Pembunuhan Kedua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Fufufu... Aku tahu sesuatu untuk mereka tersiksa, terpuruk dan akhirnya saling membunuh..." ujar Kumatobi menyeringai lebar.
.
.
.

4 hari telah berlalu...

Di kantin, ketiga belas murid berbakat menyantap sarapan pagi dengan tenang. Menu pagi ini adalah nasi uduk beserta lauknya seperti tempe orek, mie bihun, potongan-potongan telur dadar, bawang goreng, tahu dan tempe goreng serta kerupuk. Nasi uduk ini merupakan makanan khas Indonesia.

"Makanan ini enak sekali," ucap Oriza melahap tempe goreng dengan nikmat.

"Iyaww, akwuu sampwe ingin menambwah lagi rasanywaa." Ujar Nico dengan mulut penuh makanan.

"Menjijikan!" Cibir Vero melihat Nico sinis.

"Hahaha... tak lama aku merasakan hal seperti ini," Kata Aldo. "Apalagi kita tidak dihantui lagi oleh pembunuhan." Lanjutnya.

Seketika suasana yang berisik menjadi sunyi sepi. Aldo yang menyadari omongannya langsung menundukkan kepala.

"Ahh... Ayo lanjutkan makannya," seru Huda untuk mengalihkan pembicaraan yang tak mengenakan.

"Aku selesai." Ujar Karin langsung berdiri menuju ke luar kantin.

Srek!

"Aku jadi tak selera makan," kata Fiki. Ia pun juga mengikuti Karin pergi. Di susul oleh Diane yang mengejar Karin.

"Maaf, aku mau menyusul Karin." Pamit Diane.

"Haha... kau memang hebat," sindir Teguh.

Aldo pun menegakkan kepalanya lagi. Ia melihat beberapa kursi telah kosong. Ia tengok ke kanan. Wajah Uli dan Lusian terlihat murung. "Ahh! Aku membuat kesalahan besar!" Batim Aldo bersalah.
.
.
.
.

Di perpustakaan...

Satu pemuda dan satu pemudi sedang khidmat membaca buku bacaan mereka. Huda yang membalikan halaman dengan tenang. Dan Seila terlihat membaca dengan mimik serius.

"Hah! Sejarah sekolah ini banyak sekali." Keluh Huda. Ia menyenderkan punggung ke bangku.

"Hahaha... sepertinya kau tidak suka pelajaran sejarah ya," tawa kecil Seila.

"Yaa, aku memang kurang minat dengan namanya sejarah." Balas Huda. Ia tegangkan kembali badannya. Ia menatap lurus Seila.

"Ada apa?" Tanya Seila penasaran dengan tatapan Huda.

"Ada yang menjanggal dari sejarah sekolah ini," jawab Huda bersuara pelan.

"Menjanggal bagaimana?" Tanya Seila semakin penasaran. Huda membuka halaman 5 buku itu. Ia pun menunjukkan selembar kertas koran yang ternyata terselip di dalam buku.

"Seluruh angkatan kelas 12 tahun 2015 telah menghilang tanpa jejak." Ujar Seila membaca kalimat tersebut. Alisnya ia kerutkan seperti orang berpikir.

"Yaa, berarti 2 tahun yang lalu. Semua murid kelas 12 telah menghilang secara misterius, yang berarti mereka sama yang kita alami sekarang ini." Ucap Huda menyimpulkan.

"Hmm... aku mengerti. Sekarang tugas kita mencari daftar nama-nama murid berbakat di sekolah ini." Usul Seila.

"Oke! Tapi apakah kita memerlukan bantuan dari mereka?" Tanya Huda pelan.

"Ku rasa kita bisa mengajak Fiki dan Vero. Mereka dapat dipercaya sepertinya," jawab Seila santai.

"Baik, sudah diputuskan!" Seru Huda semangat.

Di balik rak buku yang berjarak 2 meter. Seseorang mengawasi keduanya seperti saat menyelidiki perpustakaan ini. "Kalian sungguh mulai bertindak rupanya. Aku pastikan rencana kalian akan ku gagalkan dengan mudah." Kata seseorang itu dengan menyeringai tipis.
.
.
.
.

Di laboraturium dan tempat penyimpanan obat...

"Sampai berapa lama kau akan di sini?" Tanya Lusian mulai bosan.

"Sebentar lagi," jawab Oriza yang sibuk melihat-lihat berbagai macam obat di sana.

"Ada obat racun juga di sini," ujar Oriza menunjukkan kepada Lusian.

"Hei... cepat kita sembunyikan. Jangan sampai yang lain mengetahui ini!" Protes Lusian.

"Oke! Tapi mau disembunyikan dimana?" Tanya Oriza bingung.

"Hmm... aku tahu," jawab Lusian mantap. Ia berjalan mendekat ke arah Oriza. Ia membisikan sesuatu kepadanya.

"Bagaimana?" Tanya Lusian memastikan.

"Boleh juga," jawab Oriza tersenyum tipis.
.
.
.
.

Di Ruang UKS...

"Ahh! Bodoh! Bodoh!" Teriak Aldo memukul kepalanya pelan. Ia merasa dirinya bodoh tidak bisa memahami sesuatu dan asal bicara saja.

Aldo teringat akan tatapan Uli dan Lusian yang murung. Teguh yang mencibirnya. Dan Vero menatap kasian padanya.

Tap! Tap! Tap!

Suara langkah kaki menggema di lantai. "Rupanya kau disini?" Tanya Rifki

"Hmm iya..." jawab Aldo lemas.

"Sudah tak usah kau pikirkan kejadian yang telah berlalu. Lebih baik memikirkan cara untuk keluar dari sini tanpa membunuh." Ucap Rifki bijak.

"Cara untuk keluar tanpa membunuh..." gumam Aldo ragu-ragu.

Rifki menepuk pelan Aldo. "Aku yakin kita bisa menemukan jalan itu dan menghentikan aksi Kumatobi." Kata Rifki memberi semangat.

"Terima kasih," balas Aldo tersenyum senang.

Pom! Pom! Pom!

Suara speaker yang tak lama berbunyi kembali berkumandang.

"Cepat kalian berkumpul di gedung aula. Kalau tidak, kalian akan di bunuh di tempat langsung. Fufufu..." ucap Kumatobi mengancam.

Plub!

Aldo dan Rifki dengan harus terpaksa berjalan menuju gedung aula. Keduanya tak mau harus mati dengan cara sadis.
.
.
.
.

Di gedung aula...

Semua telah berkumpul di gedung aula. Ada yang berbeda saat terakhir berkumpul di gedung ini. Dulunya berjumlah lima belas orang kini hanya tiga belas orang saja. Suasana terasa tegang.

"Fufufu... Terima kasih karena semua telah berkumpul di sini." Ucap Kumatobi. Ia sudah berada di atas podium. Entah ia muncul darimana.

"Cepat katakan apa tujuanmu mengumpulkan kami di sini!" Teriak Teguh mulai emosi.

"Aku tak mau kalau harus ada yang membunuh di antara kami," ucap Uli lirih.

"Kalian sudah tidak sabar rupanya. Baiklah, karena sudah 4 hari tidak ada pembunuhan lagi. Aku ingin memberikan kalian suatu hadiah yang membuat kalian senang." Kata Kumatobi menyeringai kecil.

"Tch! Kalau aku tak mau bagaimana?" Tantang Fiki.

Klik!

Sebuah senjata berukuran besar tergantung di atas gedung aula. "Kau akan mati di tempat!" Jawab Kumatobi dingin.

Senjata itu di arahkan langsung ke kepala Fiki. Yang lain hanya diam ketakutan. Fiki pun juga terdiam. Keringat dingin mengucur deras dari pelipisnya.

"Baiklah aku lanjutkan. Aku merasa sangat bosan sekali. Jadi terimalah hadiahku. Dan selamat bersenang-senang 😊" ucap Kumatobi. Ia pun menghilang di balik podium.

Setelah Kumatobi menghilang, sejumlah kertas kecil terbang ke arah mereka. Tepat di depan mereka langsung.

"Kertas apa ini?" Tanya Nico penasaran. Ia memungut kertas tersebut di lantai dekat kakinya. Semua kini telah memegang secarik kertas kecil. Rasa penasaran menguak di hati mereka.

Huda membuka perlahan kertas itu. Di sana tertulis sebuah kalimat yang membuang tubuhnya seketika menegang.

"Ta-tak mungkin," gumam Huda terbata-bata. Di kertas itu tertulis 'Kau memiliki masalah yang kelam yaitu pernah di permalukan oleh wanita'.

Huda menoleh ke arah lainnya. Sama halnya dengan ia sendiri. Semua terlihat ketakutan dan terkejut.

"Apa itu hal yang membuatmu terpuruk?" Bisik Seila melirik ke arah kertas milik Huda. "Iya..." jawab Huda     pelan.

"Apa-apaan ini?!" Teriak Teguh. Wajahnya sudah sempurna berwarna merah. Ia meninggalkan ruangan dengan tangan terkepal keras.

"Ini sungguh memalukan..." ucap Uli lirih.

"Kenapa dia bisa mengetahui sampai sejauh ini?" Tutur Diane sedih.

"Aku tak ingin rahasiaku terbongkar!"  Teriak Karin meninggalkan ruangan lagi.

"Semuanya tolong tenang. Ini hanyalah jebakan dari Kumatobi. Kita tak boleh terpengaruh olehnya." Kata Rifki mencoba menenangkan.

"Cih! Kau bilang tenang! Mana ada orang yang mau rahasia kelamnya di ketahui orang lain? Hah!" Cibir Vero sinis.

"Ini hanyalah jebakan agar kita melakukan hal keji itu." Sanggah Rifki.

"Kalau begitu coba beritahu kami apa rahasia kelammu itu!" Tantang Vero.

Rifki tak bisa mengelak lagi. Ia terdiam kaku menahan emosi.

"Lebih baik tak mempercayai orang lain." Ujar Vero.

"Kali ini dengan sangat terpaksa aku menyetujui ucapannya." Sahut Lusian.

Vero hanya tersenyum penuh kemenangan. "Aku memang dari dulu tidak mempercayai kalian," seru Nico. Ia menatap satu persatu temannya yang dianggap musuh kali ini.

"Jauhkan wajah menyebalkanmu itu!" Ejek Oriza. Ia terkesan tenang juga mulai terpancing suasana.

"Hei Huda, bagaimana ini?" Bisik Seila.

"Untuk saat ini aku tak tahu harus berbuat apa. Sebaiknya kita hanya bisa melanjutkan penyelidikan ini diam-diam." Jawab Huda berbisik. Seila menganggukan kepala kecil tanda setuju.

Huda dan Seila melangkahkan kaki pergi menjauhi aula. "Aku sedikit curiga dengan mereka," komen Fiki.

"Ahh aku tak peduli!" Sahut Aldo menyusul Huda dan Seila.

"Bagaimana ini, Rifki?" Tanya Fiki berbisik.

"Entahlah..." jawab Rifki acuh. Ia juga meninggalkan ruangan. Fiki memandang punggung Rifki bingung dengan kelakuannya.

"Lama-lama aku takut berada di sini," ujar Uli. Ia mulai menjauhi semuanya.

"Tunggu aku!" Teriak Lusian. Keduanya pergi jalan beriringan.

"Hmm... Semakin menarik," gumam Vero tersenyum tipis.

"Dasar aneh!" Ejek Aldo pelan melihat Vero tersenyum sendiri.
.
.
.
.

Malam pun mulai datang. Setelah makan malam, semua menuju ke kamar masing-masing dengan suasana hening.

"Sepertinya rencana Kumatobi untuk membuat kita berpencar-pencar sukses besar." Pikir Huda. Ia pun orang terakhir yang meninggalkan kantin.

Suara alarm pagi yang dikumadangan oleh speaker membuat mereka mau tak mau terbangun. "Berisik sekali!" Decak Nico kesal. Ia baru bisa tidur selama 3 jam. "Ini semua gara-gara kertas itu!" Umpatnya.

Nico melangkahkan kakinya menuju kolam renang untuk menenangkan diri bermain game di sana. Hanya beberapa orang saja yang ditemuinya selama perjalanan.

Tiba-tiba langkahnya terhenti di sisi pinggir kolam. Wajahnya terlihat lucat dan kedua mata yang melotot lebar.

"I-ini tak mung-mungkin..." ucap Nico terbata-bata. Ia melangkah mundur hingga punggungnya menabrak sesuatu yang keras.

"Hei kalau mau mundur lihat dulu... belakang..." kata Rifki protes. Ia melihat ke arah pandangan Nico yang terdiam.

"Astaga!" Serunya ikut terkejut.

Pandangan keduanya mengarah ke tengah kolam yang airnya sudah sepenuhnya berwarna merah seperti darah. Sesosok tubuh yang pucat dan terdapat luka di bagian kepala mengapung di tengah-tengah kolam.

Pom! Pom! Pom!

"Ohayou minna... Aku hanya ingin memberitahukan kepada kalian. Telah di temukan sebuah mayat di tengah kolam. Saatnya untuk menyelidiki kasus pembunuhan ini. Fufufufu..." kata Kumatobi melalui speaker.

Suara Kumatobi mengelagar di setiap sudut ruangan. Membuat orang-orang terkejut mendengar pengumuman kematian itu. Semua pun melangkah ke arah kolam renang.

Ekspresi berbagai macam ditunjukkan oleh mereka. Keduanya kalinya mereka harus melihat mayat yang terbunuh dengan cara sadis.

"Aldo..." ucap Lusian lirih. Ia bersandar di tubuh Oriza dengan air mata yang mulai mengalir deras.
.
.
.
.
.

Bersambung... 😂

Kasus pembunuhan kedua pun telah muncul. Bisakah mereka menyelidiki kasus pembunuhan kali ini? 🤔

Selamat membaca! 😎😊😁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro