17|| Tentang Rasa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah apa yang telah kita lalui, tidak ada satu orang pun yang bertanya, apakah kita baik-baik saja?

- Nandita Sasya Kamila -

💫

Akmal menghela napas panjang. Menghempaskan tubuhnya pada sofa. Satu pertanyaan untuknya "mengapa ia pergi ke rumah Nandita malam ini?" Kepalanya menatap langit-langit rumah yang kosong. Ayahnya belum pulang, begitupun Ibunya. Hanya seorang diri di rumah. Malam ini, ia sedikit kesepian.

Lengang. Sejenak, ia menutup matanya perlahan. Membiarkan sebuah mimpi datang kepada raganya malam ini.

💫

"Tanggal dua puluh november pelatihan klub Aska Radio!" seru Laksita semangat.

"Emang udah di kasih tau tanggalnya?" tanya Nandita heran.

"Kamu gak hadir klub Nandita. Makanya hadir! Jangan lupa hari ini, kita klub!" Laksita memberitahu, melambai lantas menghilang dari pandangan Nandita.

Nandita menggenggam tasnya erat. Berjalan santai ke kelasnya. Jalur yang ia lalui, selalu tidak berubah. Melalui lorong-lorong kelas bahasa, lantas melewati kantin. Itu rute yang biasa ia lalui.

Namun, untuk kedua kalinya, saat Nandita melewati salah satu kelas bahasa, bulu kuduknya seketika kembali merinding. Langkahnya terhenti. Meraba tengkuk dan menatap sekitar yang lumayan sepi.

Nandita mendelik. Membalikkan badannya. Matanya membulat dan menatap salah satu pintu kelas bahasa yang jaraknya terlewati dua kelas, tempat Nandita berdiri, bergerak. Seperti ada seseorang yang baru saja masuk ke kelas.

Keringat dingin menetas perlahan di dahinya. Ia menelan salivanya. Tanda sedikit gemetar. Mencoba mengendalikan diri dengan mengatur napasnya.

"Ini semua hanya khayalan dan imajinasimu Nandita!" gumam Nandita mencoba tenang.

"Sejauh ini, kamu gak apa-apa bukan? Kenapa aku harus takut? Aku bukanlah orang yang penakut!"

Nandita membalikkan badannya. Hendak melanjutkan perjalanan.

Cekrek!

Suara kamera handphone terdengar di telinga Nandita, diiringi flash yang membuat Nandita membalikkan badannya dengan cepat. Tampak dari matanya membentuk lingkaran sempurna. Tiga detik yang berharga bagi Nandita, melihat perawakan orang yang memotretnya. Memakai masker hitam, jaket bertudung hitam dan di tangannya memegang sebuah kamera. Matanya saling memandang dalam waktu yang singkat.

Orang tersebut segera berbalik dan berlari begitu kencang. Tidak tinggal diam, Nandita mengejarnya. Namun sayang, langkah dari orang dengan jaket bertudung hitam itu sangat cepat. Membuatnya hilang dari pandangan Nandita.

"Aku tidak takut! Siapa yang berani menggangguku?" ucap Nandita, mengatur napasnya.

💫

Saat pembelajaran berlangsung, Nandita masih memikirkan siapa orang tersebut. Hilang fokus niat belajarnya. Otaknya mengambil alih penuh, memikirkan orang yang tadi ia jumpai. Lengannya memutar-mutar bolpoin, pandangannya ke papan tulis, namun pikirannya melayang.

Kringg!!

Bel istirahat berbunyi. Menyadarkan raga Nandita yang sedari tadi penuh pertanyaan. Ia melirik jam, menghela napas pelan. Lelah akan pikirannya, ia tak berniat untuk pergi ke kantin. Mencoba tidur dengan menangkupkan wajahnya pada meja.

Tok tok tok!

Saat ia memejamkan mata. Suara ketukan meja terdengar olehnya. Matanya kembali terbuka. Mengangkat wajahnya dan membenarkan posisi duduknya. Menatap seorang pria yang tersenyum manis padanya.

"Kak Fad?"

Fadia membalikkan kursi agar dapat duduk berhadapan dengan Nandita.

"Sejak kapan Nandita jadian sama Kak Fadia?" Salah seorang nyeletuk. Menatap riang mereka.

"Waww, berita besar!" Salah seorang lainnya ikut menanggapi.

"Eh, bukankah Kak Fadia membuat Nandita takut saat di hari penutupan Festival Bunga Kalkulus? Mengapa sekarang terlihat mesra?"

Nandita menatap sekitar. Tersenyum kikuk. Mendengar gosip-gosip tentangnya. Seisi kelas riuh, bertanya-tanya. Namun, tidak membuat Fadia tak nyaman. Lihat, bahkan pria tersebut tanpa ragu tersenyum pada Nandita. Nandita sedikit tak nyaman. Hanya bisa tersenyum kecil, dan sedikit menunduk.

"Selamat ulang tahun Nandita! Maaf terlambat" Fadia memberikan sebuah tas coklat yang berukuran sedang.

Nandita dapat melihat tas coklat dengan nama dan logo Gramedia di depannya. Pasti sebuah buku.

"Ehh??" Nandita menatap heran, mengerutkan keningnya.

"Kenapa Kak Fad ta-"

"Sstt, sudah terima saja!" potong Fadia sembari berdiri.

Nandita tak berkata-kata, ia hanya diam. Seperti teman-temannya yang hanya menonton diam dan berbisik-bisik.

"Oh iya, soal waktu itu, aku minta maaf. Aku gak bermaksud untuk membuatmu takut! Aku hanya ingin membuatmu tidak penasaran terus menerus! Kalau gitu, aku pergi dulu. Semoga suka dengan hadiahnya!" Lantas pergi, meninggalkan pertanyaan dan kebingungan dari Nandita.

Nandita mengambil tas coklat itu. Membukanya dan terlihat sebuah buku kumpulan puisi karya Ridwan Assidik. Nandita termenung.

"Mengapa, dia tau?" batinnya penasaran.

💫

Hari ini sungguh membuat Nandita sedikit kesal. Ia dipaksa Laksita untuk mengikuti kegiatan klub hari ini. Padahal, Nandita berencana untuk mencari pekerjaan paruh waktunya. Pipi Nandita menggelembung, menahan kesal pada Laksita yang duduk di sampingnya. Laksita hanya tertawa kecil.

Ruangan terlihat begitu sepi. Anggota klub Aska Radio juga sudah memenuhi ruangan. Tak disangka oleh Nandita, klub ini mampu bertahan hanya dengan anggota yang bahkan dapat ia hitung cepat. Anggota yang seangkatan dengannya juga tidak ada keluar dari klub rendah ini. Yang Nandita ketahui dari Laksita, bahwa Akmal selalu menyemangati dan memberi motivasi pada mereka. Mungkin, itu bisa jadi salah satu faktor mengapa mereka semua bertahan.

"Seperti yang kita ketahui, sebentar lagi kita akan mengadakan pelatihan Aska Radio sebelum menuju festival!" Tanpa basa-basu Rafael membuka.

"Liat, dia tidak cocok jadi pembuka acara bukan? MC aja kayaknya tidak cocok! Bagaimana pula, kamu langsung ke intinya!" Devano tertawa keras. Rafael hanya menatap tajam.

Seisi ruangan sedikit tertawa. Membuat atmosfer yang sedikit tegang menjadi sedikit menyenangkan. Nandita ikut tertawa, netranya sedikit menatap pria yang sedari tadi menatapnya. Pria tersebut segera mengalihkan pandangan. Seketika Nandita kikuk. Menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Di sisi lain, Ava ikut tertawa. Bukan tertawa mendengar ocehan dari Devano. Ia tertawa melihat Nandita dan Akmal. Tak dapat ia pungkiri, ia hanyalah bagian masa lalunya.

Setelah informasi diberikan dengan lengkap mengenai teknisan dan apa yang harus dipersiapkan nanti, pertemuan klub ditutup dengan sindiran dari Devano kembali untuk Rafael.

"Anak MIPA kalau jadi Dokter gimana ngobrol ama pasiennya? Kurang sosialisasi jadi begini nih. Anda intropert?"

Seisi ruangan kembali tertawa. Nandita kembali tertawa. Entah mengapa, rasanya begitu berbeda ketika berada di sini. Terkadang takut, namun terkadang perasaan itu hilang. Seolah tidak terjadi apa-apa.

Tidak ada beban. Itu yang sedang terjadi padanya.

💫

Untuk kesekian kalinya Nandita kesal pada Laksita. Ia tidak menunggu dirinya untuk pulang bersama. Atau seharusnya, ia mengajak Nandita pulang bersama Ayahnya. Berdecak kesal. Segera memakai tas punggungnya dan beranjak pergi.

Ruang klub sudah sepi. Hanya menyisakan Nandita dan Akmal yang masih mengunci pintu ruang siaran. Saat hendak mengambil knop pintu, tangan Nandita ditarik lembut oleh Akmal.

"Biar aku yang antar kamu pulang!"

Nandita diam.

"Ah, ini permintaan maaf kemarin. Maaf, tiba-tiba aku ada di depan rumahmu!" Akmal sedikit tersenyum.

Nandita sedikit tersenyum. Ia mengangguk.

Ini semua tentang rasa. Rasa yang begitu sukar untuk dijelaskan. Seorang pria yang dulu bertemu dengan Nandita, yang mampu membuat Nandita selalu ingat kejadian dan perkataan yang dilakukan pria tersebut.

Hubungan semesta, yang jelas membuat dirinya begitu bertanya-tanya. Semesta selalu memberikan sesuatu tanpa alasan yang jelas. Mengapa ia dipertemukan kembali dengan Akmal?

Pria yang kadang membuat Nandita ingin memeluknya. Pria yang kadang membuat Nandita bingung akan perlakuannya padanya. Pria yang kadang mengerti perasannya. Sungguh, Nandita terombang-ambing dalam perasaan.

💫

Bandung, 1 Maret 2017

Nama yang terajut dalam seragam merah putihnya membuat dirinya lebih percaya diri. Ia sekarang kelas 6. Sudah beberapa tahun lalu, saat ia kehilangan sang-Ayah.

Namun entah mengapa, dirinya bisa sepercaya diri itu. Ia tersenyum membuka lipatan kertas dan membaca sebuah puisi indah karya miliknya dengan lantang.

Menahan Hati
Nandita Sasya Kamila

Air mata jatuh dipelupuk mata
Menetralisir berlian yang akan di tata
Apakah ini semua menggunakan rasa?
Mengikis sebuah harapan dalam raga

Sebuah realita tepat di hadapan
Membuat pohon jatuh berguguran
Lihat, ada titik terang di ujung cakrawala
Menembus daksa yang melewati Aksa

Lalu, apakah ada sesuatu yang menembus asa?
Senja dan malam saja selalu memberi ruang
Lalu, apakah ada rasa jika keduanya saling suka?
Mendung saja selalu membuat bimbang

Menggenggam erat sebuah ekspetasi
Dengan jiwa menahan hati
Mengungkapkan sebelum pergi
Ternyata tau, dengan sikapnya yang tinggi

Tepuk tangan meletus. Begitu meriah seisi ruang kelas. Hari ini adalah ujian praktik bahasa Indonesia. Membacakan sebuah puisi.

Tak terasa, air matanya jatuh begitu saja. Membasahi pipi dan hatinya yang terluka.

"Nandita benci baca puisi!" ucapnya dengan tangis yang tidak mereda.

Ia sudah mengatakan ingin berhenti. Namun tentu sebuah rasa tidak bisa dihalangi. Saat ini, yang membuat Nandita bingung adalah perasaannya sendiri.

💫

Rambut Nandita sedikit menari-nari, walaupun menggunakan helm. Angin jalanan begitu kencang. Namun ia tak peduli. Ia hanya menatap punggung pria di depannya lamat-lamat.

"Setelah apa yang telah kita lalui, tidak ada satu orang pun yang bertanya, apakah kita baik-baik saja?" gumam Nandita tersenyum lebar.

"Terima kasih Akmal!" lirih Nandita.

💫


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro