Bab 49: Pilih Bayinya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selamat Membaca!

***

Melihat Kale sudah pergi tanpa berpamitan, Jiddan memilih membubarkan kajian terlebih dahulu. Setelahnya, ia menuju parkiran dan mengambil mobil. Dirinya bersiap di depan pintu masuk masjid dengan mesin mobil menyala. Ketika Kale ke luar bersama Lesha, pasangan tersebut bisa langsung naik mobil dan segera ke rumah sakit.

"Bang, cepetan, dong. Adek udah kesakitan banget ini." Kale merasa Jiddan melajukan mobil terlalu peran, padahal istrinya itu sudah sangat kesakitan.

"Tenang aja, Kal. Adek lahirannya masih lama, kok," sahut Jiddan santai.

"Kok Abang santai banget, sih. Ini Adek udah kesakitan banget, loh." Kale tidak tega melihat istrinya bersimbah keringat dan wajahnya terus meringis sedari tadi. Ia juga merasakan cengkraman kuat pada tangannya.

"Kalau kamu lupa, istriku sudah dua kali melahirkan secara normal." Faktanya memang begitu, saat ini Jiddan sudah memiliki sepasang anak. Jika ditanya khawatir atau tidak dengan keadaan Adiknya itu, tentu saja jawabannya iya. "Tapi, jika semua orang khawatir siapa yang kan menenangkan?" pikirnya.

Jiddan segera menghentikan mobilnya begitu tiba di depan pintu IGD. Pilihan UGD diambil agar Adiknya segera mendapat penanganan. Almeera turun dari mobil terlebih dahulu untuk memberitahukan pada petugas bahwa ada pasien yang hendak melahirkan.

Dengan menaiki kursi roda, Lesha dibawa masuk ke UGD. Pemeriksaan segera dilakukan. Menurut dokter jaga, Lesha sudah masuk bukaan 3 sehingga bisa boleh tetap di rumah sakit sembari menunggu pembukannya lengkap dan dokter kandungan Lesha tiba di rumah sakit.

***
Saat ini Lesha sudah berada di kamar rawat dengan mengenakan pakaian rumah sakit. Jiddan dan Almeera sudah pulang. Mereka akan kembali lagi nanti dengan membawa perlengkapan Lesha. Tidak lupa juga orang tuanya akan ia bawa untuk memberikan support terhadap Lesha.

Dokter kandungan sudah datang dan mengecek kembali keadaan Lesha. Beliau berkata Lesha sudah mencapai bukaan tiga. Dokter menyarankan beberapa hal untuk mempercepat proses tersebut. Tentu tidak semua saran tersebut berani Kale lakukan, salah satunya berhubungan suami-istri. Dokter bilang, kegiatan tersebut bisa membantu mempercepat proses pembukaan, tapi Kale mana tega melakukan di situasi seperti ini, di rumah sakit pula.

Kale memilih opsi berjalan-jalan di sekitar ruang rawat untuk membantu mempercepat pembukaan jalan lahir istrinya itu. Ia rasa, saran inilah yang paling aman dari beberapa hal yang disampaikan dokter.

"Adek sebenarnya sudah dari kapan rasain sakit?" Tentu Kale ini tahu, sebab begitu iba di rumah sakit sudah bukaan tiga, lantas bukaan satu dan dua di mana?

Lesha melirik sang suami sebelum menjawab. "Pas di rumah," cicitnya.

Kale mengusap kasar wajahnya. Bagaimana bisa dengan perut kontraksi tapi istrinya itu memaksa untuk datang ke kajian? Kale tidak habis pikir. "Adek kenapa bandel banget, sih? Udah ngerasain kontraksi tapi masih nekat ikut kajian?"

"Ya kan, kata dokter masih minggu depan, jadi Dek kira kontraksi palsu aja," lirih Lesha.

"Ssst, aduh!" Lesha mengusap perutnya yang kembali terasa sakit. Ia benar-benar tidak menyangka jika proses melahirkan ternyata sesakit ini. Rasanya susah dideskripsikan. Yang pasti perut sakit, ada rasa mulanya, pinggangnya keram, duduk gak nyaman, berbaring lebih gak enak lagi.

Ada rasa bersalah begitu besar yang bercongkol dalam dadanya. Ia menyadari bahwa apa yang sudah diberikan kepada orang tuanya tidak sebanding dengan rasa sakit ketika melahirknnya. Apa lagi kalau sampai tahu bahwa bayi yang sedang Lesha perjuangkan untuk lahir ini bukan darah daging suaminya, entah akan sekecewa apa mereka. Ia tidak bisa membayangkannya.

Rasa bersalahnya terhadap sang Suami juga belum tuntas. Apa lagi, setiap ia ingin membahas mengenai asal kehamilannya, Kale selalu menolak. Lesha tidak pernah berhasil menceritakan semua peristiwa yang menimpanya hingga bisa hamil seperti ini.

"Mas, Adek minta maaf. Adek banyak salah sama Mas. Adek ... " Penjelasan Lesha kembali Kale hentikan. Kale bisa melihat tatapan penuh harap dai sang istri. Tapi, ia tidak ingin mendengar penjelasan apa pun. Lebih tepatnya ia takut jika apa yang Lesha jelaskan justru tidak sesuai harapannya.

"Udah ya, Dek. Semua udah berlalu. Kita jalanin yang apa yang ada saat ini aja, ya. Yang sudah lalu biarkan aja di masa lalu." Kale membalas tatapan istrinya. Ia berusaha mengulas senyum sebaik mungkin agar Lesha tidak lagi mengkhawatirkan perasaannya.

Lesha sangat bahagia. Suaminya sudah kembali menjadi sosok seperti yang ia kenal diawal pernikahan. Ia juga sudah berhasil menemukan jawaban dibalik hilangnya perhatian yang selalu Kale berikan. "Mas, Adek mau ketemu Ibu sama Mama," pintanya. Hal terakhir yang harus ia lakukan adalah meminta maaf pada dua orang ibu yang juga sudah ia kecewakan secara tidak langsung.

"Ya sudah, kita balik ke kamar Adek. Siapa tahu Abang sudah balik bawa Ibu dan yang lainnya." Kale membantu Lesha bangun dari duduknya di kursi taman ini. Mereka tadi beristirahat di taman saat di rasa istrinya sudah lelah.

***

Benar saja, begitu tiba di ruang rawat udah ada Ibu dan Abah, Mama dan Bapak, juga Jiddan. Minus Almeera yang harus menjaga bayinya sendiri di rumah. Lesha langsung menghampiri perempuan yang sudah melahirknnya itu. Tentu saja dengan susah payah mengingat perut besarnya semakin sering timbul kontraksi.

"Ibu, maafin Adek selama ini udah nakal. Sering gak nurut sama Ibu. Adek sering bikin Ibu kecewa juga. Maafin Adek, Ibu ... " Tangisan Lesha tumpah di pelukan sang Ibu. Ia tidak berani membayangkan jika sampai orang tuanya tahu dirinya hamil bukan anak suaminya. Ia hanya berani meminta maaf tanpa mengutarakan maksudnya secara jelas.

Kale menghampiri istrinya itu untuk membantu menenangkan. Diusapnya puncak kepala yang saat ini menunduk bertumbuh pada pundak Ibu. "Ibu selalu maafin Adek. Adek semangat, ya. Adek pasti bisa bawa Dedek bayinya lahir dengan selamat." Begitu kata ibu mertuanya ini.

Puas memeluk sang Ibu, Lesha juga memeluk Mama mertuanya. Meminta maaf juga atas segala kesalahan yang diperbuatnya tanpa menjelaskan keterangan lebih lanjut.

Kale yang melihat istrinya terus menerus meminta maaf juga hampir meneteskan air mata. Rasa bersalahnya juga begitu besar. Awal dari segala kekacauan yang dirasakan Lesha, sumbernya adalah dirinya.

Setelah acara tangis menangis tersebut, kontraksi yang Lesha rasakan semakin sering. Semua yang disarankan dokter untuk mempercepat proses persalinan ia coba lakukan. Termasuk memakan kurma yang Jiddan bawa.

Ketika dini hari, Lesha masuk ke ruang bersalin. Saat ini ia hanya berdua dengan sang Suami. Orang tua mereka sudah diajak pulang pukul sembilan malam tadi untuk beristirahat di rumah Jiddan. Saat ini, Jiddan juga yang akan membawa para orang tua kembali ke rumah sakit begitu Kale memberi kabar Lesha akan segera masuk ruang bersalin.

Sudah berada di ruang bersalin tidak lantas bayi langsung bisa ke luar. Masih ada perjuangan panjang untuk membantu bayi itu ke luar dari tempat tinggalnya selama sembilan bulan ini.

“Mas, kalau Adek kenapa-kenapa, tolong jaga Dedeknya, ya. Pilih aja Dedeknya, Adek gak apa-apa, kok. Dedeknya harus hidup pokoknya.” Lesha meminta hal tersebut dengan terbata-bata. Rasanya sudah tidak sanggup lagi ia bertahan dengan rasa sakit luar bias ini. Ia ingin menyerah saja.

“Adek jangan ngomong gitu. Adek pasti bisa lahirin Dedeknya dengan selamat. Kita besarin barengan nanti.” Kale berbisik pernah di samping telinga sang istri. Rasa sakit cengkraman tangan Lesha sepertinya tidak ada bandingannya dengan yang dirasakan istrinya itu.

Rasa sesak juga bersalah kembali mendominasi hatinya. Bagaimana bisa sebelumnya ia mengkhianati perempuan yang kini sedang bertarung dengan rasa sakit itu. 

Waktu terus berjalan seiring terkurasnya tenaga Lesha. Ketika ingin menyerah, dokter justru berkata kepala bayinya sudah terlihat. Kale kembali berusaha membangkitkan semangat istrinya.

Tepat ketika azan Subuh berkumandang, lengkingan tangis bayi disertai ucapan syukur saling menyaut.

“Alhamdulillah, bayinya laki-laki, Pak, Bu,” ujar sang dokter. 

Air mata segera turun dari netra perempuan yang baru saja resmi berganti status menjadi seorang ibu ini. Ia tidak menyangka sudah berhasil melahirkan seorang bayi. Setitik air mata juta tampak di sudut mata Kale. Ia tidak mengira masih diberi kesempatan untuk menjadi seorang ayah.

“Dek … Adek … bangun dong. Jangan tutup matanya!” Kale panik begitu melihat istrinya hendak menutup mata meski wajah tersebut mengulas senyum.

Bersambung ...

Wahhh, ada apa nih sama Lesha?

Kira-kira cerita ini bakal sad ending atau happy ending, ya?

Karena cerita ini hampir tamat, perlu aku buatin extra part gak nih?

Oh, iya, satu lagi, sambil nunggu lanjutan cerita ini, kamu boleh banget baca cerita aku yang satunya. Judulnya "Laire Badar: Di Balik Pernikahan Dadakan". Ceritanya itu tentang Laire Badar yang sedang jatuh cinta sama kakak tingkatnya di kampus, tapi Ibunya Laire tiba-tiba kasih kabar kalau Laire sudah dilamar orang dan tenda pelaminan sudah didirikan. Laire harus pulang ke rumah orang tuanya untuk nikah besok.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro