandita tersenyum. Menerima kotak tersebut.

"Semoga panjang umur, semoga apa yang kamu cita-citakan bisa terwujud! Dan semoga, kamu bisa dapat pacar!" kata Laksita tertawa keras.

"Ish, apaan si, berisik!! Nanti ngeganggu orang lagi!" Nandita menatap sinis.

"Ya gak papa dong, oh iya hari ini kamu mau makan apa? Biar aku traktir di kantin!" Laksita menyilangkan kedua lengannya, bergaya seperti seorang bos.

"Widii, boleh ayoo!" Nandita antusias.

Jika bertanya mengenai Laksita, entah mengapa Nandita sangat bahagia. Melupakan kejadian-kejadian yang membuat Nandita lelah. Melupakan kejadian-kejadian yang Nandita ingin lupakan. Bersamanya, Nandita tau ini merupakan sebuah kebahagian hakiki yang ia miliki. Satu-satunya sahabat yang mampu merasakan apa yang Nandita rasakan.

Pada saat ini, sebuah sungai yang mengalir mengantarkan kebahagiannya ke hulu sungai. Walau di terpa banyak rintangan, tapi kebahagiaan itu selalu menjemput.

Nandita iri. Nandita cemburu. Nandita ingin seperti anak-anak lainnya. Tapi, entah mengapa, ia selalu menahan itu. Mencoba sekuat tenaga, untuk tetap melakukan apa yang ia butuhkan.

Walau Nandita tidak tau, bahwa kebahagiaan yang berhasil menuju hulu sungai, ternyata bukanlah kebahagiaan.

💫

"Mengapa kamu bertindak segegabah itu Akmal?" tanya Fatrah lagi yang memang sudah enam hari ini, ia begitu frustasi pada kejadian itu.

"Sudahlah Fatrah, sudah terjadi, lagian, aku juga yakin bahwa itu Fadia!" bela Devano.

Akmal hanya terdiam. Apakah emosi saat dulu, ia limpahkan kembali pada saat itu? Akmal juga bingung, yang ia lakukan adalah kecurigaan atau luapan emosi.

"Kamu memang yakin Devan? Yang menaruh poster aku di loker Nandita adalah Fadia? Bukankah kamu yang melihat CCTV itu?" tanya Ava serius.

"Aku yakin itu Fadia, tapi aku juga gak tau apa yang dia lakukan! Karena kata Pak Dadi, entah mengapa CCTV itu terpotong. Jadi kita tidak tau apa yang dia lakukan saat itu!" Devano kembali menjelaskan.

Intan dan Rafael hanya bisa menghela napas pelan.

Selama enam hari ini, mereka terbayang-bayang dengan CCTV itu. Mencoba melepaskan dan melupakan ramalan itu, namun selalu ada potongan kejadian yang membuat mereka tak bisa melupakan dengan mudah.

💫

5 November 2024, Hari Penutupan Festival Bunga Kalkulus

"Hei kamu!"

Seorang pria berdecak kesal, baru saja turun dari motor sudah ada Pak Tua yang memanggilnya.

"Bisa bantu Bapak?"

"Bisa pak," ia terpaksa, memutar mata  bolanya malas.

Di parkiran SMA Astrokaltra Mika memang lumayan penuh. Lantaran, hari ini adalah hari ini penutupan sekaligus pengumuman juara. Lumayan banyak orang lalu lalang. Bahkan panitia juga sangat sigap ke sana kemari. Itu yang ia lihat saat ini. Membawa sebuah kresek yang berisi kotak-kotak kecil berisi makanan ringan.

"Ini memangnya untuk apa pak?" tanya Devano.

"Ini untuk konsumsi para petugas hari ini! Di bayar sekolah, saat ada Festival!" jawab Pak Tua santai.

"Ohh, enak ya pak, banyak sekali ini!" Devano mencoba bergurau.

"Enak lah, lagian yang jagain sekolah ini sampai malamkan kita, para Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu!" Pak Tua itu terkekeh, menanggapi santai.

"Ck." Devano sedikit mendengus. Coba saja sekolah ini memberikan dana Festival Aska Radio dengan mudah. Pasti Tidka akan seribet sekarang bukan?

"Pagi-pagi begini, ngapain kamu ke sini dik? Panitia Festival sekarang?"

Devano menggeleng tegas. Berdecak kesal.

"Kalau gitu, bantuan Bapak dulu ya bagi-bagi ini ke setiap petugas!"

Devano menghela napas kembali. Mengutuk dalam hati. Mengapa pagi ini ia amat sial? Namun begitu, Devano mencoba tersenyum dan terpaksa membantu.

Pak Tua membawa Devano ke sebuah ruangan kecil, berada di pojok ruang guru. Di sana banyak sekali Ibu-Ibu yang asik bergosip. Menikmati waktu istirahatnya. Saat mereka membagikan makanan ringan tersebut, Ibu-Ibu itu amat senang.

Setelah itu, Pak Tua membawa Devano ke samping ruang multimedia. Ruangan yang sedikit besar. Mereka masuk, membagikan pada tiga orang petugas yang tengah asik memerhatikan layar monitor yang cukup besar. Devano tahu, ini adalah ruang CCTV.

Namun, pada saat Devano memberikan kotak makanan ringan pada petugas keempat, yang duduk paling pojok di antara mereka, sedang membenarkan sesuatu. Jika dipikir-pikir, Devano mengingat sesuatu.

"Pak, maaf, bukankah CCTV sekolah ini masih belum dioperasi? Masih diperbaiki? Setau aku, CCTV sudah tidak nyala sekitar 4 bulan?" tanya Devano, melihat layar komputer petugas keempat, yang menampilkan seorang pria mengenakan jaket bertudung dengan warna biru tua.

"Oh, CCTV sekolah memang masih di perbaiki. Dan masih belum benar, apalagi, entah mengapa CCTV ini banyak sekali video yang terpotong. Sekolah sudah mengeluarkan dana untuk memperbaiki! Makasih ya dik!" Petugas keempat menerima kotak dari Devano yang hanya fokus pada layar komputer di hadapannya.

Petugas keempat membiarkan video tersebut play.

"Lokerr, jaket biru tua, p--" lirih Devano mengerutkan keningnya. Saat penasaran itu begitu memuncak, video itu tiba-tiba saja berhenti dan berlayar hitam.

Jaket biru tua itu.... Devano mencoba bernapas tenang. Apalagi, orang di video tersebut membawa sebuah gulungan kertas. Dan yang lebih membuat Devano membelakak adalah tanggal yang tertera pada video tersebut. Tanggal yang sama dengan kejadian Nandita saat itu.

"Dik, ayo cepat!"

Devano termenung, merapihkan kemeja creamnya. Berusaha mengendalikan dirinya.

💫

11 November 2021

"Paman, ayolah!" Nandita lagi-lagi memohon pada Pamannya.

"Kenapa kamu begitu keras kepala Nandita?" tegas Vito, melepas topi pada kepalanya.

"Aku mohon paman! Kan Nandita ulang tahun hari ini! Nandita gak mau hadiah itu!" Nandita menunjuk kotak besar di hadapannya. "Nandita mau kerja lagi di sini!" lanjutnya termenung, menatap Vito yang kini duduk di hadapan Nandita.

"Yaudah, nih untuk kamu!" Vito memberikan sesuatu.

"Apa ini Paman?"

Alih-alih memberikan pekerjaan, Vito memberikan sebuah browsur dan informasi mengenai Beasiswa Perguruan Tinggi Jepang.

"Jepang?" Nandita mengerutkan keningnya.

"Tidak ingat cita-citamu dulu?"

Nandita terdiam cukup lama. Sudah lama ia lupakan cita-cita itu. Ia lebih memilih bekerja untuk Isma dan Elvan.

Lengang sejenak.

Nandita menunduk. Air matanya jatuh begitu saja. Membasahi hati yang gersang. Nandita tak kuasa menahan kerinduan saat itu. Ia rindu. Ia rindu memikirkan masa depannya. Malam ini, ia sadar. Ia pernah bermimpi. Menggenggam browsur kuat-kuat.

"Jangan terlalu memaksakan dirimu! Paman tidak suka, dan boleh jadi Ayahmu juga tidak suka!"

Nandita kembali menangis. Merasa bahwa dirinya telah kehilangan apa yang ia inginkan. Merasa dirinya adalah manusia yang tidak beruntung. Namun ternyata itu salah, Nandita menginginkannya!

💫

Nandita berjalan santai. Sembari menatap bulan yang menyinari raganya. Ia turun dari ojek online di taman dekat rumahnya. Ia hanya ingin sedikit berjalan, sebelum ke rumah.

Berjalan sekitar lima menit, tak mampu mendinginkan otaknya. Perseteruan hati, otak dengan raga yang tiada habisnya. Saat itulah, netranya menangkap seorang pria yang tengah menatap sekeliling rumah Nandita.

Tanpa merasa takut, Nandita menghampiri.

"Siapa kamu?" tanya Nandita.

Pria tersebut berbalik, dan sedikit terkejut. Lantaran dirinya bisa diketahui. Netra mereka beradu, terkejut, dan saling memandang.

"Akmal?" Nandita buka suara. "Tau dari mana rumahku di sini?"

Akmal terdiam. Menatap Nandita yang masih mengenakan seragam dengan iba.

"Tidak perlu tau!" jawab Akmal santai. Mengenakan sweater coklat yang membuatnya tetap hangat di malam yang dingin saat ini.

"Terus, ada apa?" tanya Nandita lesu. Menatap hambar pria di hadapannya.

"Tidak ada apa-apa!" Akmal memalingkan wajahnya.

"Kalau gitu, aku duluan." Nandita bergegas berjalan melewati Akmal. Dan tak menatap sedikitpun pada wajahnya.

Saat beberapa langkah lagi ia berada di wilayah halaman rumahnya, Akmal berkata sesuatu yang ingin Nandita inginkan.

"Nandita, apa kamu baik-baik saja?"

Langkahnya terhenti. Satu kalimat yang mampu membuat jantungnya berdegup kencang. Hati meringis, dan air matanya ia tahan agar tidak jatuh. Jiwanya seketika runtuh, namun raganya ia tahan agar tidak jatuh. Nandita menghela napas panjang, amat panjang.

Di hari ulang tahun yang ke-17 ini, yang Nandita inginkan bukan sebuah hadiah besar. Tapi yang ia inginkan adalah sebuah kalimat yang membuatnya sadar, bahwa kehidupan ini layaknya sungai yang selalu mengalir ke dataran yang lebih rendah. Mengalir pada akhir yang bahagia. Setidaknya, ia menemukan sedikit harapan atas mimpi-mimpi yang telah terkubur.

Sedikit tertahan, perasaan yang dimilikinya saat ini. Tapi ia berharap, ia ingin melepas semua yang ada dalam otaknya.

Hadiah terindah bagi Nandita saat ini hanyalah kalimat yang diucapkan Akmal malam ini.

💫










Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro