Bab 48: Lesha Nakal, Sih!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy Reading, Kawan.

***

Sedari tadi Kale tidak berhenti memberikan tatapan tajam pada para pemuda yang melirik ke arah istrinya. Ia tahu bahwa perempuan di sampingnya ini sekarang semakin cantik. Perut besarnya tidak membuat Lesha terlihat buruk, justru membuat orang tertarik dengan auranya.

Seiring kehamilannya yang membesar, wajah Lesha justru semakin cerah. Apa lagi setelah tidak lagi mengalami morning sickness, nafsu makan istri Kale ini perlahan meningkat. Tubuhnya juga semakin berisi dan untungnya di tempat yang tepat.

Bagi Kale, keadaan Lesha saat ini seperti bunga mawar merah yang baru mekar alias sedang ranum-ranumnya. Mukanya yang mulai menunjukkan garis wajah perempuan dewasa, senantiasa merona. Jika senyumnya mengembang juga seperti bulan sabit, melengkung sempurna. Ia bahkan tidak bosan terus memandang wajah sang istri selama beberapa bulan terakhir ini. Apa lagi para pemuda yang di lewati dirinya sepanjang jalan dari parkiran hingga masjid kampus.

Kehamilan Lesha ternyata sangat mengubah hidup Kale dan diri Lesha sendiri. Salah satunya adalah acara yang akan dihadiri sepasang Adam dan Hawa ini. Sebuah kajian bertema pasangan halal di masjid kampus tempat Jiddan mengajar. Pembicara hari ini yaitu Jiddan dan Almeera.

Kale sebenarnya tidak ingin menghadiri kajian tersebut. Bukan karena tidak suka mengikuti kajian, melainkan khawatir dengan keadaan istrinya. Perut Lesha sudah begitu besar. Bahkan dokter sudah memberikan prediksi bahwa istrinya itu akan melahirkan minggu depan. Menurutnya, lebih baik Lesha menghabiskan waktu di rumah saja agar aman. Ia takut tiba-tiba sang istri melahirkan di sembarang tempat.

Menurut Lesha, tidak ada alasan untuk absen dari kajian akan diisi oleh Abang dan Kakak Iparnya itu. Toh, ia belum merasakan tanda-tanda akan segera melahirkan, jadi aman saja jika masih ingin jalan-jalan. Lagi pula ia pergi ke masjid, bukan malah keliling mal. Terlebih, suaminya senantiasa mengawal ke mana pun ia pergi. Terlebih lagi, hari ini adalah kajian pertama yang dibawakan Almeera paska melahirkan, mana mungkin akan ia lewatkan.

"Gak usah melotot-melotot kaya gitu kali, Mas!" Apakah rangkulan pada pinggangnya belum cukup menunjukan rasa kepemilikan sehingga Kale harus memelototi setiap pemuda yang melirik ke arah mereka, baik secara sengaja mau pun tidak.

"Gak kok!" Suami Lesha ini memalingkan wajah ketika menjawab demikian.

Perempuan yang sedang hamil besar ini baru saja membuka mulut hendak menyanggah ucapan suaminya, tapi sang suami malah memotong niatnya lebih dahulu. "Udah sampai, nih. Adek duduk dulu di tangga itu, ya, biar Mas bantu lepas sendalnya."

Lesha menuruti ucapan suaminya itu. Sadar diri karena memang kemampuannya bergerak sekarang sangat terbatas. Sekadar melepas sendal saja butuh bantuan. "Makasih, Mas," ujarnya begitu sudah dibantu kembali berdiri.

"Adek beneran gak apa-apa kan? Baby-nya aman? Kalau ada sesuatu yang gak enak atau enggak nyaman, langsung kabari Mas, oke?" Wejangan Kale ini udah diulang berkali-kali semenjak dari rumah. Lesha sampai hafal setiap detail ucapan dan ekspresi suaminya itu ketika mengatakan nasihatnya itu.

Saat ini Kale dan Lesha sudah tiba di depan pintu masuk masjid area perempuan. Dari sini, Kale harus melepaskan istrinya sendirian karena memang laki-laki tidak boleh memasuki area khusus tersebut.

"Adek enggak apa-apa, Mas. Lagian kan di dalam ada Kak Almeera. Kalau ada apa-apa pasti Kak Almeera langsung kasih kabar." Sekali lagi Lesha berusaha menenangkan kekhawatiran sang suami.

Kale hanya mampu menghela napas menanggapi perkataan sang istri. Tidak tahukah istrinyabitu bahwa ia sangat khawatir dengan keselamatan Lesha yang perutnya begitu besar?

"Ya udah, hati-hati." Kale membiarkan istrinya masuk ke dalam ruangan seorang diri. Ia perhatikan tiap langkah Lesha hingga hilang dari pandangannya. Baru setelah itu dirinya pergi ke pintu masjid untuk laki-laki. Ia hanya mampu berdoa semoga semuanya baik-baik saja.

Jika ada yang bertanya apakah dirinya sudah menerima kehamilan Lesha sepenuhnya, maka Kale tidak bisa memberikan jawaban pasti. Ia tidak masalah jika harus merawat anak yang bukan darah dagingnya, misal anak adopsi. Mengingat vonis dokter terhadap dirinya, opsi untuk adopsi anak memang beberapa kali tercinta dalam benaknya. Namun, belum sekalipun ia menyampaikan langsung pada sang istri.

Semua tindakan yang ia lakukan sekarang ini murni karena tidak ingin ditinggalkan Lesha. Istrinya itu harus tetap sehat. Kalau sampai kejadian terburuk terjadi, dimana ada pilihan antara Lesha atau anak dalam kandungannya ketika proses persalinan nanti, dengan tegas ia akan memilih Lesha. Sekalipun istrinya itu nanti marah kepadanya.

Kale juga sempat bertanya mengenai hal tersebut kepada istrinya. Waktu itu Lesha justru menjawab, "Mas, melahirkan itu impian setiap perempuan. Adek juga gitu. 
Apa lagi kalau bisa melahirkan secara normal, perempuan akan dianggap benar-benar sempurna setelah itu.

"Adek lebih baik gak selamat asal usaha Adek melahirkan normal berhasil. Dedeknya nanti lahir dengan sehat dan selamat. Terus bisa membanggakan semua orang, deh." Seperti itulah jawaban Lesha.

Waktu itu, Kale tidak menanggapi lebih lanjut melainkan hanya memeluk tubuh istrinya yang perutnya mulai membuncit.

Begitu masuk ruangan, sudah ada beberapa pemuda dengan usia tidak jauh darinya. Tidak lupa Jiddan menjadi pusat perkumpulan tersebut. Tak berapa lama, beberapa laki-laki datang lagi dan bergabung membentuk setengah lingkaran dengan Jiddan sebagai pusatnya.

"Baiklah, langsung saja kita mulai diskusi hari ini. Untuk tema pembahasannya sudah tahukan?" Jiddan segera masuk ke inti kajian setelah sebelumnya bertanya kabar dan basa-basi lainnya. Pertanyaannya ini dijawab anggukan semua yang mengikuti acara ini.

"Kunci pertama rumah tangga yang harmonis itu komunikasi. Menjalin dan menjaga komunikasi merupakan bekal dasar yang harus dimiliki setiap pasangan. Dengan komunikasi yang baik, setiap keinginan maupun ketidaksukaan pasangan pasti akan tersampaikan. Setelahnya masing-masing bisa mencari solusi terbaiknya. Nabi Muhammad juga melakukan hal tersebut untuk menjaga komunikadi, yaitu bercengkerama dan bercakap-cakap dengan istrinya.

Seperti yang diceritakan Ibnu Abbas: “Aku menginap di rumah bibiku, maimunah, (aku mendengar) Rasulullah berbincang-bincang dengan istrinya (maimunah) beberapa lama lalu beliau tidur. (H.R. Bukhari Muslim)."

Di sisi lain masjid, Almeera juga baru selesai menjelaskan poin yang sama dengan Jiddan. Sekarang, waktunya masuk poin ke dua. "Yang kedua itu saling membantu. Seperti halnya Nabi Muhammad yang tidak mau merepotkan istrinya. Beliau terbiasa menjahit pakain sendiri ketika rusak atau memerah susu untuk sarapan. Kita juga ingin dong suami yang mau membantu dalam urusan rumah.

Nah, kita bisa pakai cara ini teman-teman. Misal bilang gini, Mas bantuin Adek nyuci piring, dong. Nanti Adek yang cuci, Mas yang bilas. Jangan lupa mainkan nada bicaranya, ya, kawan. Gak apa-apa, kan sama suami sendiri."

Ditengah suasana fokus memperhatikan kajian yang dibawakan Almeera, Lesha mulai gelisah dalam duduknya. Perutnya sudah terasa mulas. Duduknya sudah tidak lagi tegak, melainkan bersandar pada tangannya sendiri. Keringat jagung juga mulai tampak di pelipisnya.

“Mba kenapa?” Perempuan di samping Lesha ternyata menyadari keanehannya.

“Ini, Mba, perutnya mules banget.” Lesha menjawab dengan tersendat-sendat. 

“Mba udah mau melahirkan kayaknya ini,” ujar perempuan tadi.

“Apa! Adek mau lahiran?” Tanpa sadar, Lesha mengatakan hal tersebut terlalu keras sehingga perhatian Almeera tertuju padanya.

Kakak ipar Lesha ini segera datang menghampiri. “Adek udah mau lahirnya? Bentar, Kakak telepon Abang Jiddan dulu.”

Jiddan awalnya mengabaikan getaran ponsel pada saku celakanya, tapi karena tidak kunjung berhenti akhirnya ia cek siapa yang menghubunginya. Ternyata Almeera, istrinya, sehingga ia anggap panggilan tersebut. Tentu setelah meminta izin para peserta kajian.

“Abang! Adek lahiran!” Tanpa salam pembuka Jiddan justru mendapati suara panik sang Istri.

“Adek lahiran? Sekarang?” Jiddan mengucapkan hal tersebut secara keras ternyata sehingga Kale yang sedari tadi memperhatikannya langsung bangkit dan lari menuju tempat istrinya yang katanya akan segera melahirkan itu.

“Adek, udah dibilangin jangan ke mana-mana dulu masih aja bandel. Kan jadi gini, masa mau lahiran di masjid.” Kale menggerutu dalam hati sepanjang jalan menuju posisi Istrinya berada yang sebenarnya tidak lebih dari 20 meter tapi rasanya seperti 2 kilometer. 

***
Bersambung...

Terima kasih buat semua yang sudah mengikuti kisah Kale dan Lesha sampai sejauh ini.

Gimana cerita kali ini?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro