Kepercayaan dan Rahasia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kasus pembunuhan telah terjadi. Korban kedua yaitu Kaguhiro Aldo, Super Akja Young Entrepreneurs.

Sebuah pemberitahuan menghentikan rasa terkejut mereka. Segera semua mengeluarkan kartu identitas masing-masing. Di bukanya pesan pemberitahuan tersebut, kemudian di baca.

To : Murid Berbakat

Pembunuhan kedua. Telah di temukan korban bernama Kaguhiro Aldo, Super Akja Young Entrepreneurs. Kondisi korban yaitu mengampung di tengah kolam renang dengan keadaan kepala terdapat luka sepertinya di pukul dengan benda keras. Diperkirakan korban tewas pada pukul 6 pagi dan ditemukan pada pukul 8 pagi.

From : Kumatobi (Kepala Sekolah)

"Saatnya penyelidikan mencari petunjuk kematian dari Aldo. Aku berikan waktu 2 jam. Setelah waktu habis, kalian berkumpul di tempat sebelumnya di mulai sidang. Tentukan pembunuhnya!" Kata Kumatobi memberikan penjelasan.

Mayat Aldo telah di bawa ke pinggir kolam dengan mengorbankan Oriza yang kalah dalam permainan menentukan siapa yang akan memindahkan jasad korban. Dan Oriza yang mendapatkan kesempatan emas itu.

"Ugh! Bajuku sekarang berwarna merah dan berbau anyir." Keluh kesah Oriza. Ia pun berpamitan untuk membersihkan seluruh badannya.

"Terima kasih Oriza," ucap Lusian lirih.

Semua tengah berkumpul di sisi kolam renang. Mereka akan menentukan ruangan mana yang akan di selidiki.

"Baiklah. Apakah semuanya sudah mengerti?" Tanya Fiki memimpin kelompok. Saat ini Rifki tak bersemangat untuk menjadi pemimpin karena selalu terniang ucapan Vero tentang dirinya.

"Sudah!" Jawab mereka kompak. Semua pun mulai meninggalkan kolam renang untuk menyelidiki sisi setiap lantai 1 dan 2.

Kini tersisa Huda, Seila dan Vero. "Ada apa kau menghentikan langkahku?" Tanya Vero sinis.

"Kami hanya ingin mengajakmu untuk menyelidiki kasus pembunuhan kali ini." Jawab Huda tenang. Ia dan Seila bermaksud untuk mengajak Vero bersama mereka.

"Maaf, aku menolak. Aku akan merenungkan diri di kelas. Tapi..." jeda Vero sejenak. "kalau kalian butuh bantuan cari saja aku di sana." Lanjutnya tersenyum tipis singkat. Ia melangkahkan kakinya menjauh.

"Baiklah.." sahut Huda.

"Yeah, walau perkataan masih tajam dan agak menyakitkan. Ia sudah mulai terbuka dengan kita." Ucap Seila senang.

Huda hanya memberikan senyuman saja untuk membalas perkataan Seila. Ia sekarang menatap tubuh Aldo yang sudah tak bernyawa lagi. Ia berjongkok untuk melihat tubuh Aldo lebih jelas.

"Sepertinya yang diberitahukan oleh Kumatobi. Aldo terkena pukulan benda yang cukup keras pada bagian kepalanya." Analisis Huda.

"Kejamnya, padahal sebelumnya ia di jebak oleh mereka yang saat itu akan membunuhnya. Namun, disayang Aldo malah menjadi target selanjutnya saat ini." Kata Seila lirih.

"Kita harus membersihkan tubuh Aldo yang sudah bercampur dengan darah." Usul Huda.

"Oke!" Jawab Seila singkat. Keduanya berjalan ke ruang ganti yang berada di tempat itu untuk mencari air bersih, lap dan ember tentunya.

Saat keduanya telah menghilang. Sesosok misterius mengarah cepat ke arah jasad Aldo. Ia seperti sedang mencari sesuatu benda di tubuh korban. "Dimanakah benda itu?" Gumam sosok itu terlihat panik.
.
.
.
.

Di tempat fitness...

Teguh sedang melampiaskan kekesalannya dengan meninju sebuah samsak yang tergantung di sana.

Bugh! Bugh!

Akhirnya ia berhenti setelah 15 menit memukul samsak itu dengan luapan emosi. "Huh! Huh! Aku takkan membiarkannya!" Kata Teguh mengatur napasnya.

Srek!

Pintu tempat fitness pria terbuka. Muncullah Rifki yang terlihat tak semangat.

"Aku kira disini tidak ada orang," ujarnya lemas.

Teguh melirik Rifki yang seakan rohnya tidak ada di tubuhnya. "Kenapa kau pemimpin?" Sindir Teguh. Namun, Rifki tak terlihat membalas sindiran Teguh.

"Kau menyedihkan sekali!" Ejek Teguh. Ia tak merasakan belas kasihan pada Rifki. Ia malah kembali memukul samsak hingga akhirnya busa pada samsak itu terlepas keluar.

"Hahaha.... Sepertinya kau puas sekali merusak samsak itu." Ucap Rifki yang daritadi hanya diam.

"Apa masalahnya untukmu?!" Tanya Teguh mulai emosi.

"Tak ada, hanya saja bisa jadi kaulah pelaku pembunuhan Aldo." Jawab Rifki sekenanya agak menyindir.

"Tch! Aku takkan membunuh manusia lemah sepertinya!" Balas Teguh memandang remeh orang lemah.

"Kau jangan terlalu menyombongkan dirimu. Bisa jadi itu malah menjadi boomerang untukmu sendiri." Ucap Rifki kembali mengingatkan.

Bugh!

Satu pukulan berhasil mendarat di pipi Rifki. "Tak pantas kau berbicara seperti itu!" Hardik Teguh. Ia hendak memukul kembali. Namun, sebuah suara menghentikan aksinya.

"Kalian ini tidak bisakah tak bertengkar!" Kata Oriza kesal.

"Mengganggu saja!" Seru Teguh meninggalkan ruangan.

Rifki tak bergeming dari tempatnya. Ia tak merasakan pukulan itu sakit. Tapi perasaan di hatinya yang terasa sakit seperti di tusuk-tusuk oleh pisau tajam.

"Apa kau tidak apa-apa?" Tanya Oriza khawatir.

"Hmm..." jawab Rifki acuh tak acuh.

"Merepotkan..." umpat Oriza kesal.
.
.
.
.

Di ruang UKS...

"Hiks... hiks... Aldo..." ucap Lusian di isak tangisnya.

Lusian menggenggam sebuah kertas yang sudah lecek. "Aku akan mencari siapa pembunuhmu," katanya dengan penuh tekad.

"Hmm... aku akan mulai dengan memberitahukan ini kepada mereka." Ucap Lusian memandang kertas yang berada di genggaman tangannya.

Ia pun beranjak dari tempat duduk, lalu pergi meninggalkan ruangan uks.

Srek!!

"Mau kemana kau?" Tanya Nico yang melintas di depan Lusian.

"Ehm... aku ingin ke perpus. Sampai jumpa," jawab Lusian merasa tak enak dipandangi seperti itu. Ia berjalan cepat menuju ke suatu tempat.

"Aneh sekali," gumam Nico. Ia kembali memainkan game PSP yang tertunda.
.
.
.
.

Lima menit berjalan sampailah Lusian di kolam renang. Ia mengedarkan pandangan ke segala arah. "Itu mereka," gumam Lusian senang.

"Ehmm maaf mengganggu waktu kalian..." ucapnya gugup.

"Oh Lusian, ada apa?" Tanya Seila.

"Aku ingin memberitahu sesuatu pada kalian," Jawab Lusian. "Ini tentang Aldo..." lanjutnya memasang wajah serius.

"Ayo, kita cari tempat yang nyaman." Sahut Huda.

Mereka pun menuju ke tempat ganti pria. Di sana tak menggunakan sistem otomatis untuk membuka pintu. Jadi, mereka bebas keluar masuk tanpa harus dicurigai.

"Jadi... apa yang ingin kau sampaikan pada kami?" Tanya Huda memulai pembicaraan.

"Anu.... Sebelum Aldo terbunuh, ia pernah mengajakku untuk bertemu berdua saja." Jawab Lusian sedih.

"Lanjutkan," ujar Seila. Ia memeluk tubuh Lusian menyalurkan kekuatan.

"Hiks... Dia memberitahuku rahasia terburuk miliknya... hiks..." kata Lusian mulai terisak.

"Kalau boleh tahu, apa rahasia terburuk Aldo?" Tanya Seila hati-hati. Ia takut menyingung perasaan Lusian.

"Rahasianya adalah..." jawab Lusian bersuara sangat pelan. Huda dan Seila mendengarnya cukup terkejut.

"Hmm... aku mulai mengerti." Gumam Huda.

"Lalu dia mengatakan lagi padaku. Ia akan berlatih ..... dengan seseorang. Aku tidak bertanya lebih padanya." Tutur Lusian sedikit tenang.

"Mungkinkah orang yang mengajarkan Aldo, merupakan pelaku pembunuhan ini." Analisa Seila.

"Oke! Kami akan merahasiakan hal ini pada yang lain." Ujar Huda tersenyum.

"Terima kasih, aku tidak tahu harus berbicara pada siapa lagi selain pada kalian." Seru Lusian.

"Seharusnya kami yang berterima kasih padamu. Kau memberikan informasi penting dan percaya kepada kami." Balas Seila. Ia tersenyum tulus.

"Baiklah, aku akan kembali ke kamar," pamit Lusian.

"Hati-hati. Bila terjadi sesuatu hubungi kami." Kata Huda.

"Sampai jumpa," ucap Lusian lalu pergi dari hadapan mereka.

"Aku jadi mulai menemukan titik terang, walau masih belum 100 %." Ucap Huda.

"Iya, aku juga sependapat denganmu." Balas Seila.

"Ayo, kita harus mencari petunjuk lainnya." Ajak Huda. Ia melangkah duluan. Di susul oleh Seila, tetapi langkahnya terhenti saat menemukan secarik kertas.

"Kertas ini kan," ujar Seila. Tanpa babibu ia langsung membukanya. 'Menjebak seseorang hilang mengalami trauma berat'.

"Seila! Ayo cepat!" Panggil Huda sedikit berteriak.

"Iya, aku akan ke sana..." sahut Seila. Ia menyimpan kertas itu di saku bajunya. Ia berlari kecil menyusul Huda.
.
.
.
.

Di ruang kelas...

Vero memperhatikan tulisan di kertas itu dengan intens. Setitik air mata jatuh dari kelopak matanya.

Ia meremas kuat kertas itu. "Aku harus kuat! Tidak boleh lemah seperti dulu!" Seru Vero bangkit kembali.

"Hah! Rasanya lelah juga harus mengingat masa lalu yang kelam." Kata Vero lemas.
.
.
.
.

Di kantin...

"Nyam... nyam..." suara seseorang sedang makan dengan lahap.

Srek!

Pintu kantin terbuka. Dua wanita cantik berjalan seirama mendetakti seseorang itu.

"Nico... Nico..." ucap Diane geleng-geleng kepala.

"Adwa apwa?" Tanya Nico yang mulutnya masih di penuhi oleh makanan.

"Ish! Kau itu jorok sekali sih!" Decak Karin dengan pandangan jijik.

"Bweriswik kwau!!" Seru Nico acuh tak acuh. Ia kembali makan dengan lahap dan lahap.

"Ayo kita membuat sesuatu makanan saja. Daripada melihat orang makan seperti babi ternak!" Umpat Karin. Ia segera memasuki dapur. Kemudian Diane menyusulnya.

"Mengganggu saja!" Kata Nico memandang tajam keduanya.

Di dapur, Karin dan Diane membuat sebuah kue bolu ketan. Setelah berkutat dengan segala macam adonan. Tinggal menunggu saja kue bolu ketan itu matang di dalam oven.

"Fiuh! Sudah lama kita tidak membuat kue bareng." Ujar Diane duduk di bangku dapur.

"Iya..." balas Karin lemas.

"Hei, ada apa denganmu?" Tanya Diane bingung melihat kelakukan teman dekatnya.

"Aku merasa tak semangat," jawab Karin malas.

"Iya, karena apa?" Tanya Diane jengkel.

"Entahlah..." jawab Karin cuek.

Ting!

Suara oven pertanda kue bolu ketan telah matang. "Aku akan mengangkatnya," ujar Diane.

"Terserah..." jawab Karin tak peduli.
.
.
.
.

Di kamar Uli...

Klik! Tretek!

Eror! Satu kata yang membuat Uli kesal bukan main. "Ahh! Lagi-lagi seperti ini." Ucapnya kesal.

"Aku mulai frustasi karena laptopku ini," gumamnya lirih.

"Andai aku berada di kamar serta warnet. Pasti aku yakin, hidupku jauh lebih baik daripada terjebak disini!" Geram Uli penuh emosi.

"Aku sudah mendapatkan sebuah petunjuk. Jadi, lebih baik aku pergu ke kantin untuk menikmati kopi hitam yang nikmat." Kata Uli lalu bangkit keluar kamar dan menuju ke arah dapur.

Sebuah benda berat yang terdapat noda merah dan secarik kertas tergeletak di atas nakas Uli.
.
.
.
.

Di lorong menuju lab...

Fiki berjalan dengan pelan. Ia melihat setetes darah menempel di lantai lorong.

"Darah siapa ini?" Tanya Fiki penasaran. Ia mencolek sedikit noda darah di lantai.

Fiki berjalan mengikuti tetes demi tetes noda darah yang masih segar itu sebagai petunjuk. Rasa penasaran yang besar, membuat ia membatalkan untuk menuju ke tempat fitness.

Noda darah itu berhenti di depan sebuah pintu. Fiki melihat tulisan di atas pintu itu. "Ruang lab..." gumamnya.

Ia membuka pintu itu menggunakan kartu identitas miliknya. Setelah dua langkah ia terhenti.

"Tidak mungkin..." ucap Fiki mendadak diam seribu bahasa. Pandangannya tertuju tepat di lantai ruang lab yang dingin.
.
.
.
.
.

Bersambung... 😂

Baru bisa update sekarang hehe...

Semoga kalian suka dengan chapter ini 😊

Selamat membaca! 😎😁

#12 😁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro